BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Di negara – negara maju dan sedang berkembang, kematian maternal merupakan masalah yang besar. Tingkat kematian maternal di Indonesia diperkirakan sekitar
450 per 100.000 kelahiran hidup. (Wiknjosastro, 2007). Penyebab terpenting kematian maternal di Indonesia adalah perdarahan 40 – 60%, infeksi 20 – 30%, dan
keracunan kehamilan 20 – 30%, sisanya sekitar 5% disebabkan penyakit lain yang memburuk saat kehamilan atau persalinan dan masa nifas. Di Indonesia
eklampsia disamping perdarahan dan infeksi masih merupakan sebab utama kematian ibu, dan sebab kematian perinatal yang tinggi (Winkjosastro, 2007).). Pre
eklampsia dan eklampsia merupakan kesatuan penyakit, yang langsung disebabkan oleh kehamilan, walaupun belum jelas bagaimana hal itu terjadi. Istilah
kesatuan penyakit harus diartikan bahwa kedua peristiwa dasarnya sama dan bahwa eklampsia merupakan peningkatan yang lebih berat dan berbahaya dari pre
eklampsia, dengan tambahan gejala-gejala tertentu. Pre eklamsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena
kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke -3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa.
Masa nifas masa yang sangat penting bagi tenaga kesehatan untuk melakukan pemantauan karena pelaksanaan yang kurang maksimal dapat menyebabkan ibu
mengalami berbagai masalah, bahkan dapat berlanjut pada komplikasi nifas (Sulistyawati, 2009). Pre eklampsi dalam kehamilan dan persalinan sebagian besar
berlanjut pada masa nifas (Fraser, 2009), pada ibu nifas kejang dapat terjadi untuk pertama kalinya setelah melahirkan. Kejang dapat juga terjadi kembali
seteleh melahirkan. Oleh karena itu pasien harus diobservasi denga seksama (WHO, 2001). Biasanya tanda-tanda pre eklamsia timbul dalam urutan: pertambahan
berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria (Wiknjosastro, 2007). Pre eklampsia dibagi menjadi pre eklampsia ringan
dan berat. (WHO, 2001). Jika seorang ibu pascapartum menunjukkan tanda-tanda yang berhubungan dengan pre eklamsia, bidan harus waspada kemungkinan tersebut
dan harus melakukan observasi tekanan darah dan urine dan mencari bantuan medis (Fraser, 2009). Pentingnya diagnosa secara dini membantu penatalaksanaan
secara dini sehingga penatalaksanaan pre-eklamsi yang baik dapat mengurangi angka mortalitas dan morbiditas ibu dan janin.
1.2
Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Diharapkan mahasiswa dapat melaksanakan asuhan kebidanan dan membuat dokumentasi kebidanan pada ibu nifas dengan pre eklampsi berat
1.2.2 Tujuan khusus
Diharapkan mahasiswa mampu :
1. Melakukan pengkajian data subyektif dan obyektif
2. Menganalisa data untuk menentukan diagnosis aktual dan diagnosis potensial yang mungkin timbul pada ibu nifas dengan PEB
3. Mengidentifikasi kebutuhan tindakan segera pada ibu nifas dengan PEB
4. Merencanakan asuhan kebidanan yang menyeluruh berdasarkan kebutuhan ibu ibu nifas dengan PEB
5. Melaksanakan asuhan kebidanan sesuai dengan rencana yang telah disusun.
6. Melakukan evaluasi terhadap asuhan yang dilaksanakan.
7. Melakukan pendokumentasian hasil asuhan kebidanan dalam bentuk SOAP
1.3
Pelaksanaan
Tempat : ruang merpati IRNA Obgyn RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Waktu : 8-27 September 2014
1.4
Manfaat
1.4.1 Manfaat Bagi Penulis
Penulis dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan selama pendidikan.
1.4.2 Manfaat Bagi Klien
Klien mendapatkan asuhan kebidanan yang bermutu.
1.5
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan
Menguraikan tentang latar belakang, tujuan penulisan, pelaksanaan, manfaat dan sistematika penulisan
Bab 2 Tinjauan Toeri
Menguraikan tentang konsep dasar masa nifas, konsep dasar pre eklampsi berat, konsep dasar asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan pre eklampsi berat.
Bab 3 Tinjauan kasus
Menguraikan pengkajian data secara subyektif dan obyektif, analisa dan penatalaksanaan
Bab 4 Pembahasan
Membandingkan antara tinjauan teori dengan tinjauan kasus
Bab 5 Penutup
Daftar Pustaka
BAB 2TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Nifas
2.1.1 Batasan
Masa nifas (puerperium) adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai hingga alat-alat kandungan kembali seperti prahamil (Bahiyatun,
2009)
Masa nifas (puerperium) adalah masa yang dimulai setelah plasenta keluar dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan semula
(sebelum hamil). Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu (Sulistyawati, 2009)
Setelah kelahiran bayi dan keluarnya plasenta, ibu memasuki masa penyembuhan fisik dan psikologis. Dari sudut pandang medis dan fisiologis, masa ini
disebut dengan nifas, yang dimulai sesaat setelah keluarnya plasenta dan selaput janin serta berlanjut hingga 6 minggu (Fraser, 2009).
2.1.2 Tahapan masa nifas
Menurut Sulistyawati (2009), masa nifas dibagi menjadi 3 tahap yaitu:
1. Puerperium dini
Puerperium dini merupakan masa kepulihan, yang dalam hal ini ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan. Dalam agama islam, dianggap bersih dan
boleh bekerja setelah 40 hari.
2. Puerperium intermedial
Puerperium intermedial merupakan masa kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia, yang lamanya sekitar 6-8 minggu.
3. Remote puerperium
Remote puerperium merupakan masa yang diperlukan untuk pulih dan sehat yang sempurna, terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai
komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna dapat berlangsung selama berminggu-minggu, bulanan, bahkan tahunan.
2.1.3 Perubahan pada masa nifas
1. Perubahan fisiologis dan struktural masa nifas
1) Involusi uterus
Involusi
merupakan suatu proses kembalinya uterus pada kondisi sebelum hamil. Dengan involusi uterus ini, lapisan luar dari desidua yang
mengelilingi situs plasenta akan menjadi neurotic (layu/mati) (Sulistyawati, 2009).
Masa nifas berawal segera setelah plasenta dan selaput ketuban keluar dari uterus. Oksitosin yang dibebaskan dari kelenjar hipofisis anterior menginduksi
kontraksi miometrium yang intermiten dan kuat, dan karena rongga uterus sudah kosong maka keseluruhan uterus berkontraksi penuh ke arah bawah dan dinding
uterus kembali menyatu berhadapan satu sama lain.
Setelah satu jam paska salin, miometrium sedikit melemas, tetapi perdarahan aktif dihambat oleh pengaktifan mekanisme pembekuan darah, yang selama
kehamilan mengalami perubahan besar, untuk menghasilkan respons pembekuan yang cepat (Coad, 2006).
Hemostasis dicapai melalui tiga cara yaitu (1) iskemi, (2) tekanan aposisi dinding-dinding uterus menghasilkan rogga berbentuk T, (3) mekanisme pembekuan
darah.
Segera setelah lahir, uterus memiliki berat sekitar 900-1000g dan fundus teraba sekitar 11-12cm di atas simfisis pubis (Howie, 1995). Tempat perlekatan
plasenta tampak kemerahan dan terpajan. Uterus bersambungan dengan vagina dan serviks melingkupi korpus uterus. Involusi uterus berlangsung sedemikian
cepat sehingga 50% dari massa total jaringan lenyap dalam 1 minggu. Terjadi perubahan yang mencolok dalam kandungan kolagen dan elastin, sementara air dan
protein lenyap.
Involusi terjadi karena hormon plasenta an diperkirakan diperantarai oleh enzim hidrolik dan proteolitik yang dibebaskan dari sel miometrium, sel endotel
pembuluh darah dan magrofag.
Inisiasi menyusui dan pengisapan puting payudara oleh bayi pada awal kelahiran memperkuat pengeluaran oksitosin, oksitosin merangsang miometrium dan juga
membantu pengosongan rongga uterus.
2) Kerusakan dan perbaikan jaringan lunak
Selama persalinan tidak jarang terjadi kerusakan pada jaringan lunak, yaitu kerusakan pada perineum. Trauma pada perineum dijelaskan sebagai berikut:
§ Superficial – hal ini biasanya berupa lecet pada kulit tempat epidermis terpisah akibat tekanan peregangan. Luka ini tidak memerlukan
pengobatan, namun kelainan ini sering menimbulkan rasa tidak nyaman karena terganggunya banyak ujung syaraf yang terletak di lapisan superficial jaringan.
§ Derajat satu – adalah robekan kulit dan jaringan superficial di bawahnya (tidak termasuk otot). Luka sering sembuh sendiri karena tepi luka
biasanya berhadapan langsung.
§ Derajat dua – apabila robekan menyebabkan kerusakan otot perineum. Luka ini biasanya dijahit untuk membantu penyembuhan
§ Derajat tiga – otot sfingter anus terkena. Harus dilakukan perbaikan obstetric sehingga penyulit inkontinensia feses dapat dihindari.
§ Derajat empat – apabila robekannya sangat luas, sfingter anus dapat terputus dan robekan mencapai mukosa rectum. Diperlukan perbaikan bedah
spesialis agar fungsi anus kembali normal.
