Saturday, 12 March 2016

, ,

Asuhan Kebidanan pada Ibu Hamil dengan HIV / AIDS

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kehamilan pada manusia diawali oleh konsepsi, yaitu proses fertilisasi atau pembuahan telur oleh sebuah sel sperma dan berlangsung rata-rata 266 hari (38 minguu) dari konsepsi, atau 40 minggu dari permulaan siklus menstruasi terakhir (Neil A. Campbel, 2007). Masa ini juga merupakan tahap penyesuaian sebelum memasuki masa menjadi seorang ibu. Sehingga penting sekali dilakukannya konseling, terutama pada ibu hamil yang dideteksi dengan HIV/AIDS.
Acquired Imunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia setelah sistem kekebalan tubuhnya dirusak oleh virus HIV ( Human Imunodeficiensy Virus). HIV/AIDS telah menimbulkan kekhawatiran dikarenakan prognosisnya yang buruk dan menyebabkan kematian. Di Indonesia, menurut Ditjen PP dan PL Kemenkes RI (2014) dilaporkan sampai Maret 2014 kasus AIDS sebanyak 54.231. Di Jawa Timur terdapat kasus HIV 16.752 sedangkan kasus AIDS 10.116. Menurut Yayasan Pelita Ilmu menyebutkan bahwa pada tahun 2014 diperkirakan terdapat 5.775 kasus baru dengan 34.287 kasus kumulatif HIV di seluruh Indonesia. Kondisi tersebut menunjukkan pentingnya implementasi program prevention of mother to child transmission of HIV (PMTCT) yang bertujuan untuk menyelamatkan ibu dan bayi dari infeksi HIV. Program PMTCT dapat berjalan dengan baik bila didukung sepenuhnya oleh tenaga kesehatan, salah satunya bidan. Bidan bertugas memberi KIE untuk meningkatkan pengetahuan ibu akan penularan HIV dari ibu positif HIV ke anaknya.
Pada ibu hamil dengan HIV, hal yang perlu diperhatikan adalah resiko penularan terhadap janin. Pada penderita HIV, selama perjalanan penyakitnya akan mengalami penurunan kondisi tubuh jika tidak mendapatkan pemantauan dan penanganan yang adekuat dari petugas kesehatan. Selain penularan terhadap janin, komplikasi lain yang ditimbulkan adalah kejadian abortus dan IUGR.
Selain adanya pengaruh fisik terhadap ibu dan bayi, terdapat hal lain yang penting dan harus dipertimbangkan oleh tenaga kesehatan ketika memberikan asuhan adalah kondisi psikologis ibu yang kemungkinan akan mengalami cemas, depresi, dilema serta khawatir akan kesehatan bayinya. Oleh karena itu, konseling sangat bermanfaat untuk memberikan informasi dan nasehat kepada pasangan usia subur terutama memperhatikan faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi hasil akhir kehamilan, wanita yang bersangkutan diberi nasihat tentang resiko yang ada pada dirinya dan diberikan suatu strategi untuk mengurangi atau mengeliminasi pengaruh infeksi HIV pada dirinya dan yang terpenting adalah mencegah penularan terhadap bayinya.


1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan dan melaksanakan Asuhan Kebidanan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS menurut pemikiran varney dan mendokumentasikannya dalam bentuk SOAP.
1.2.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu :
1.2.2.1 Melakukan pengkajian data subyektif dan obyektif
1.2.2.2 Menganalisa data untuk menentukan diagnosis aktual dan diagnosis potensial yang mungkin timbul pada ibu hamil dengan HIV/AIDS.
1.2.2.3 Mengidentifikasi kebutuhan tindakan segera pada ibu hamil dengan HIV/AIDS
1.2.2.4 Merencanakan asuhan kebidanan yang menyeluruh berdasarkan kebutuhan ibu hamil dengan HIV/AIDS.
1.2.2.5 Melaksanakan asuhan kebidanan sesuai dengan rencana yang telah disusun.
1.2.2.6 Melakukan evaluasi terhadap asuhan yang dilaksanakan.
1.2.2.7 Melakukan pendokumentasian hasil asuhan kebidanan dalam bentuk SOAP


1.3 Pelaksanaan
Kegiatan praktek klinik dilakukan di Poli Hamil I RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tanggal 1-20 Desember 2014.

1.4 Sistematika Penulisan
BAB 1 Pendahuluan menguraikan tentang latar belakang, tujuan, pelaksanaan dan sistematika penulisan
BAB 2 Tinjauan pustaka menguraikan tentang konsep dasar ibu hamil dengan HIV/AIDS
BAB 3 Tinjauan kasus
BAB 4 Pembahasan
BAB 5 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Ibu Hamil dengan HIV/AIDS.
2.1.1 Definisi
Acquired Immuno-deficiency Syndrome (AIDS) merupakan sindroma gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu yang terjadi akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Duarsa 2005 dalam Daili, 2008). Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan AIDS, yang merupakan keluarga retrovirus (Depkes RI, 2004).