Episiotomi adalah insisi bedah untuk memperbesar introitus vagina agar bayi mudah keluar. Episiotomi yang perbaikannya merupakan kewenangan bidan
termasuk dalam kategori robekan derajat dua.
3) Lochea
Lochea adalah keluaran dari uterus setelah melahirkan. Cairan yang pertama kali keluar dari vagina disebut dengan lokia rubra dan terdiri atas darah yang
terkumpul di dalam saluran reproduksi dan produk autolitik desidua yang nekrotik dari tempat perlekatan plasenta.
Lokea pertama kemerahan dan mungkin mengandung bekuan. Jumlah dan karakternya berubah dari hari ke hari. Pada awalnya jumlah lochea sangat banyak, kemudian
sedang, dan biasanya berhenti dalam 2 minggu. Warna digambarkan dengan bahasa Latin, rubra untuk merah segar, serosa untuk serum kecoklatan dan alba untuk
kuning keputihan. Keluaran keseluruhan setelah melahirkan adalah 400 sampai 1200ml. Normalnya lochea memiliki bau apak. Bau yang amis atau busuk menandakan
terjadinya infeksi (Hamilton, 1995).
Macam – macam lochea:
- Lochea rubra (cruenta); 1 – 2 hari berwarna merah dan hitam, terdi dari sel – sel desidua, verniks kaseosa, rambut lanugo, dan sisa mekonium serta sisa
darah.
- Lochea sanguinolenta; 3 – 7 hari, berwarna putih merah kekuningan berisi darah dan lendir.
- Lochea serosa; 7- 14 hari, berwarna kekuningan.
- Lochea alba; cairan putih setelah 2 minggu.
- Lochea purulenta; terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau busuk.
- Lochiostatic; lochea tidak lancar keluarnya.
Pengeluaran lochea yang menunjukkan keadaan abnormal, seperti:
- Perdarahan berkepanjangan.
- Pengeluaran lochea bertahan (lochiostatika).
- Rasa nyeri berlebihan.
- Terdapat infeksi intrauterine.
- Terdapat sisa plasenta yang merupakan sumber perdarahan.
(Bobak, et al. 2007).
4) Pengeluaran darah
Pengeluaran darah yang berlebihan (>500ml) dan dalam 24 jam persalinan disebut perdarahan pascapartum. Perdarahan ini disebabkan oleh kegagalan
miometrium berkontraksi secara sempurna, atau kegagalan mekanisme pembekuan darah.
Risiko perdarahan primer lebih rendah setelah persalinan, tetapi sebelum involusi uterus selesai tetap ada risiko perdarahan sekunder apabila terjadi
infeksi di dalam rongga uterus. Perdarahan biasanya disebabkan oleh efek fibrinolitik bakteri, bakteri yang bersifat anaerob yang mampu tumbuh subur tanpa
oksigen sehingga mungkin diperlukan antibiotik khusus.
5) Perubahan hormon
Pada akhir kehamilan sebagian besar hormon steroid berasal dari plasenta walaupun korpus luteum dan ovarium terus menghasilkan sebagian. Kadar esprogen dan
progesteron turun ketingkat sebelum hamil dalam 72 jam setelah persalinan. Hormon protein plasenta memiliki waktu paruh yang lebih lama sehingga kadar
plasenta turun lebih lambat. Selama kehamilan, pembentukan gonadotropin tertekan. Kadar FSH pulih ke konsentrasi prahamil dalam 3 minggu setelah
persalinan, tetapi pemulihan sekresi LH memerlukan waktu lebih lama, bergantung pada lama laktasi. Kadar oksitosin dan prolaktin juga bergantung pada
kinerja laktasi.
2. Perubahan pada sistem hematologis dan kardiovaskular
1) Sistem pernafasan
Penurunan konsentrasi progesteron setelah pengeluaran plasenta memulihkan sensitivitas tubuh terhadap karbon dioksida sehingga tekanan parsial karbon
dioksida kembali ke kadar sebelum hamil. Diagfragma dapat meningkatkan jarak gerakkannya setelah uterus tidak lagi menekannya sehingga ventilasi
lobus-lobus basal paru dapat berlangsung penuh. Compliance dinding dada, volume alun nafas, dan kecepatan pernafasan kembali ke normal dalam 1-3 minggu.
2) Sistem perkemihan
Pada masa nifas terjadi diuresis untuk mengembalikan peningkatan air ekstrasel. Diuresis biasanya terjadi antara hari kedua dan kelima pasca persalinan.
Distensi pada kandung kemih juga berpengaruh terhadap kontraksi uterus sehingga dapat menyebabkan perdarahan. Kebanyakan pasien dapat berkemih secara
spontan dalam 8 jam setelah melahirkan.
Aliran plasma ginjal, laju filtrasi glomelurus, dan keratinin plasma, kembali ke kadar normal prahamil pada pemeriksaan minggu ke-6. Ekskresi vitamin dan
mineral melalui urine normal dalam minggu pertama setelah persalinan. Kadar renin dan angiotensin plasma menyesuaikan diri dengan hilangnya hormon janin
yang mempengaruhi pengendalian keduanya sehingga kadar turun dan meningkat sebelum kembali ke normal.
3) Sistem pencernaan dan defekasi
Selama persalinan motilitas lambung berkurang, penurunan tonus sfingter esofagus bawah, penurunan motilitas lambung dan peningkatan keasaman lambung
menyebabkan perlambatan pengosongan lambung. Tonus dan tekanan sfingter esofagus bawah akan kembali normal dalam 6 minggu setelah persalinan. Pada nifas
dini, penurunan tonus otot dan motilitas saluran cerna dapat menyebabkan relaksasi abdomen, peningkatan distensi gas dan konstipasi setelah melahirkan.
3. Perubahan berat badan
Perubahan berat badan disebabkan oleh kombinasi peningkatan ACTH, ADH, dan stress, yang semuanya meningkatkan retensi natrium dan air. Berat biasanya turun
sejak hari ke-4 setelah persalinan karena deurisis meningkat. Penurunan berat badan cenderung lebih besar pada wanita dengan paritas rendah, usia yang
lebih muda, dan berat badan prahamil yang lebih rendah.
4. Perubahan struktur lain
Segera setelah melahirkan, vagina tampak halus, lunak, dan edema. Elastisitas jaringan kembali dalam beberapa hari. Karena vagina memiliki vaskularisasi
ekstensif, episiotomi dan robekan biasanya cepat sembuh. Rugae vagina kembali terbentuk, tetapi kurang menonjol dibandingkan sebelum hamil. Labia mengalami
mengalami regresi ke keadaan yang kurang menonjol dibandingkan dengan wanita nulipara. Penurunan estrogen pada persalinan menyebabkan epitel vagina menjadi
lebih tipis dan banyak wanita mengalami masalah dengan lubrikasi vagina segera setelah melahirkan.
Kekuatan otot dasar panggul dan pengendalian neuromuskulusnya lebih terganggu dan mengalami trauma mekanis yang lebih besar pada wanita yang melahirkan
pervagina, terutama pada minggu pertama masa nifas. Namun bagi sebagian besar wanita, tonus dan kekuatan otot kembali normal dalam 2 bulan. Melemahnya otot
sirkum vagina berkaitan dengan keadaan perineum, episiotomi, lama kala dua persalinan, berat bayi, dan teknik pendorongan.
Dinding abdomen mungkin tetap lunak dan kendor selama beberapa minggu. Peregangan yang berlebihan menyebabkan kelemahan otot yang menetap. Sendi dan
ligamentum panggul yang melunak secara perlahan kembali ke normal selama beberapa bulan. Strie gravidarum menjadi lebih pucat dalam beberapa bulan tetapi
hanya memudar dan tidak menghilang.
2.1.4 Adaptasi psikologis pada masa nifas
Masa nifas di sebut sebagai “trimester keempat” (Johnstone 1994), dan sesuai dengan definisinya, masa nifas adalah periode 6-8 minggu pascapartum, saat ibu
menyesuaikan diri secara fisiologis dan psikososial untuk menjadi ibu.
Perubahan emosi normal pada masa nifas bersifat pilihan dan kompleks dan mungkin meliputi hal-hal berikut ini (Ball 1994, Barclay&Llyod 1996,
Bick&MacArthur 1995, Bick et al 2002, Johnstone 1994):
- Perasaan yang kontradiktif dan bertentangan, mulai dari kepuasan, kegembiraan, kebahagiaan, hingga kelelahan, ketidakberdayaan, ketidakbahagiaan, dan
kekecewaan karena pada beberapa minggu pertama tampak didominasi oleh hal baru dan asing yang tidak terduga ini.
- Kelegaan, ‘syukurlah semua telah berakhir’, mungkin diungkapkan oleh kebanyakan ibu segera setelah kelahiran; kadang-kadang ibu menanggapi secara dingin
terhadap peristiwa yang baru terjadi, terutama bila ibu mengalami persalinan lama, dengan komplikasi, dan sulit.
- Beberapa ibu mungkin merasa dekat dengan pasangan dan bayi; sama halnya dengan ibu yang tidak tertarik dengan bayinya, meskipun beberapa ibu yang ingin
menyusui menginginkan adanya kontak kulit-ke-kulit dan segera menyusui.
- Tidak tertarik atau sangat perhatian terhadap bayi.