Berdasarkan strukturnya HIV termasuk family retrovirus yang termasuk dalam virus RNA. HIV tergolong ke dalam kelompok retrovirus karena kemampuannya mengkopi cetak biru materi genetik dari sel-sel manusia yang ditumpanginya. Virus HIV ini pertama kali ditemukan oleh Dr. Luc Montagnier dkk dari Institut Pasteur Prancis. Kemudian pada bulan Juli tahun 1994, Dr. Robert Gallo dari lembaga kanker menemukan virus baru dari seorang penderita AIDS yang diberi nama HTLV-III (Human T limfotropik virus tipe III). Virus ini terus berkembang dengan nama HIV.
Definisi dari CDC tentang AIDS adalah mereka semua yang dinyatakan mengidap infeksi HIV dengan jumlah CD4 limfosit T < 0,2 x 109 /l.
Terdapat 2 jenis HIV, yaitu :
1. HIV-1 mendominasi seluruh dunia dan bermutasi dengan sangat mudah. Keturunan yang berbeda-beda dari HIV-1 juga ada, mereka dikategorikan dalam kelompok dan sub jenis (clades). Terdapat 2 kelompok yaitu kelompok M dan O. Dalam kelompok M terdapat sekurang-kurangnya 10 sub jenis yang dibedakan secara turun temurun. Ini adalah sub jenis A-J. Sub jenis B kebanyakan ditemukan di Amerika, Jepang, Australia. Sub jenis C ditemukan di Afrika Selatan dan India.
2. HIV-2 semula merata di Afrika Barat. Terdapat banyak kemiripan antara HIV-1 dan HIV-2, contohnya adalah bahwa keduanya menular dengan cara yang sama, keduanya dihubungkan dengan infeksi oportunistik dan AIDS yang serupa. Pada orang yang terinfeksi HIV-2, ketidakmampuan menghasilkan kekebalan tubuh terlihat berkembang lebih lambat.
HIV-1 merupakan jenis yang lebih “virulent” dan lebih mudah menular, dan merupakan sumber dari kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia. Acquired Immuno Deficiency Syndrom (AIDS) sebagai suatu penyakit yang lebih banyak disebabkan oleh Human Imumunedeficiency Virus type 1 (HIV-1). HIV menyerang sistem imun tubuh dengan menyerbu dan menghancurkan jenis sel darah putih tertentu, yang sering disebut dalam berbagai nama seperti sel T pembantu (helper T Cell), sel T4 atau sel CD4. Sel CD4 ini juga diberi julukan sebagai panglima dari sistem imun. CD4 mengenali patogen yang menyerang dan memberi isyarat pada sel darah putih lainnya untuk segera membentuk antibodi yang dapat mengikat patogen tersebut. Sesudah diikat, patogen itu dilumpuhkan dan diberi ciri untuk selanjutnya dihancurkan. Lalu CD4 kemudian memanggil lagi jenis sel darah putih lainnya sel T algojo ( killer T Cell), untuk memusnahkan sel yang telah ditandai tadi.
HIV mampu melawan sel CD4. dengan menyerang dan mengalahkan sel CD4, maka HIV berhasil melumpuhkan kelompok sel yang justru amat diandalkan untuk menghadapi HIV tersebut beserta dengan kuman-kuman jenis lainnya. Itulah sebabnya HIV membuat tubuh menjadi sangat rentan terhadap infeksi kuman-kuman lainnya dan jenis-jenis kanker yang umumnya dapat dikendalikan. Tanpa adanya sistem imun yang efektif, penyakit-penyakit ikutan ini, yang lazim disebut infeksi oportunistik, merajelela dan berakibat dengan kematian.
Jumlah sel normal CD4 dalam sirkulasi darah kita adalah sekitar 800 hingga 1200 per mililiter kubik darah. Selama tahun-tahun pertama infeksi HIV jumlah ini masih dapat dipertahankan. Orang yang tertular HIV pada mulanya tidak merasakan dan tidak kelihatan sakit selama sel CD4-nya masih dalam jumlah lumayan. Barulah sesudah kira-kira 5 tahun jumlah sel CD4 ini mulai menurun hingga kira-kira separuhnya.. Pada tahap ini banyak penderita yang belum menujukkan gejala-gejala penyakit. Sesudah jumlah sel CD4 ini kurang dari 200 per mililiter kubik per darah, mulailah penderita memperlihatkan berbagai gejala penyakit yang nyata (Hutapea, 2003).
Berdasar hal tersebut maka penderita AIDS di masyarakat digolongkan dalam 2 kategori yaitu :
- Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS positif)
- Penderita yang mengidap HIV tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS negatif)

2.1.2 Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong retrovirus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah virus sitopatik diklasifikasikan dalam Famili Retroviridae, sub family Lentiviridae, genus Lentivirus. Merupakan sejenis retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infeksius yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut (Fraser, 2009).
Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein. HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap radiasi dan sinar ultraviolet (Fraser, 2009).
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrofag dan sel glia jaringan otak. Transmisi melalui kontak seksual merupakan salah satu cara utama di berbagai belahan dunia. Karena virus ini dapat ditemukan di dalam cairan semen, cairan vagina, cairan servik. Virus akan terkonsentrasi, jika terjadi peningkatan jumlah limfosit dalam cairan, seperti pada keadaan peradangan genitalia misalnya uretritis, epididimitis dan kelainan lain yang berkaitan dengan penyakit menular seksual. Transmisi infeksi melalui hubungan seksual lewat anus lebih mudah karena hanya terdapat membran mukosa rektum yang tipis dan mudah robek, anus sering terjadi lesi.