- Takut terhadap hal yang tidak diketahui dan terhadap tanggung jawab yang sangat berat dan mendadak.
- Kelelahan dan peningkatan emosi.
- Nyeri misalnya perineum dan puting susu.
- Peningkatan kerentanan, tidak mampu memutuskan (misalnya: menyusui); kehilangan libido, gangguan tidur dan kecemasan.
1.
Bonding Attachment
Menurut Brazetton (1978), bonding (ikatan) didefenisikan sebagai suatu ketertarikan satu sama lain (mutual) yang pertama kali antar individu, seperti
antara orangtua dan anak pada waktu pertama kali bertemu. Proses kasih sayng dapat berlangsung secara terus menerus, dimulai pada saat ibu hamil dan
semakkin menguat pada awal pasca melahirkan.
Kondisi yang dapat mempengaruhi ikatan menurut Mercer (1982) adalah sebagai berikut:
· Kesehatan emosional orang tua (termasuk kemampuan untuk mempercayai orang lain).
· Sistem dukungan sosial yang meliputi pasangan hidup, teman dan keluarga.
· Suatu tingkat keterampilan dalam berkomunikasi dan dalam memberi asuhan yang kompeten.
- Kedekatan orang tua dengan bayi.
· Kecocokan orang tua-bayi (termasuk keadaan, temperamen dan jenis kelamin bayi.
2. Fase Taking In (perilaku dependen)
Fase ini merupakan periode ketergantungan dimana ibu mengaharapkan segala kebutuhannya terpenuhi orang lain. Berlangsung selama 1-2 hari setelah
melahirkan, dimana fokus perhatian ibu terutama pada dirinya sendiri. Disebut fase taking in karena selama waktu ini ibu yang baru melahirkan memerlukan
perlindungan dan perawatan. Dikatan fase dependen karena pada waktu ini ibu menunjukkan kebahagiaan/kegembiraan yang besar dan sangat senang untuk
menceritakan tentang pengalamannya melahirkan.
Pada fase ini ibu lebih mudah tersinggung dan cenderung pasif terhadap lingkungannya disebabkan karena faktor kelelahan. Oleh karena itu ibu perlu cukup
istirahat untuk mencegah gejala kurang tidur. Disamping itu, kondisi tersebut perlu dipahami dengan menjaga komunikasi yang baik. Pada fase ini perlu
diperhatikan pemberian ekstra makanan untuk proses pemulihan ibu dan nafsu makan ibu juga sedang meningkat.
3.
Fase Taking Hold
Pada fase ini secara bergantian timbul kebutuhan ibu untuk mendapatkan perawatan dan penerimaan dari orang lain dan keinginan untuk bisa melakukan segala
sesuatu secara mandiri. Fase ini berlangsung antara 3-10 hari setelah melahirkan. Pada fase ini ibu sudah mulai menunjukkan kepuasaan
(terfokus pada bayinya). Ibu mulai tertarik melakukan pemeliharaan pada bayinya. Ibu mulai terbuka untuk menerima pendidikan kesehatan
bagi dirinya dan juga pada bayinya. Ibu mudah sekali didorong untuk melakukan perawatan bayinya. Pada fase ini ibu berespon dengan penuh
semangat untuk memperoleh kesempatan belajar dan berlatih tentang cara perawatan bayi dan ibu memiliki keinginan untuk merawat bayinya secara langsung. Fase ini tepat untuk memberika pendidika kesehatan tentang hal-hal yang diperlukan bagi ibu yang baru melahirkan dan bagi bayinya. Bidan
perlu memberikan dukungan tambahan bagi ibu-ibu yang baru melahirkan berikut ini :
- Ibu primipara yang belum berpengalaman mengasuh anak
- Ibu yang merupakan wanita karier
- Ibu yang tidak mempunyai keluarga untuk dapat berbagi rasa
- Ibu yang berusia remaja
- Ibu yang tidak bersuami
Karena ibu-ibu tersebut seringkali mengalami kesulitan menyesuaikan diri terhadap isolasi yang dialami dan tidak menyukai terhadap tanggugn jawabnya di
rumah dan merawat bayi.
4.
Fase Letting Go
Fase ini merupakan fase penerimaan tanggung jawab akan peran barunya yang berlangsung setelah 10 hari pasca melahirkan. Ibu sudah mulai menyesuaikan diri
dengan ketergantungan bayinya. Keinginan ibu untuk merawat diri dan bayinya sangat meningkat pada fase ini. Terjadi penyesuaian dalam hubungan keluarga
untuk mengobservasi bayi. Hubungan antar pasangan memerlukan penyesuaian dengan kehadiran anggota baru (bayi).
2.1.5 Kebutuhan dasar masa nifas
1. Nutrisi dan Cairan
Tidak ada kontraindikasi dalam pemberian nutrisi setelah persalinan. Ibu harus mendapat nutrisi yang lengkap dengan tambahan kalori sejak sebelum hamil
(200-500 kal) yang akan mempercepat pemulihan kesehatan dan kekuatan, meningkatkan kualitas dan kuantitas ASI, serta mencegah terjadinya infeksi.
Ibu nifas memerlukan diet untuk mempertahankan tubuh terhadap infeksi, mencegah konstipasi, dan untuk memulai proses pemberian ASI eksklusif. Asupan kalori
per hari ditingkatkan sampai 2700 kalori. Asupan cairan per hari ditingkatkan sampai 3000 ml (susu 1000 ml). Suplemen zat besi dapat diberikan kepada ibu
nifas selama 4 minggu pertama setelah kelahiran (Bahiyatun, 2009).
2. Ambulasi Dini (Early Ambulation)
Ambulasi dini adalah kebijaksanaan untuk selekas mungkin membimbing pasien keluar dari tempat tidurnya dan membimbingnya untuk berjalan. Menurut
penelitian, ambulasi dini tidak mempunyai pengaruh yang buruk, tidak menyebabkan perdarahan yang abnormal, tidak mempengaruhi penyembuhan luka episiotomy, dan tidak memperbesar kemungkinan terjadinya prolaps uteri atau retrofleksi. Ambulasi dini tidak dibenarkan pada
pasien dengan penyakit anemia, jantung, paru-paru, demam, dan keadaan yang lain yang masih membutuhkan istirahat (Sulistyawati, 2009).
3. Eliminasi
Dalam 6 jam pertama postpartum, pasien sudah harus dapat buang air kecil. Semakin lama urine tertahan dalam kandung kemih maka dapat mengakibatkan
kesulitan pada organ perkemihan, misalnya infeksi. Biasanya, pasien menahan air kencing karena takut akan merasakan sakit pada luka jalan lahir. Bidan
harus dapat meyakinkan pada pasien bahwa kencing sesegera mungkin setelah melahirkan akan mengurangi komplikasi postpartum. Berikan dukungan mental pada
pasien bahwa ia pasti mampu menahan sakit pada luka jalan lahir akibat terkena air kencing karena ia pun sudah berhasil berjuang untuk melahirkan bayinya.
Dalam 24 jam pertama, pasien juga sudah harus dapat buang air besar karena semakin lama feses tertahan dalam usus maka semakin sulit baginya untuk buang
air besar secara lancar. Feses yang tertahan dalam usus semakin lama akan mengeras karena cairan yang terkandung dalam feses akan selalu terserap oleh
usus. Bidan harus dapat meyakinkan pasien untuk tidak takut buang air besar karena buang air besar tidak akan menambah parah luka jalan lahir. Untuk
meningkatkan volume feses, anjurkan pasien untuk makan tinggi serat dan banyak minum air putih (Sulistyawati, 2009).
4. Higiene
Karena keletihan dan kondisi psikis yang belum stabil, biasanya ibu postpartum masih belum cukup kooperatif untuk membersihkan dirinya. Bidan harus
bijaksana dalam memberikan motivasi ini tanpa mengurangi keaktifan ibu untuk melakukan personal hygiene secara mandiri. Pada tahap awal, bidan
dapat melibatkan keluarga dalam perawatan kebersihan ibu (Sulistyawati, 2009).
5. Istirahat
Ibu postpartum sangat membutuhkan istirahat yang berkualitas untuk memulihkan kembali keadaan fisiknya. keluarga disarankan untuk memberikan
kesempatan kepada ibu untuk beristirahat yang cukup sebagai persiapan untuk energi menyusui bayinya nanti (Sulistyawati, 2009). Jika ibu kurang istirahat
akan mengakibatkan berkurangnya jumlah produksi ASI, memperlambat proses involusi, memperbanyak perdarahan, menyebabkan depresi, dan menimbulkan rasa
ketidakmampuan merawat bayi (Bahiyatun, 2009).
6. Seksual
Secara fisik, aman untuk melakukan hubungan seksual begitu darah merah berhenti dan ibu dapat memasukkan satu atau dua jarinya ke dalam vagina tanpa rasa
nyeri. Banyak budaya dan agama yang melarang untuk melakukan hubungan seksual sampai masa waktu tertentu, misalnya setelah 40 hari atau 6 minggu setelah
kelahiran. Keputusan bergantung pada pasangan yang bersangkutan (Sulistyawati, 2009).
7. Latihan/ Senam Nifas
Untuk mencapai hasil pemulihan otot yang maksimal, sebaiknya latihan masa nifas dilakukan seawal mungkin dengan catatan ibu menjalani persalinan dengan
normal dan tidak ada penyulit postpartum.