Penularan HIV bisa melalui transmisi darah atau produk darah, terutama pada individu pengguna narkotika intravena dengan pemakaian jarum suntik secara bersama dalam satu kelompok tanpa mengindahkan asas sterilisasi. Dapat juga pada individu yang menerima transfusi darah atau produk darah yang mengabaikan tes penapisan HIV. Diperkirakan bahwa 90-100% orang yang mendapat transfusi darah yang tercemar HIV akan mengalami infeksi. Transfusi darah lengkap, sel darah merah, trombosit, leukosit dan plasma semuanya berpotensi menularkan HIV.
Transmisi secara vertikal dapat terjadi dari ibu yang terinfeksi HIV kepada janinnya sewaktu hamil, sewaktu persalinan dan setelah melahirkan melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI). Angka penularan selama kehamilan sekitar 5-10%, saat persalinan 10-20% dan saat menyusui 10-20%. Namun, diperkirakan penularan ibu kepada janin atau bayi terutama terjadi pada masa perinatal. Hal ini didasarkan saat identifikasi saat kultur atau Polymerase Chain Reaction (PCR) pada bayi setelah lahir (negatif saat lahir dan positif beberapa bulan kemudian). Virus dapat ditemukan dalam ASI sehingga ASI merupakan perantara penularan HIV dari ibu kepada bayi pascanatal. Bila mungkin pemberian ASI oleh ibu yang terinfeksi sebaiknya dihindari.
Potensi transmisi dari cairan tubuh lain, seperti virus HIV yang pernah ditemukan dalam air liur pada sebagian kecil orang yang terinfeksi, namun tidak ada bukti yang menyatakan HIV dapat menular melalui ciuman. Selain itu, air liur juga dibuktikan mengandung inhibitor terhadap aktivitas HIV. Demikian juga belum ada bukti bahwa cairan tubuh lain misalnya air mata, keringat, urine dapat merupakan media transmisi HIV. Namun, cairan tersebut tetap diperlakukan sesuai tindakan pencegahan melalui kewaspadaan universal.
Transmisi pada petugas kesehatan dan laboratorium memiliki risiko tetap, terutama bila menggunakan benda tajam, seperti jarum suntik. Berbagai penelitian membuktikan bahwa risiko penularan HIV setelah kulit tertusuk jarum atau benda tajam yang tercemar oleh darah seorang yang terinfeksi HIV adalah sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan HIV akibat paparan bahan yang tercemar HIV ke membran mukosa atau kulit yang mengalami erosi adalah 0,09%.

2.1.3 Patofisiologi
Denominator umum pada penyakit klinis AIDS adalah imunosupresi berat, terutama imunitas seluler yang menyebabkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan neoplasma, limfosit yang berasal dari timus-limfosit T-yang secara fenotipe didefinisikan oleh antigen permukaan CD4 adalah sasaran utama. CD4 berfungsi sebagai reseptor virus. Untuk infeksi, dibutuhkan dua ko-reseptor virus, dan dua reseptor kemokin-CCR5 dan CXCR4-telah diketahui melakukan peran ini (Kahn dan Walker 1998 dalam Cunningham et al, 2005). Setelah terjadi fusi sel-virus, HIV akan melepaskan single strand RNA (ssRNA) ke dalam sitoplasma sel pejamu, maka terjadi transkripsi terbalik (reserve transcription) dari satu untai-tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda virus. Dengan demikian, DNA virus dapat diintegrasikan ke dalam DNA sel seumur hidup sel tersebut. Setelah terintegrasi dengan kromosom pejamu, maka dua untai DNA sekarang menjadi provirus. Provirus menghasilkan RNA messenger (mRNA), yang meninggalkan inti sel dan masuk ke dalam sitoplasma. Protein-protein virus dihasilkan dari mRNA yang lengkap dan telah mengalami splicing (penggabungan). Tahap akhir produksi virus membutuhkan suatu enzim virus yang disebut HIV protease, yang memotong dan menata protein virus menjadi segmen-segmen kecil yang mengelilingi RNA virus, membentuk partikel virus yang menular yang menonjol dari sel penjamu. Pada saat yang sama, viremia yang terjadi dapat dideteksi dan dikuantifikasi dengan berbagai pemeriksaan RNA virus.

Gambar 2.1 siklus hidup human immunodeficiency virus
Setelah infeksi awal, kadar viremia biasanya berkurang sampai mencapai pada suatu titik patokan (set point). Kadar virus yang tinggi dalam darah dapat diturunkan oleh sistem imun tubuh. Proses ini berlangsung berminggu-minggu sampai terjadi keseimbangan antara pembentukan virus baru dan upaya eliminasi oleh respon imun. Titik keseimbangan disebut set point dan amat penting karena menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Pasien dengan beban virus tertinggi lebih cepat mengalami AIDS dan kematian (Kahn dan Walker 1998 dalam Cunningham et al, 2005). Setelah infeksi, jumlah sel T menurun secara perlahan dan progresif seiring dengan waktu, sehingga akhirnya terjadi imunosupresi berat. Monosit-makrofag juga dapat terinfeksi, dan infeksi pada sel mikroglia otak dapat menyebabkan kelainan neuropsikiatrik.
Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi, tapi pernah juga dilaporkan sampai 8 bulan. Menurut Centre for Disease Control and Prevention (1998) antibody dapat dideteksi pada 95% pasien dalam waktu 6 bulan setelah infeksi. Kemudian pasien akan memasuki masa tanpa gejala, dalam masa ini terjadi penurunan bertahap jumlah CD4 (normal 800-1000) yang terjadi setelah replikasi persisten HIV dengan kadar RNA virus relative konstan. Mula-mula penurunan jumlah CD4 sekitar 30-60/tahun, tapi pada 2 tahun terakhir penurunan jumlah CD4 menjadi lebih cepat, 50-100/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa infeksi HIV sampai masa AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4 akan mencapai dibawah 200.
Gambar 2.2 Perjalanan infeksi HIV tanpa terapi ARV Bartlett JG, Gallant JE (2004) Medical management of HIV infection, p.1


2.1.4 Manifestasi Klinis
Masa tunas sejak pajanan sampai timbul gejala klinis biasanya beberapa hari sampai beberapa minggu. Penyakit akut serupa dengan sindrom virus lainnya dan biasanya berlangsung kurang dari 10 hari. Gejala umum adalah demam dan keringat malam, rasa lelah, ruam, nyeri kepala, limfadenopati, faringitis, mialgia, artralgia, mual, muntah, dan diare (Kahn dan Walker 1998 dalam Cunningham, 2005).
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spektrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimptomatik) pada stadium awal sampai pada gejala-gejala yang berat pada stadium lanjut. Setelah diawali dengan infeksi akut, maka dapat terjadi infeksi kronik asimptomatik selama beberapa tahun disertai replikasi virus secara lambat. Kemudian setelah terjadi penurunan sistem imun yang berat, terjadi infeksi oportunistik dan dapat dikatakan pasien telah masuk pada keadaan AIDS. Perjalanan penyakit HIV dibagi dalam tahap-tahap berdasarkan keadaan klinis dan jumlah CD4 :
1. Infeksi retroviral akut
Setelah terjadi infeksi HIV mula-mula bereplikasi dalam kelenjar limfe regional. Hal tersebut berakibat terjadinya peningkatan jumlah virus secara cepat di dalam plasma, biasanya lebih dari 1 juta kopi / ml. Fase ini disertai dengan penyebaran HIV ke organ limfoid, saluran cerna dan saluran genitalia. Setelah mencapai puncak viremia jumlah virus atau viral load menurun bersamaan dengan berkembangnya respon imunitas seluler pada pejamunya. Puncak viral load dan perkembangan respon imunitas seluler berhubungan dengan kondisi penyakit yang simtomatik pada 60 hingga 90% pasien. Penyakit ini muncul dalam kurun waktu 3 bulan setelah infeksi. Penyakit ini menyerupai ‘glandular fever’ like illness dengan ruam, demam, nyeri kepala malaise dan limfadenopati luas. Sementara itu tingginya puncak viral load selama infeksi primer tidak menggambarkan perkembangan penyakit tapi terkait dengan beratnya keluhan yang menandakan prognosis yang jelek. Fase ini mereda secara spontan dalam 14 hari.
2. Masa asimptomatik
Dengan menurunnya penyakit primer kebanyakan pasien mengalami masa asimtomatis yang lama, namun selama masa tersebut replikasi HIV terus berlanjut, dan terjadi kerusakan sistem imun. Pada masa ini pasien tidak menunjukkan gejala, tetapi dapat terjadi limfadenopati generalisata. Penurunan jumlah CD4 terjadi bertahap. Masa ini disebut juga ’window periode’. Median waktu masa ini adalah sekitar 10 tahun (Faunci dan Lane 1994 dalam Cunningham, 2005).
3. Masa gejala dini
Pada masa ini jumlah CD4 berkisar antara 100-300. Gejala yang timbul adalah akibat infeksi pneumonia bakterial, kandidosis vagina, sariawan, herpes zoster, leukoplakia, ITP, dan tuberkulosis paru. Gejala konstitusional yang mungkin berkembang seperti demam, berkurangnya berat badan, kelelahan, nyeri otot, nyeri sendi dan nyeri kepala. Diare berulang dapat terjadi dan menjadi masalah. Sinusitis bakterial merupakan manifestasi yang sering terjadi. Nefropati HIV dapat juga terjadi pada stadium ini.
4. Masa gejala lanjut
Pada masa ini jumlah CD4 dibawah 200. Penurunan daya tahan tubuh yang lanjut ini menyebabkan risiko tinggi terjadinya infeksi oportunistik berat atau keganasan. Hitung CD4 yang kurang dari 200 dianggap definitif untuk diagnosis AIDS.