2.1.6 Asuhan Masa Nifas
Asuhan masa nifas diperlukan dalam periode ini karena merupakan masa kritis baik ibu maupun bayinya. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan
terjadi setelah persalinan, dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama. Masa neonatus merupakan masa kritis dari kehidupan bayi, dua pertiga
kematian bayi terjadi dalam waktu 4 minggu setelah persalinan dan 60% kematian bayi baru lahir terjadi dalam waktu 7 hari setelah lahir. Dengan pemantauan
melekat dan asuhan pada ibu dan bayi masa nifas dapat mencegah beberapa kematian ini (Saifuddin, 2000).
Prinsip dari asuhan pada masa nifas ini adalah melakukan kunjungan untuk mengevaluasi keadaan ibu nifas selama perawatan di rumah seperti apa. Pemberian health education juga merupakan hal penting dalam pelaksanaan kunjungan pada masa nifas (home care).
Jadwal kunjungan pada masa nifas adalah 4x, yaitu:
1. Kunjungan pertama (6-8 jam post-partum)
Dalam 1 jam pertama persalinan, ibu dan bayi tidak boleh ditinggal tanpa pengawasan karena ibu satu jam post partum ini rawan terjadi perdarahan dan harus
diobservasi tanda-tanda vitalnya secara berkala.
Yang harus dikaji dalam kunjungan pertama ini adalah TFU, kontraksi uterus, banyaknya perdarahan, perkembangan tanda-tanda vital, kandung kemih, dan rooming in jika ibu tidak terdapat komplikasi yang berarti.
2. Kunjungan kedua (6 hari post partum)
Yang harus dikaji di kunjungan kedua ini adalah mengobservasi proses involusi uterus, yaitu dengan mengkaji penurunan TFU, warna lochea, kelancaran ASI,
dan pemenuhan kalori ibu nifas yang harus tercukupi demi keberhasilan pemberian ASI eksklusif.
3. Kunjungan ketiga ( 2 minggu post partum)
Yang harus dikaji di kunjungan kedua ini adalah sama seperti kunjungan kedua.
4. Kunjungan keempat (6 minggu post partum)
Kunjungan keempat ini akan dievaluasi cairan yang keluar dari vagina, keberhasilan ASI eksklusif, penyuluhan metode KB agar tidak terjadi hamil anak
selanjutnya yang tidak direncanakan, serta penyuluhan mengenai hubungan seksual. Jika involusi telah sempurna, ibu dan suami diperbolehkan untuk
berhubungan seksual.
2.2
Konsep Dasar Pre Eklampsia Berat
2.2.1 Pengertian
Pre eklampsia adalah suatu kondisi yang spesifik pada kehamilan, terjadi setelah minggu ke-20 gestasia, ditandai dengan hipertensi dan proteinuria, edema
juga terjadi (WHO, 2001).
Preeklampsia Berat adalah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria > 5gr/24 jam
(Saifuddin A, 2008).
2.2.2 Etiologi
Apa yang menjadi penyebab pre eklampsia dan eklampsia sampai sekarang belum dketahui. Telah terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan sebab musabab
penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang memberi jawaban yang memuaskan. Teori yang dapat diterima harus harus dapat menerangkan hal-hal berikut :
1) sebab bertambahnya frekuensi pada primigravidas, kehamilan ganda, hidramnion dan mola hidatidosa
2) sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan
3) sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dalam uterus
4) sebab jarangnya terjadi eklampsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya dan
5) timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma (Wiknjosastro, 2007).
Gambar 2.1 Faktor predisposisi pre eklampsi pada masa nifas (modifikasi teori buku saku WHO, 2013).
2.2.3 Patofisiologi pre eklampsi berat
Gambar 2.2 Trias pre eklampsi berat (modifikasi teori dari saifuddin dan winkjosastro)
2.2.4 Gambaran klinis
Biasanya tanda-tanda pre-eklampsia timbul dalam urutan : pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada
pre-eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Pada pre-eklampsia berat didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia,
penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-muntah (Wiknjosastro,2007).
Tanda dan gejala pre eklampsi berat adalah sebagai berikut:
1. Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg pada usia kehamilan >20mg
2. Tekanan darah diastolic ≥100 mmHg pada usia kehamilan >20mg
3. Peningkatan kadar enzim hati atau/dan icterus
4. Trombosit < 100.000/mm3
5. Oliguria <400 ml/24 jam
6. Proteinuria > 3g/liter, test celup urin ≥2+
7. Nyeri epigastrium
8. Skotoma atau gangguan visus lain atau nyeri frontal yang berat
9. Perdarahan retina
10. Edema pulmonum
11. Koma
2.2.5 Diagnosis
Pada umunya diagnosis pre eklampsi didasarkan atas adanya 2 dari trias tanda utama: hipertensi, edema dan proteinuria. Adanya satu tanda harus menimbulkan
kewaspadaan, karena cepat tidaknya penyakit meningkat tidak dapat diramalkan. Diagnosis diferensial antara pre eklampsi dengan hipertensi atau penyakit
ginjal tidak jarang menimbulkan kesukaran.
Uji diagnostic pre eklampsi adalah sebagai berikut ;
1. Uji diagnostik dasar
- Pengukuran tekanan darah
- Analisis protein dalam urine
- Pemeriksaan edema
- Pengukuran tinggi fundus uteri
- Pemeriksaan funduskopik
2. Uji laboratorium dasar
- Evaluasi hematologik (hematokrit, jumlah trombosit, morfologi eritrosit pada sediaan apus darah tepi)
- Pemeriksaan fungsi hati (bilirubin, protein serum, aspartate aminotransferase, dsb)
- Pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin)
3. Uji untuk meramalkan hipertensi
- Rool-over test
- Pemberian infus angiotensin 2
2.2.6 Perubahan fisiologi patologi
1. Perubahan fisiologi patologik
Menurut Wiknjosastro (2007), Perubahan pokok yang didapatkan pada pre-eklampsia adalah spasmus pembuluh darah disertai dengan retensi garam dna air. Dengan
biopsi ginjal, Altchek dkk. (1968) menemukan spasmus yang hebat pada arteriola glomerulus. Pada beberapa kasus lumen arteriola demikian kecilnya, sehingga
hanya dapat dilalui oleh satu sel darah merah. Bila dianggap bahwa spasmus arteriola juga ditemukan diseluruh tubuh, maka mudah dimengerti bahwa tekanan
darah yang meningkat tampaknya merupakan usaha mengatasi kenaikan tahanan perifer, agar oksigenisasi jaringan dapat dicukupi. Kenaikan berat badan dan
edema yang disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang interstitial belum diketahui sebabnya. Telah diketahui bahwa pada preeklampsia dijumpai
kadar aldosteron yang rendah dan konsentrasi prolaktin yang tinggi daripada kehamilan normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan volume plasma dan
mengatur retensi air dan natrium. Pada preeklampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat.
2. Perubahan pada plasenta dan uterus
Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi yang agak lama pertumbuhan janin terganggu; pada hipertensi
yang lebih pendek bisa terjadi gawat janin sampai kematiannya karena kekurangan oksigenisasi. Kenaikan tonus uterus dan kepekaan terhadap perangsangan
sering didapatkan pada pre-eklampsia dan eklampsia, sehingga mudah terjadi partus prematurus.
3. Perubahan pada ginjal
Perubahan pada ginjal disebabkan oleh aliran darah ke dalam ginjal menurun, sehingga menyebabkan filtrasi glomerulus mengurang. Kelainan pada ginjal yang
penting ialah dalam hubungan dengan proteinuria dan mungkin sekali juga dengan retensi garam dan air. Mekanisme retensi garam dan air belum diketahui
benar, tetapi disangka akibat perubahan dalam perbandingan antara tingkat filtrasi gromerulus dan tingkat penyerapan kembali oleh tubulus. Pada kehamilan
normal penyerapan ini meningkat sesuai dengan kenaikan filtrasi glomerulus. Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriolus ginjal menyebabkan
filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam dan dengan demikian juga retensi air. Peranan kelenjar adrenal dalam retensi
garam dan air belum diketahui benar. Fungsi ginjal pada pre-eklampsia tampaknya agak menurun bila dilihat dari clearance asam urik. Filtrasi glomerulus
dapat turun sampai 50% dari normal, sehingga menyebabkan diuresis turun ; pada keadaan lanjut dapat terjadi oliguria atau anuria.
4. Perubahan pada retina
Pada pre-eklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh pada satu atau beberapa arteri; jarang terlihat perdarahan atau eksudat.
Retinopatia arteriosklerotika menunjukkan penyakit vaskuler yang menahun. Keadaan tersebut tak tampak pada pre-eklampsia, kecuali bila terjadi atas dasar
hipertensi menahun atau penyakit ginjal. Spasmus arteri retina yang nyata menunjukkan adanya pre-eklampsia berat, walaupun demikian, vasospasmus ringan
tidak selalu menunjukkan pre-eklampsia ringan. Pada pre-eklampsia jarang terjadi ablasio retina. Keadaan ini diserta dengan buta sekonyong-konyong.
Pelepasan retina disebabkan oleh edema intraokuler dan merupakan indikasi untuk pengakhiran kehamilan segera. Biasanya setelah persalinan berakhir, retina
melekat lagi dalam 2 hari sampai 2 bulan. Gangguan penglihatan secara tetap jarang ditemukan. Skotoma, diplopia, dan ambliopia pada penderita pre-eklampsia
merupakan gejala yang menunjukkan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri
atau dalam retina.