Panjangnya waktu dari mulai terinfeksi HIV sampai menunjukkan gejala yang terkait dengan sistem penurunan kekebalan tubuh akan tergantung dari kondisi sistem kekebalan tubuh seseorang dan usaha yang dilakukannya. WHO memperkirakan 60% orang dewasa yang mengidap HIV akan berkembang menjadi AIDS dalam waktu 12-13 tahun setelah terinfeksi HIV. Seseorang yang terinfeksi HIV akan memasuki tahap AIDS sangat tergantung dari gizi yang dikonsumsi, dan obat-obatan yang membentuk proses pertahanan tubuh. Penelitian WHO menunjukkan beberapa faktor yang berpengaruh dalam perkembangan AIDS pada pengidap HIV, antara lain:
1. Semakin tua usia pengidap HIV akan semakin cepat sampai ke tahap AIDS
2. Bayi yang terinfeksi HIV akan sampai pada tahap AIDS lebih cepat daripada orang dewasa yang yang mengidap HIV
3. Orang yang telah memiliki gejala minor pada waktu tertular HIV, akan bergejala AIDS lebih cepat daripada yang tanpa gejala
4. Penderita HIV yang merokok akan sampai ke tahap AIDS lebih cepat daripada yang tidak merokok.

2.1.5 Diagnosis
Penilaian HIV/AIDS dilakukan dengan penggalian riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah lengkap, kimia darah, pemeriksaan imunologis CD4/limfosit total dan viral load (polymerase chain reaction /PCR).
1. Diagnosis HIV/AIDS pada Orang Dewasa
Untuk memastikan seseorang dinyatakan terinfeksi HIV atau tidak, perlu dilakukan tes HIV. Tes HIV berfungsi untuk mengetahui adanya antibodi terhadap HIV atau mengetes adanya antigen HIV dalam darah. Ada beberapa jenis tes yang biasa dilakukan diantaranya yaitu tes ELISA ( Enzym-Linked Immunosorbent Assay), tes dipstick dan tes Western Blot. Masing-masing alat tes memiliki kemampuan atau sensitivitas untuk menemukan orang yang mengidap HIV.
Prosedur screening dengan tes ELISA, memiliki sensitifitas yang tinggi, spesifik, tidak mahal dan mudah dilakukan. Tes ELISA mungkin saja menghasilkan false positive, sehingga hasil yang menunjukkan positif pada tes ELISA perlu dilanjutkan dengan analisis Western Blot tes yang spesifisitasnya lebih tinggi. Sensitifitas menggambarkan kemampuan akurasi sebuah tes sehingga ditentukan ’true case’. Tes dengan sensitifitas tinggi akan memberikan hasil ”false negative” yang sangat kecil. Tes dengan sensitifitas tinggi digunakan ketika dibutuhkan hasil absolut dengan sangat sedikit ”false negative” seperti pada layanan transfusi darah. Sfesifisitas menggambarkan kemampuan ketepatan tes sebagai ’true non-case’. Tes dengan sfesifisitas tinggi akan memberikan hasil ”false positive” sangat rendah. Tes dengan sfesifisitas tinggi digunakan ketika kebutuhan absolut untuk ”false positive” sangat kecil seperti pada penentuan diagnosis klinis individu terinfeksi.
Prosedur pemeriksaan darah untuk mendeteksi HIV/AIDS, memiliki beberapa tahapan, yaitu:
1) Konseling Pra Test
a. Penjajagan perilaku beresiko hubungan seksual, transfuse
b. Penjelasan arti hasil tes dan prosedurnya (positif, negatif)
2) Tes darah ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay)
Tujuan tes ini adalah mendeteksi salah satu dari antibodi terhadap HIV, antigen p24 dan asam nukleat HIV (PCR). Antibodi terbentuk kurang lebih 3 sampai 6 minggu, tapi bisa juga mencapai 3 sampai 6 bulan. Bila kurang dari tiga minggu tidak terdeteksi, maka bisa saja saat tersebut masih dalam periode jendela (window period). Jika hasil pemeriksaan antibodi HIV terbukti positif, maka sudah pasti pasien ini terinfeksi HIV.
a. Jika hasil tes ELISA negatif, tetap dilakukan konseling
b. Jika hasil tes ELISA positif, dilakukan konfirmasi dengan Western Blot tes
3) Tes Western Blot
Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Western blot menjadi tes konfirmasi bagi ELISA karena pemeriksaan ini lebih sensitif dan lebih spesifik, sehingga kasus 'yang tidak dapat disimpulkan' sangat kecil. Walaupun demikian, pemeriksaan ini lebih sulit dan butuh keahlian lebih dalam melakukannya.
a. Jika hasil Western Blot positif, laporkan ke Dinas Kesehatan (anonimus). Lakukan post konseling dan pendampingan untuk menghindari emosi, putus asa atau keinginan untuk bunuh diri
b. Jika hasil Western Blot negatif, tetap dilakukan konseling sama seperti jika ditemukan hasil negatif pada ELISA
Menurut sumber lain, teknik yang umum digunakan untuk deteksi antibodi selain ELISA dan western Blot Elisa adalah Rapid test. Saat ini yang paling sering digunakan ialah test rapid, karena mempertimbangkan keefektifan dan keefisienan waktu terjadinya aglutinasi antara antigen dan anti bodi. Sedangkan ELISA tidak menegakkan diagnosa AIDS tapi hanya menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi HIV serta memerlukan alat pembaca khusus. Adapun Rapid test bisa diamati langsung secara visual, juga bisa digunakan untuk spesimen yang jumlahnya sedikit bahkan jika hanya satu spesimen. Untuk sensitifitas dan spesifitas keduanya hampir sama. Jenis pemeriksaan Rapid test adalah yang paling efisien dan banyak digunakan oleh para klinisi. Rapid tes hanya memerlukan waktu pemeriksaan 10 menit. Sebagian besar rapid tes mempunyai sensitifitas dan sfesifisitas diatas 99% dan 98%. Keuntungan utama rapid test HIV adalah memberikan hasil pada hari yang sama sehingga menguragi angka drop out untuk mengetahui sero status HIV klien. Keuntungan lain klien, lebih mudah menerima hasil dari konselor yang sama sehingga pre tes dan pasca tes dilakukan oleh orang yang sama.
Kondisi bahan pemeriksaan dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan. Bahan pemeriksaan terbaik adalah serum/plasma dengan syarat tidak hemolisis, tidak keruh, disimpan dan dikirimkan dengan baik, ditempeli label yang sesuai dan berada dalam penampung yang tidak bocor.
2. Diagnosis HIV/AIDS pada bayi
Infeksi HIV dapat terjadi pada bayi selama kehamilan, saat melahirkan, dan waktu menyusui. Bila infeksi menular melalui ASI, antibodi yang dicari oleh tes HIV baru terbentuk dengan jumlah yang cukup untuk dideteksi setelah beberapa minggu. Jadi sebaiknya menunggu sedikitnya enam minggu setelah penyusuan dihentikan sebelum tes HIV dilakukan.
1) Tes Antibodi
Merupakan Tes HIV yang biasa dipakai untuk orang dewasa mencari antibodi terhadap HIV, bukan virus sendiri. Antibodi terhadap HIV disalurkan dari ibu ke janin melalui plasenta. Jadi bila seorang bayi yang terlahir oleh ibu yang HIV-positif dites HIV waktu lahir, hasilnya pasti akan positif. Namun HIV sendiri hanya tertular pada kurang lebih 20 persen bayi dalam kandungan atau waktu melahirkan. Sedikitnya, antibodi ibu berada dalam darah bayi untuk enam bulan pertama hidupnya. Setelah enam bulan, jumlah antibodi ibu mulai berkurang, dan hasil tes HIV kebanyakan bayi yang tidak terinfeksi akan menjadi negatif pada usia 12 bulan. Kadang kala, antibodi dari ibu baru hilang setelah 18 bulan. Sebaliknya, setelah beberapa bulan, seorang bayi yang terinfeksi HIV akan membentuk antibodi sendiri terhadap HIV, dan hasil tes HIV akan tetap positif untuk seumur hidup. Hasil tes HIV positif pada seorang anak berusia 18 bulan ke atas berarti anak tersebut terinfeksi HIV.
Tes antibodi HIV dapat dipakai untuk meyakinkan bahwa anak tidak terinfeksi HIV asal anak tidak diberikan ASI oleh ibu yang HIV-positif sedikitnya dalam enam minggu sebelum dites. Seorang anak yang tidak disusui selama tiga bulan terakhir dengan hasil tes HIV negatif berarti tidak terinfeksi HIV.
2) Tes Virus
Berbeda dengan tes antibodi, tes virus dapat menentukan apakah bayi terinfeksi dalam bulan-bulan pertama hidupnya. Tes RNA HIV dengan alat PCR yang biasanya dilakukan untuk mengukur viral load, dapat mendeteksi virus dalam darah, dan dapat dipakai untuk diagnosis HIV pada bayi. Namun tes ini masih sangat mahal dan lebih sulit dilakukan dibandingkan tes antibodi, dan hanya dapat dilakukan di sedikit laboratorium di Indonesia.
Dua puluh sampai empat puluh persen bayi yang terinfeksi dalam kandungan atau saat lahir akan menunjukkan hasil positif pada tes PCR segera setelah lahir. Sedangkan 98% bayi terinfeksi HIV terdeteksi setelah empat minggu. WHO mengusulkan tes viral load untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi sebaiknya dilakukan pada usia enam minggu ke atas.
Hasil positif palsu dapat terjadi, terutama bila laboratorium tidak berpengalaman dengan alat PCR, dan semua hasil positif sebaiknya langsung dikonfirmasi dengan contoh darah baru. Hasil viral load yang rendah (di bawah 10.000) kemungkinan positif palsu, karena viral load pada bayi biasanya sangat tinggi.
Hasil negatif palsu juga dapat terjadi. Sebaiknya kedua tes virus tersebut dilakukan untuk konfirmasi bahwa anak tidak terinfeksi dan anjuran untuk tes antibodi dilakukan setelah anak berusia 18 bulan sebagai konfirmasi ulang.