5. Perubahan pada paru-paru
Edema paru-paru merupakan sebab utama kematian penderita pre-eklampsia dan eklampsia. Komplikasi ini biasanya disebabkan oleh dekompensasio kordis kiri.
6. Perubahan pada otak
McCall melaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi lagi pada eklampsia. Walaupun demikian, aliran
darah ke otak dan pemakaian oksigen pada pre-eklampsia tetap dalam batas normal. Pemakaian oksigen oleh otak hanya menurun pada eklampsia.
7. Metabolisme air dan elektrolit
Hemokonsentrasi yang menyertai pre-eklampsia dan eklampsia tidak diketahui sebabnya. Terjadi disini pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang
interstisial. Kejadian ini yang diikuti oleh kenaikan hemotokrit, peningkatan protein serum, dan sering bertambahnya edema, menyebabkan volume darah
mengurang, viskositet darah meningkat, waktu peredaran darah tepi lebih lama. Karena itu, aliran darah ke jaringan diberbagai bagian tubuh mengurang,
dengan akibat hipoksia. Dengan perbaikan keadaan, hemokonsentrasi berkurang, sehingga turunnya hematokrit dapat dipakai sebagai ukuran tentang perbaikan
keadaan penyakit dan tentang berhasilnya pengobatan.
2.2.6 Faktor Predisposisi
1. Paritas
Paritas adalah seorang wanita yang beberapa kali melahirkan hidup atau meninggal tidak termasuk aborsi (Varney, 2001).
Klasifikasi paritas :
a. Primipara adalah wanita yang pernah melahirkan bayi aterm sebanyak 1 kali (Cunningham, 2005).
b. Multipara adalah seorang wanita yang telah menyelesaikan dua atau lebih kehamilan sampai pada stadium hidup (Cunningham, 2005).
c. Multipara adalah seorang wanita yang telah hamil 2 kali atau lebih yang menghasilkan janin hidup (Dorland, 2002).
d. Grandemultipara adalah wanita yang pernah melahirkan bayi 6 kali atau lebih, hidup atau (Mochtar, 1998).
e. Grandemulti adalah ibu yang pernah hamil/melahirkan anak 4 kali atau lebih (Poedji Rochjati, 2003).
Pada primigravida frekuensi pre-eklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama gravida muda (Wiknjosastro, 2007). Ibu yang
mempunyai tanda-tanda klinis hipertensi akibat kehamilan dapat terus mengalaminya hingga pascapartum (Fraser dkk, 2009).
2. Usia yang ekstrim (<18th dan >35th)
Usia individu mulai saat dilahirkan dan sampai saat berulang tahun terakhir (Elizabeth, 1995 dalam Nursalam dan Pariani, 2000 : 134). Klasifikasi usia
yaitu :
a. Remaja (13-19 tahun) memiliki kemungkinan lebih besar mengalami anemia, dan beresiko lebih tinggi memiliki janin yang pertumbuhannya terhambat,
persalinan premature, dan angka kematian bayi yang lebih tinggi.
b. Menurut Penny Simkin (2007) usia yang paling menguntungkan bagi wanita untuk hamil adalah usia 20 sampai pertengahan 30-an.
c. Ibu hamil yang berumur 35 tahun atau lebih, dimana pada usia tersebut terjadi perubahan pada jaringan alat-alat kandungan dan jalan lahir tidak lentur
lagi. Selain itu ada kecenderungan didapatkan penyakit lain dalam tubuh ibu (Poedji Rochjati, 2003). Sedangkan menurut Cunningham dkk (2005)
penelitian-penelitian awal mengalami penyulit obstetris serta morbiditas dan mortalitas perinatal.
Bahaya yang dapat terjadi pada kelompok ibu berusia 35 tahun atau lebih antara lain :
a. Tekanan darah tinggi atau pre-eklampsia.
b. Ketuban pecah dini : ketuban pecah sebelum persalinan dimulai.
c. Persalinan tidak lancar / macet.
d. Perdarahan setelah bayi lahir.
(Poedji Rochjati, 2003)
3. Hamil kembar
Pada hamil kembar perut tampak membesar lebih besar dari biasanya. Rahim ibu juga ikut membesar yang menekan organ tubuh disekitarnya dan menyebabkan
keluhan-keluhan nafas tidak longgar, pembengkakan kedua bibir kemaluan dan tungkai, pemekaran urat-urat varices dan hemoroid. Bahaya yang dapat terjadi
pada kehamilan kembar yaitu keracunan kehamilan, kembar air, ibu kurang darah, persalinan prematur, kelainan letak persalinan sukar atau timbul perdarahan
setelah bayi dan uri lahir (Poedji Rochjati, 2003).
4. Poli hidramnion
Hidramnion adalah kehamilan dengan jumlah air ketuban lebih dari 2 liter. Keadaan ini mulai tampak pada triwulan III, dapat terjadi secara perlahan-lahan
atau sangat cepat. Pada kehamilan normal, jumlah air ketuban 0,5-1 liter. Karena rahim snagat besar menekan pada organ tubuh sekitarnya yang menyebabkan
keluhan-keluhan antara lain : sesak nafas karena sekat rongga dada terdorong ke atas; perut membesar, nyeri perut karena rahim berisi air ketuban > 2
liter dan pembengkakan pada kedua bibir kemaluan dan tungkai. Bahaya yang dapat terjadi :
a. Keracunan kehamilan
b. Cacat bawaan pada bayi
c. Kelainan letak
d. Persalinan premature, kurang bulan dan berat lahir < 2500 gr
e. Perdarahan pasca persalinan
(Poedji Rochjati, 2003)
5. Hipertensi esensial
Wanita dengan hipertensi esensial sebelum kehamilan dapat diperburuk kondisi hipertensi saat hamil. Gangguan hipertensi meliputi berbagai gangguan
vaskular, seperti hipertensi gestasional, pre-eklampsia, sindrom hellps, eklampsia dan hipertensi kronis (Fraser, 2009).
6. Riwayat pre-eklampsia / eklampsia pada kehamilan sebelumnya
Ibu yang memiliki riwayat pre eklampsia berat sebelum usia gestasi 32 minggu beresiko 5% mengalami kekambuhan pada usia gestasi tersebut dan 15% resiko
kekambuhan secara keseluruhan (Matter dan Sibai, 2000 dalam buku Myles buku ajar bidan, 2009).
7. Riwayat eklampsia keluarga
Kecenderungan meningkatnya frekuensi pre eklampsia dan eklampsia pada anak ibu dengan riwayat pre eklampsia dan eklampsia (Manuaba, 1998).
8. Obesitas
Wanita yang berat badan kurang dari 100 pon sebelum menjadi hamil, mungkin memiliki bayi kecil atau berat badan kurang. Wanita dengan obesitas lebih
mungkin memiliki bayi yang sangat besar, yang kemungkinan sulit dilairkan. Wanita denga obesitas mungkin juga mengalami DM dan Pre eklampsia
2.2.8 Diagnosa banding
Hipertensi Kronik (Hipertensi yang sudah ada sebelum kehamilan 20 minggu atau menetap 6 minggu pasca persalinan), dan Transient Hipertensi (timbul
hipertensi saja tanpa gejala lain dan hilang setelah 10 hari pasca persalinan). Penyakit ginjal merupakan diagnosa pembanding karena timbulnya proteinuria,
tetapi pre eklampsi jarang sekali timbul sebelum triwulan ke-3.
2.2.9 Komplikasi
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama adalah melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia berat. Komplikasi ini
juga pasti menimpa pada ibu dengan eklampsi, komplikasi yang terjadi pada saat nifas adalah :
1. Hipofibrinogenemia, pada PEB sering terjadi dan ditemukan komplikasi ini sehingga sangat dianjurkan untuk pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala.
2. Hemolisis, penderita yang menderita pre eklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala hemolisis karena ikterus. Belum pasti kerusakan karena sel-sel
hati atau destruksi sel darah merah.
3. Perdarahan otak, inilah yang menyebabkan kematian maternal penderita eklampsi.
4. Kelainan mata, perdarahan kadang terjadi di bagian retina.
5. Edema paru-paru, hal ini disebabkan karena payah jantung.
6. Nekrosis hati, akibat vasopasmus arteriol umum.
7. Sindroma HELLP
8. Kelainan ginjal
9. Komplikasi lain seperti lidah tergigit akibat kejang, trauma dan fraktur
2.2.10 Pre eklampsia pada masa nifas
Ibu pernah mengalami episode hipertensi pada kehamilan dapat terus mengalaminya hingga pascapartum. Ibu yang mempunyai tanda-tanda klinis hipertensi akibat
kehamilan masih beresiko untuk mengalami eklamsia pada beberapa jam atau beberapa hari setelah persalinan, meskipun hal ini jarang terjadi pada populasi
normal (Atterbury et al, 1998). Pemantauan tekanan darah harus terus dilakukan pada ibu yang menderita hipertensi antenatal dan penatalaksanaan pascapartum
disesuaikan dengan kondisi individu. Bagi para ibu ini, nasihat medis diberikan untuk menentukan batas tekanan sistolik dan diastolik yang optimal,
disertai instruksi penanganan dengan menggunakan obat antihipertensi jika tekanan darah melebihi batas yang telah ditentukan. Kadang-kadang, ibu dapat
mengalami pre-eklampsia pascanatal meskipun tidak memiliki masalah antenatal yang terkait dengan pre-eklampsia. Oleh karena itu, jika seorang ibu
pascapartum menunjukkan tanda yang berhubungan dengan pre-eklampsia, bidan harus waspada terhadap kemungkinan tersebut dan harus melakukan observasi
tekanan darah dan urine dan mencari bantuan medis (Fraser, 2009).