Pemeriksaan antibodi HIV selain ELISA dan Rapid Tes adalah pemeriksaan Enzyme immunoassay (EIA) yang digunakan sebagai uji penapis untuk antibodi HIV. Uji penapis yang positif memiliki sensitivitas lebih dari 99,5%. Uji positif dikonfirmasi dengan Western Blot atau immunofluoresence assay (IFA). Walaupun sangat spesifik, Western Blot kurang sensitif dibandingkan immunoassay karena untuk memberikan hasil positif diperlukan lebih banyak antibodi. Dengan demikian, immunofluoresence assay dapat digunakan untuk memastikan sampel yang positif EIA tetapi hasil Western Blot-nya meragukan. Untuk infeksi HIV primer akut, diperlukan identifikasi antigen inti p.24 atau RNA virus.
Indikasi tes antibodi HIV adalah kecurigaan kemungkinan risiko penularan seperti melakukan hubungan seks yang tidak aman, pecandu narkotika suntikan, pasien penyakit menular seksual, tusukan jarum yang telah digunakan pada orang terinfeksi HIV, serta bayi baru lahir dari ibu terinfeksi HIV. Tes ini dapat dilakukan pada periode asimptomatik.
Diagnosis infeksi HIV berdasar kemungkinan penularan dan pemeriksaan antibodi HIV positif. Diagnosis AIDS didasarkan adanya penyakit infeksi oportunistik atau kanker terkait yang telah ditetapkan dan antibodi HIV positif. Pada revisi kriteria keadaan yang berhubungan dengan AIDS tahun 1993, ditambahkan jumlah CD4 dibawah 200, sehingga walaupun belum ada infeksi oportunistik atau kanker terkait, bila jumlah CD4 telah dibawah 200 dogolongkan dalam AIDS.

2.1.6 Stadium HIV/AIDS
Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-1. Sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Menurut WHO, melalui stadium klinis pada orang dewasa, yaitu :
1. Stadium Klinis I
  • Asimptomatis
  • Limadenopati persistent generalisata
  • Penampilan dan aktivitas fisik skala I masih normal
2. Stadium Klinis II
· Penurunan berat badan, tetapi < 10% dar berat badan sebelumnya.
· Manifestasi mukokutaneus minor ( dermatitis seborhhoic, prurigo, infeksi jamur pada kuku, ulserasi mukosa oral berulang, cheilitis angularis)
  • Herpes Zoster, dalam 5 tahun terakhir
· Infeksi berulang pada saluran pernafasan atas ( sinusitis bakterial)
· Dengan atau penampilan aktivitas fisik skala II : simptomatis, aktivitas normal.
3. Stadium Klinis III
  • Penurunan berat badan > 10%
  • Diare kronis dengan penyebab tidak jelas, > 1 bulan
· Demam dengan sebab yang tidak jelas (intermittent atau tetap), > I bulan
  • Kandidiasis oral
  • Oral hairy leukoplakia
  • TB pulmonar, dalam satu tahun terakhir
  • Infeksi bakterial berat (pneumonia, piomiositis)
· Dengan atau penampilan/ aktivitas pisik skala 3 lemah, berada di tempat tidur, < 50% perhari dalam bulan terakhir
4. Stadium Klinis IV
· HIV wasting syndrome, sesuai yang ditetapkan CDC (BB turun 10% ditambah diare kronik > 1 bulan atau demam > 1 bulan yang tidak disebabkan penyakit lain)
  • PCP (Pneumocystis Carinii Pneumonia)
  • Ensefalitis Toksoplsmosis
  • Diare karena Cryptosporidiosis, > 1 bulan
  • Cryptococcosis ektrapulmoner
  • Infksi virus Sitomegalo
  • Infeksi Herpes simplex > 1 bulan
· Berbagai infeksi jamut berat ( histoplasma , coccidioidomycosis)
  • Kandidiasis esfagus, trakhea dan bronkus
  • Mikobacteriosis atypical
  • Salmonelosis non tifoid disertai setikemia
  • TB ektrapulmoner
  • Limfoma Maligna
  • Sarkoma kaposi’s
· Ensefalopati HIV (gangguan kognitif dan atau disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas sehari-hari dan bertambah buruk dalam beberapa minggu/bulan yang tidak disertai penyakit lain)
· Dengan atau penampilan/aktivitas fisik 4 : sangat lemah, selalu berada di tempat tidur > 50% per hari dalam bulan terakhir.