2.2.11 Penanganan
1. Penatalaksanaan sebelum rujukan
Pasien yang mengalami tanda-tanda adanya prekelampsia berat atau kejang harus segera dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan terdekat. Bila pasien mengalami
kejang, harus diyakini bahwa jalan napas tidak tersumbat. Jangan memberikan cairan atau makanan ke dalam mulut karena pasien sewaktu-waktu dapat muntah dan
cairan muntahan dapat terisap masuk ke dalam paru-paru. Putarlah kepala pasien dan kalau perlu putar juga badannya ke samping dengan demikian bila ia
muntah, tidak sampai terjadi aspirasi. Jagalah agar kondisi badannya tetap hangat karena kondisi hipotermia berbahaya dan dapat memperberat syok.
Naikkanlah kaki pasien untuk membantu aliran darah balik ke jantung. Jika posisi berbaring menyebabkan pasien merasa sesak napas, kemungkinan hal ini
dikarenakan gagal jantung dan edema paru-paru. Pada kasus demikian, tungkai diturunkan dan naikkanlah posisi kepala untuk mengurangi cairan dalam
paru-paru.
Selama dilakukan rujukan, pantau dan nilai adanya pemburukan pre eklampsi, apabila terjadi eklampsi lakukan penilaian awal dan tatalaksana
kegawatdaruratan. Berikan kembali MgSO4 2g IV perlahan selama 5-10 menit. Bila setelah pemberian masih kejang dapat dipertimbangkan pemberian diazepam 10mg
IV selama 2 menit. Lakukan intubasi jika sering terjadi kejang berulang dan segera kirim ibu ke ruang ICU (bila tersedia) yang sudah siap dengan fasilitas
ventilator tekanan positif.
2. Penatalaksanaan Medis
Menurut Agus Abadi dkk dalam buku Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Surabaya penatalaksanaan pre eklampsia
terbagi atas:
1) Perawatan Konserfatif
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Bag. Obstetri dan Ginekologi RSU Dr. Soetomo (tahun 1995), menyimpulkan perawatan konserfatif pada kehamilan
premature ≤ 32 minggu terutama < 30 minggu memberikan prognosa yang buruk. Diperlukan perawatan konserfatif sekitar 7 – 15 hari.
(1) Indikasi
Pada UK < 34 minggu estimasi berat janin < 2000 gram tanpa ada tanda – tanda impending Eklampsia).
(2) Pengobatan
a. Dikamar bersalin ( selama 24 jam )
- Tirah baring.
- Infuse RL (Ringer Laktat) yang mengandung 5% dextrose 60 – 125 cc/ jam.
- 10 MgSO4 50% im setiap 6 jam s/d 24 jam pasca persalinan (kalau tidak ada kontraindikasi dalam pemberian MgSO4).
- Diberikan anithipertensi , yaitu Nifedipin 5 – 10 mg setiap 8 jam. Dapat diberikan bersamaan dengan Methyldopa 250 – 500 mg setiap 8 jam. Nifedipin dapat
diberikan ulang sublingual 5- 10 mg dalam waktu 30 menit pada keadaan tekanan sistolik ≥180 mmHg atau diastolik ≥110 mmHg (cukup 1 kali saja).
- Dilakukan pemeriksaan laboratorium tertentu ( fungsi hepar dan ginjal) dan produksi urin 24 jam.
- Konsultasi dengan bagian lain; bagian mata, bagian jantung, bagian lain sesuai indikasi
b. Pengobatan dan evaluasi selama rawat tinggal di Ruang Bersalin (setelah 24 jam masuk ruang bersalin)
- Tirah baring
- Obat – obat:
- Roboransia: multivitamin
- Aspirin dosis rendah 87,5 mg sehari satu kali
- Anti hipertensi (Nifedipin 5 – 10 mg setiap 8 jam, atau Methyldopa 250 mg setiap 8 jam)
- Pergunakan Atenolol dan β blocker (dosis Regimen) dapat diberikan pada pemberian kombinasi
- Pemeriksaan laboratorium
- Hb, PCV dan hapusan darah tepi
- Asam urat darah ( Trombosit)
- Faal ginjal/ hepar
- Urine lengkap
- Produksi urin per 24 jam (Esbach), penimbangan BB setiap hari, pemeriksaan lab dapat diulangi sesuai dengan keperluan
- Diet tinggi protein, rendah karbohidrat
- Dilakukan penilaian kesejahteraan janin termasuk biometri, jumlah cairan ketuban, gerakan, respirasi dan eksistensi janin, velosimetri (resistensi),
umbilikalis, dan rasio panjang femur terhadap lingkaran abdomen.
(3) Perawatan konserfatif dianggap gagal apabila:
a. Ada tanda – tanda impending eklampsia
b. Kenaikan progresif tekanan darah
c. Ada Sindrome HELLP
d. Ada kelainan fungsi ginjal
e. Penilaian kesejahteraan janin jelek
2) Perawatan Aktif
(1) Indikasi
a. Hasil penilaian kesejahteraan janin jelek, ada gejala – gejala impending eklampsia
b. Ada sindroma HELLP
c. Kehamilan late preterm ( ≥ 34 minggu estimasi berat janin ≥ 2000 gram)
(2) Pengobatan medisinal
a. Segera rawat inap
b. Tirah baring miring satu sisi
c. Infuse RL yang mengandung 5 % Dextrose dengan 60 – 125 cc/ jam
d. Pemberian anti kejang MgSO4
Dosis awal :
MgSO4 20% 4gr larutkan dalam 10cc aquabides, berikan larutan secara IV selama 20 menit, jika akses intravena sulit berikan masing-masing 5gr
MgSO4 $)% IM boka boki.
Dosis pemeliharaan :
MgSO4 40% 6gr dan larutkan dalam 500ml RL lalu berikan secara IV dengan kecepatan 28tetes/menit dan diulang hingga 24 jam setelah persalinan
atau kejang berakhir.
Syarat pemberian:
- Reflek patella positif
- Respirasi > 16 kali /menit
- Urine sekurang –kurangnya 150 cc/6 jam
- Harus selalu tersedia calcium glukonas 1 gr 10% diberikan i.v pelan- pelan pada intoksikasi MgSO4
- Antihipertensi dapat dipertimbangkan apabila systole ≥180 mmHg diastole ≥120 mmHg. Nifedipin 5 -10 mg tiap 8 jam atau Methyldopa 250 mg tiap 8 jam
(3) Pengobatan Obstetrik
a. Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada tiap penderita dilakukan pemeriksaan “Non Stress test”
b. Tindakan seksio sesaria dikerjakan bila:
- Non stress test jelek
- Penderita belum inpartu dengn skor pelvic jelek (skor Bishop <5)
- Kegagalan drip oksitosin
c. Induksi dengan drip oxytocin dikerjakan bila :
- NST baik
- Penderita belum inpartu dengan skor pelvic baik (skor Bishop ≥5)
d. Beri tahu dokter apabila kondisi pasien :
(1) Anuria atau oliguria berat
Jika halauan urine kurang dari 500 ml dalam 24 jam :
1. Batasi jumlah asupan cairan sampai 500 ml per 24 jam + jumlah yang sama dengan jumlah urine yang keluar.
2. Jika tidak ada kemajuan dalam 24 – 48 jam, dokter harus memutuskan bahwa penatalaksanaan selanjutnya sangat dibutuhkan.
(2) Tekanan darah tetap tinggi
Setelah eklampsia, tekanan darah dapat :
1. Kembali normal dalam beberapa hari setelah me;lahirkan
2. Kembali normal setelah beberapa minggu
3. Tetap tinggi secara permanen
Dokter harus memutuskan metode penatalaksanaannya. Biasanya selama minggu pertama post partum, penatalaksanaan lanjutan seperti hydralazine diberikan jika
tekanan darah naik melebihi 110 mmHg.
Jika tekanan darah masih tetap tinggi dalam 48 jam setelah melahirkan, program antihipertensi standar harus segera dimulai. Pasien harus dikaji ulang oleh
dokter yang akan memutuskan perlu tidaknya dilakukan penatalaksanaan jangka panjang. (WHO, 2001)
2.3
Konsep sectio caesar
2.3.1 Definisi / batasan
Sectio caesar
adalah salah satu bentuk pengeluaran fetus melalui sebuah irisan pembedahan yang menembus abdomen seorang ibu (laparotomi) dan uterus (hiskotomi) untuk
mengeluarkan 1 bayi atau lebih (http://Sectio Caesar « Pelangi Kehidupan.htm.)
Sectio caesar
adalah lahirnya janin, plasenta dan selaput ketuban melalui irisan yang dibuat pada dinding perut dan rahim. Banyak faktor yang menyebabkan diambilnya
tindakan sectio caesar, yaitu faktor ibu, faktor janin, faktor jalan lahir, berdasarkan partograf, partus kasep dan kegagalan.
Sectio caesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut. (Rustam Mochtar, 1992).
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim
dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 1991).
2.3.2 Patologi
Pada operasi sectio caesarea transperitonial ini terjadi, perlukaan baik pada dinding abdomen (kulit dan otot perut) dan pada dinding uterus. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi penyembuhan dari luka operasi antara lain adalah suplay darah, infeksi dan iritasi. Dengan adanya supply darah yang baik akan
berpengaruh terhadap kecepatan proses penyembuhan. Perjalanan proses penyembuhan sebagai berikut :
(1) sewaktu incisi (kulit diiris), maka beberapa sel epitel, sel dermis dan jaringan kulit akan mati. Ruang incisi akan diisi oleh gumpalan darah dalam 24
jam pertama akan mengalami reaksi radang mendadak,
(2) dalam 2-3 hari kemudian, exudat akan mengalami resolusif proliferasi (pelipatgandaan) fibroblast mulai terjadi,
(3) pada hari ke-3-4 gumpalan darah mengalami organisasi,
(4) pada hari ke 5 tensile strength (kekuatan untuk mencegah terbuka kembali luka) mulai timbul, yang dapat mencegah terjadi dehiscence (merekah) luka,
(5) pada hari ke-7-8, epitelisasi terjadi dan luka akan sembuh. Kecepatan epitelisasi adalah 0,5 mm per hari, berjalan dari tepi luka ke arah tengah atau
terjadi dari sisa-sisa epitel dalam dermis,
(6) Pada hari ke 14-15, tensile strength hanya 1/5 maksimum,
(7) tensile strength mencapai maksimum dalam 6 minggu. Untuk itu pada seseorang dengan riwayat SC dianjurkan untuk tidak hamil pada satu tahun pertama
setelah operasi (Hudaya, 1996).
2.3.3 Etiologi
Pada persalinan normal bayi akan keluar melalui vagina, baik dengan alat maupun dengan kekuatan ibu sendiri. Dalam keadaan patologi kemungkinan dilakukan
operasi sectio caesarea. Adapun penyebab dilakukan operasi sectio caesarea adalah :
1. Kelainan dalam bentuk janin
1) Bayi terlalu besar
Berat bayi lahir sekitar 4000 gram atau lebih (giant baby), menyebabkan bayii sulit keluar dari jalan lahir.
2) Ancaman gawat janin
Keadaan gawat janin pada tahap persalinan, memungkinkan dokter memutuskan untuk segera melakukan operasi. Apalagi jika ditunjang oleh kondisi ibu yang
kurang menguntungkan.
3) Janin abnormal
Janin sakit atau abnormal, misalnya gangguan Rh, kerusakan genetic, dan hidrosephalus (kepala besar karena otak berisi cairan), dapat menyebabkan
diputuskannya dilakukan operasi.
4) Bayi kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada
kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.
2. Kelainan panggul
Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis dapat menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan. Terjadinya kelainan panggul ini dapat
disebabkan oleh terjadinya gangguan pertumbuhan dalam rahim (sejak dalam kandungan), mengalami penyakit tulang (terutama tulang belakang), penyakit polio
atau mengalami kecelakaan sehingga terjadi kerusakan atau patah panggul.
3. Faktor hambatan jalan lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali
pusat pendek dan ibu sulit bernafas (Dini Kasdu, 2003).
2.3.3 Indikasi medis
Pada persalinan normal bayi akan keluar melalui vagina, baik dengan alat maupun dengan kekuatan ibu sendiri. Dalam keadaan patologi, persalinan kemungkinan
akan dilakukan dengan operasi sectio caesar. Adapun penyebab dilakukan operasi sectio caesar adalah
1.
Malpresentasi, yaitu bagian bawah fetus yang menjadi bagian terendah bukanlah belakang kepala, seperti presentasi bokong dan presentasi bahu.
2. Bayi raksasa (giant baby), yaitu bayi dengan berat mendekati atau di atas 4,5 kg.
3. Tali pusat lepas duluan (abruptio placenta), biasanya karena plasenta tidak terletak di rahim bagian atas.
4. Tali plasenta bermasalah atau melilit tubuh bayi sehingga menghalangi pernafasan dan asupan nutrisinya.
5. Placenta previa, yaitu tali pusat menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir.
6. Bayi kembar banyak (lebih dari 2, masih kontroversi).
7. Bayi memiliki kelainan atau mengalami stress (fetal distress), misalnya terlihat pada denyut jantung yang lemah.
8. Kepala bayi jauh lebih besar dari ukuran normal (hidrosefalus).
9. Pernah menjalani operasi caesar pada persalinan sebelumnya yang belum terlalu lama (di bawah dua tahun). Bila jarak antar persalinan
cukup lama, persalinan normal masih bisa disarankan.
10. Ukuran pinggul ibu terlalu kecil/disposisi kepala panggul/panggul picak.
11. Kontraksi terlalu lemah atau berhenti.
12. Terjadi pendarahan yang terlalu banyak dan membahayakan calon ibu.
13. Leher rahim (serviks) tidak sepenuhnya terbuka.
14. Ibu bayi memiliki masalah kesehatan, antara lain hipertensi dan diabetes, yang membutuhkan penanganan intensif.
15. Proses persalinan normal yang lama atau kegagalan proses persalinan normal (dystosia)
16. Adanya kelelahan persalinan.
17. Komplikasi pre-eklampsia.
18. Sang ibu menderita herpes.
19. Resiko luka parah pada rahim.
20. Kegagalan persalinan dengan induksi.
21. Kegagalan persalinan dengan alat bantu (forceps atau ventouse).
22. Sebelumnya pernah mengalami masalah pada penyembuhan perineum (oleh proses persalinan sebelumnya atau penyakit Crohn)
23. Angka d-dimer tinggi bagi ibu hamil yang menderita sindrom antibodi antifosfolipid
24. CPD atau cephalo pelvic disproportion (proporsi panggul dan kepala bayi yang tidak pas, sehingga persalinan terhambat), dan
25. Air ketuban yang tinggal sedikit (+/- 10%).
2.3.4 Komplikasi
Komplikasi yang bisa timbul pada sectio caesarea adalah sebagai berikut :
1. Infeksi puerperal yang terdiri dari infeksi ringan dan infeksi berat. Infeksi ringan ditandai dengan kenaikan suhu beberapa hari dalam masa nifas,
infeksi yang berat ditandai dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi bisa terjadi sepsis, infeksi ini bisa terjadi karena karena partus lama dan ketuban yang
telah pecah terlalu lama,
2. Perdarahan bisa terjadi pada waktu pembedahan cabang-cabang atonia uteria ikut terbuka atau karena atonia uteria,
3. Terjadi komplikasi lain karena luka kandung kencing, embolisme paru dan deep vein trombosis,
4. Terjadi ruptur uteri pada kehamilan berikutnya
5. Perdarahan banyak.
6. Luka operasi baru di perut.
7. Cedera pada rahim bagian bawah atau cedera pada kandung kemih (robek).
8. Pada kasus bekas operasi sebelumnya dapat ditemukan perlekatan organ dalam panggul.
9. Emboli air ketuban yang dapat terjadi selama tindakan operasi.
10. Infeksi pada rahim/endometritis, alat-alat berkemih, usus, dan luka operasi.
11. Nyeri bila buang air kecil, luka operasi bernanah, luka operasi terbuka dan sepsis (infeksi yang sangat berat).
12. Ruptur uteri spontan pada kehamilan mendatang.
13. Kematian.
2.3.5 Asuhan ibu nifas post sectio caesarea
Pada periode awal setelah persalinan operasi, petugas kesehatan harus memantau pemulihan secara ketat dari anastesi yang digunakan saat operasi. Setelah
kondisi ibu membaik ibu nifas dipindahkan ke ruang perawtan, di ruang perawatan yang dikaji meliputi kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologis.
Ibu yang menjalani operasi memerlukan waktu untuk pulih dari syok fisik mayor yang terjadi pada sistem tubuh, kebutuhan ibu nifas post sc antara lain :
1. Bantuan menjaga kebersihan diri,
2. Bangun dari tempat tidur,
3. Merawat bayi
Asuhan yang diberikan pada ibu nifas post sectio antara lain :
1. Memenuhi kebutuhan psikologis ibu agar tidak gelisah
2. Membantu mobilisasi dini secara bertahap
3. Memberikan kie tentang nutrisi dan istirahat
4. Memberikan analgesic sesuai advice dokter secara tepat jika dibutuhkan. (Fraser, 2009).
4.3.5 Asuhan ibu nifas dengan pre eklampsi – eklampsi
Biasanya tekanan darah kembali normal dalam beberapa minggu, tetapi protein urine dapat tetap ada untuk periode yang lebih lama. Enam bulan setelah
kelahiran, ibu harus dipastikan oleh dokter dalam kondisi baik.
Ibu nifas akan dipulangkan dan disarankan memeriksakan diri sesegera mungkin. Dokter harus memutuskan metode penatalaksanaannya. Biasanya selama minggu
pertama post partum, penatalaksanaan lanjutan seperti hydralazine diberikan jika tekanan darah naik melebihi 110 mmHg.
Jika tekanan darah masih tetap tinggi dalam 48 jam setelah melahirkan, program antihipertensi standar harus segera dimulai. Pasien harus dikaji ulang oleh
dokter yang akan memutuskan perlu tidaknya dilakukan penatalaksanaan jangka panjang. (WHO, 2001)
2.4 Konsep Dasar Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas dengan Pre Eklampsi Berat
No. Register : memudahkan dalam mencari riwayat kesehatan, kehamilan, atau persalinan yang sebelumnya.
Hari/tanggal :
Jam :
Tempat :
2.4.1 Pengumpulan data dasar
Data Subjektif
1. Identitas pasien
Nama Ibu : | Nama Suami : | |
Umur : > 35 thn faktor terjadinya PEB | Umur : | |
Suku / Bangsa : | Suku / Bangsa : | |
Agama : | Agama : | |
Pendidikan : | Pendidikan : | |
Pekerjaan : | Pekerjaan : | |
Alamat: | ||
2. Alasan datang
Pasien datang rujukan, kiriman atau datang sendiri untuk memeriksakan keadaannya, jika rujukan dapat diketahui denngan diagnosis apa sehingga data tersebut
dapat mambantu dalam menegakkan diagnosis.
3. Keluhan utama
Ibu nifas dengan PEB sering mengeluh sakit di kepala daerah, pengeliatan kabur/ gangguan pengeliatan, nyeri perut, mual ataupun muntah-muntah
(Wiknjosastro, 2007)
4. Riwayat kehamilan
Ibu nifas dengan kehamilan PEB akan mengalami kekambuhan pada masa nifas. Faktor predisposisi yang menyebabkan PEB adalah kehamilan dengan hipertensi
esensial, polihidramnion dan gemelli serta iskemia plasenta. Mola hidatidosa juga menjadi faktor risiko PEB.
5. Riwayat persalinan sekarang
Hari, tanggal dan jam melahirkan untuk memantau perkembangan PEB, Jumlah paritas menjadi faktor risiko dalam PEB.
6. Riwayat kesehatan klien
Ibu dengan diabetes millitus, hipertensi kronik, gangguan ginjal
7. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga ada yang menderita eklampsi bisa menjadi faktor predisposisi PEB
8. Riwayat Psikososial budaya
Stress dan gelisah pada ibu meningkatkan tekanan darah / hipertensi yang dapat menjadi faktor pencetus PEB
Data Objektif
1. Pemeriksaan umum
Kesadaran : normal sampai koma
Tekanan darah : >160/110 mmHg (hipertensi)
Pernapasan : >16x/menit (syarat pemberian MgSO4)
Berat Badan : obesitas (IMT>30)
2. Pemeriksaan fisik
- Ibu memegang kepala karena terasa sakit kepala yang hebat pada daerah frontal
- Perdarahan mata
- Edema kelopak mata
- Gagal jantung kongetif, odema paru
- Bendungan ASI
- Genetalia terdapat lockea rubra
- Edema tangan
- Edema tungkai bawah
3. Pemeriksaan penunjang
Pada ibu nifas PEB dilakukan pemeriksaan :
- Analisis protein dalam urine (>5g/24jam atau +2 atau lebih)
- Pemeriksaan edema paru, output (oliguria)
- Evaluasi hematologik (hematokrit, jumlah trombosit (<100.000sel/uL), morfologi eritrosit pada sediaan apus darah tepi)
- Pemeriksaan fungsi hati (bilirubin, protein serum, aspartate aminotransferase), peningkatan SGOT/SGPT.
- Pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin >1,2mg/dl)
- Pemeriksaan mata diplopia dengan cara worth four dots, skotoma dengan test lapang pandang
2.4.2 Interprestasi data
DS : usia >35th, mengeluh sakit di kepala, pengeliatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual ataupun muntah-muntah. Punya riwayat pre
eklampsi pada kehamilan sebelumnya. Gemelli, polihidramnion, DM.
DO: obesitas, tekanan darah >160/110mmHg, proteinuria ≥+2, trombositopeni, oliguria, nyeri epigastrium, edema pada ekstremitas, skotoma, diplopia.
Diagnosa : Papah post partum dengan pre eklampsia berat
Masalah : nyeri perut, pandangan mata kabur, bendungan ASI, edema, cemas
2.4.3 Diagnosa dan masalah potensial
Diagnosa potensial : eklampsia, koma dan kematian ibu
Masalah potensial : mastitis, hemolysis, perdarahan otak, kelainan mata, stress, post partum blues
2.4.4 Identifikasi kebutuhan tindakan segera
Mandiri :
- Di BPM : perbaiki jalan nafas, sirkulasi, MgSO4 looding dose dan intubasi apabila kejang dan segera rujuk
- Di RS : perbaikan KU
Kolaborasi : konsultasi dokter obgyn dan spesialis terkait (lab)
Rujukan : bila ada gejala PEB yang mengarah ke eklampsia segera rujuk ke rumah sakit yang memenuhi fasilitas yang memadai.
2.4.5 Intervensi
1. Jelaskan prosedur penangan pre eklampsia kepada ibu dan keluarga
R/ informasi yang jelas membantu ibu dan keluarga untuk mengerti tindakan yang akan dilakukan.
2. Perhatikan jalan nafas dan sirkulasi
R/ pernafasan dipantau untuk menghindari adanya gagal nafas dan sirkulasi dibutuhkan untuk pemberian cairan terutama obat MgSO4 sebagai dosis awal
pencegahan terjadinya kejang.
3. Berikan dosis awal MgSO4 40% sebanyak 4g larutkan dengan 10 ml aquades dan IV perlahan selama 20menit
R/ pada pre eklampsia berat pemberian MgSO4 sebagai pencegahan kejang, dan apabila sudah eklampsia sebagai penatalaksanaan segera ketika pasien kejang.
4. Persiapkan ibu, bidan, alat-alat medis, keluarga, surat rujukan, obat-obatan (MgSO4 dan CaGlukonas), kendaraan dan uang untuk persiapan rujukan.
R/ persiapan rujukan yang tepat dan cepat mempermudah proses rujukan.
5. Berikan pendampingan untuk ibu saat dilakukan rujukan
R/ pendampingan seorang bidan akan memberikan rasa aman dan nyaman kepada ibu sebagai sesame wanita sehingga ibu tidak merasa khawatir dalam proses
rujukan.
6. Lakukan kolaborasi dengan dokter obgyn untuk pemberian MgSO4 dosis rumatan dan spesialis terkait untuk pemeriksaan laboratorium.
R/ sebagai tugas dependen bidan
7. Pantau dan observasi tekanan darah tiap jam, pengeluaran urine (balance cairan), pernafasan dan reflek patella.
R/ mencegah adanya komplikasi
8. Lakukan perawatan ibu di ruangan yang tenang
9. Berikan KIE tentang gizi diet cukup protein dan perawatan masa nifas, dan bendungan ASI
R/ menjaga kesehatan ibu dan mencegah komplikasi dini pada masa nifas terutama bendungan ASI dikarenakan ibu belum bisa meneteki.
10. Buat komitmen dengan ibu untuk melakukan follow up di poli 6 minggu setelah melahirkan atau sewaktu-waktu apabila ada keluhan ibu bisa datang ke IRD
RSUD Dr. Soetomo Surabaya
R/ rencana tindak lanjut pemantauan perkembangan ibu
2.4.6 Implementasi
Melakukan rencana asuhan kebidanan yang menyeluruh yang telah di uraikan pada intervensi secara aman dan efisien, yang dapat dilakukan oleh bidan
seluruhnya ataupun oleh tenaga kesehatan lainnya. Walaupun bidan tidak melakukannya sendiri, sebagai bidan tetap bertanggung jawab dalam mengarahkan
pelaksanaannya.
2.4.7 Evaluasi
Mengevaluasi kefektifan dari asuhan kebidanan yang sudah diberikan meliputi kebutuhan akan bantuan apakah telah terpenuhi sesuai dengan kebutuhan
sebagaimana telah diidentifikasi dalam diagnosa dan masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Bahiyatun, 2009. Buku ajar asuhan kebidanan nifas normal. Jakarta: EGCBobak, dkk, 2004. Buku ajar keperawatan maternitas edisi 4. Jakarta: EGC
Coad, J. 2006. Buku anatomi dan fisiologi untuk bidan. Jakarta: EGC
Fraser, D. Margaret A. Cooper(Ed), 2009. Myles buku ajar bidan. Edisi 14. Cetakan 1. Jakarta: EGC
Helen, V, 2001. Buku saku kebidanan. Jakarta : EGC
Maryunani, A, 2009. Asuhan pada ibu dalam masa nifas (postpartum). Jakarta: TIM
Mitayani. 2009. Asuhan keperawatan maternitas. Jakarta: Salemba Medika
Mochtar, R, 1998. Obstetri fisiologi jilid I. Jakarta : EGC
______, 1998. Sinopsis obstetri: obstetri fisiologi obstetri patologi. Jakarta: EGC
Prawirohardjo, S, 2008. Ilmu kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Sulistyawati, A. 2009. Buku ajar asuhan kebidanan pada ibu nifas. Yogyakarta: ANDI
Sweet, B. R, 1993. A text book for midwives. Philadelphia: WB Saundirs
Varney, Helen., Jan M. Kriebs., dan Carolyn L. Gegor, 2002. Buku saku bidan. Jakarta: EGC
WHO, 2013. Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan. Jakarta: -
Wiknjosastro, H, 2007. Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
______, 2002. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Edisi pertama. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
0 comments:
Post a Comment