2.1.7 Penanganan HIV/AIDS
1. Pencegahan
Ada banyak cara untuk terhindar dari virus HIV. Yang terpenting adalah pencegahan dari tertularnya virus HIV yang dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh ini. Karena virus HIV adalah virus yang mempunyai kemampuan mencetak biru (retrovirus) pada antibodi, maka jika sudah terinfeksi virus ini, sulit untuk melakukan pengobatan dan mempunyai potensi untuk menularkan kepada orang lain.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terinfeksi/tertular virus HIV antara lain adalah:
- Tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah
- Mencari informasi yang benar mengenai HIV/AIDS
- Mendiskusikan secara terbuka permasalahan yang sedang dihadapi, dalam hal ini masalah perilaku seksual
- Menghindari penggunaan obat-obatan terlarang, pemakaian jarum suntik secara bersama-sama, tatto, tindik
- Tidak melakukan kontak langsung percampuran darah dengan orang yang sudah terinfeksi
- Menghindari perilaku yang dapat mengarah pada perilaku tidak sehat dan tidak bertanggung jawab
- Lebih aman berhubungan seks dengan pasangan tetap
- Menghindari hubungan seks dengan bergonta-ganti pasangan
- Menggunakan kondom
- Sedapat mungkin menghindari transfusi darah yang tidak jelas asalnya
- Menjamin kesterilan alat-alat medis dan non medis
Studi de Cock et.al (2000) menunjukkan bahwa terdapat variasi potensi penularan HIV dari ibu kepada bayinya dengan gambaran sebagai berikut:
Periode Transmisi Risiko
Selama kehamilan 5 – 10%
Selama persalinan 10 – 20%
Selama menyusui 10 – 15%
Total 25 – 45%
WHO merancangkan empat strategi untuk mencegah penularan HIV terhadap bayi yaitu:
1) Mencegah seluruh wanita jangan sampai terinfeksi HIV(pencegahan primer)
2) Bila sudah terinfeksi HIV, cegah jangan sampai ada kehamilan yang tidak diinginkan
3) Bila sudah hamil, cegah penularan dari ibu ke bayi dan anaknya
4) Bila ibu dan anaknya sudah terinfeksi berikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan keluarganya
2.Penatalaksanaan Umum
Istirahat, pemenuhan nutrisi yang memadai berbasis makronutrien dan mikronutrien, konseling termasuk pendekatan psikologis dan psikososial dan membiasakan gaya hidup sehat.
Pada penderita HIV sering mengalami gangguan asupan nutrient yang menyebabkan fungsi biologis tubuh terganggu. Bahkan pada penderita terjadi perubahan kondisi klinis bukan hanya karena masalah asupan nutrient tetapi juga akibat proses penyakitnya. Nutrisi penting dalam penatalaksanaan penderita HIV dan AIDS, selain mendorong kearah perbaikan, juga berperan menekan progresifitas HIV ke AIDS.
3.Penatalaksanaan Khusus
Pemberian Antiretroviral therapy kombinasi, terapi infeksi sekunder sesuai jenis infeksi yang ditemukan, dan terapi malignansi.
1) Antiretroviral
Dengan ditemukannya kombinasi ART dijumpai penurunan morbiditas dan mortalitas HIV/AIDS dari 60 menjadi 90% dan perbaikan kualitas hidup dan panjangnya usia harapan hidup ODHA. Tujuan terapi antiretroviral secara umum adalah memperpanjang usia dan memperbaiki kualitas hidup , dengan cara mempertahankan supresi maksimal replikasi HIV selama mungkin. Pengurangan virus dalam plasma darah ternyata terjadi dengan pemberian ART. Pilihan regimen tergantung pada beberapa factor, diantaranya harga obat, kekuatan individu, ketersediaan dan keterjangkauan obat untuk suatu jangka waktu menengah dan panjang, kepatuhan berobat, potensi regimen, toleranbilitas dan profil efek samping, kemungkinan interaksi obat dan potensial untuk opsi terapi lainnya ketika terjadi kegagalan terapi regimen yang telah digunakan.
Pemberian ARV harus dilakukan dengan langkah-langkah yang arif dan bijiksana serta mempertimbangkan berbagai factor, yaitu memberikan penjelasan tentang manfaat, efek samping, resistensi dan tata cara penggunaann ARV; kesanggupan dan kepatuhan penderita mengkonsumsi obat dalam waktu yang tidak terbatas; serta saat yang tepat untuk memulai terapi ARV.
· Tujuan terapi ARV
a. Menurunkan angka kesakitan akibat HIV, dan menurunkan kematian akibat AIDS.
b. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup penderita.
c. Mempertahankan dan mengembalikan status imun ke fungsi normal.
d. Menekan replikasi virus serendah dan selama mungkin sehingga kadar HIV dalam plasma < 50 copy/ml.
· Terapi antiretroviral yang sangat aktif:
a. Inhibitor Reserve Transcriptase Nukleosida (NRTI)
Bekerja menghambat reserve transcriptese HIV, sehingga pertumbuhan rantai DNA dan replikasi HIV terhenti. Golongan obat yang termasuk dalam NRTI adalah:
- Zidovudin (contoh: ZDV, Retrovir)
- Didanosin (contoh: ddl, Videx)
- Zalsitabin (contoh: ddC, HIVID)
- Stavudin (contoh: d4T, Zerit)
- Lamivudin (contoh: Epivir)
- Abacavir (contoh: Ziagen)
b. Inhibitor Reserve Transcriptase Non-Nukleosida (NNRTI)
Bekerja menghambat transkripsi RNA HIV menjadi DNA, suatu langkah penting dalam proses replikasi virus. Golongan obat yang termasuk dalam NNRTI:
- Nevirapin (contoh: Viramune)
- Delavirdin (contoh: Rescriptor)
- Efavirenz (contoh: Sustiva)
c. Inhibitor Protease (PI)
Bekerja menghambat protease HIV, yang mencegah pematangan HIV infeksiosa. Golongan obat yang terrmasuk dalam PI:
- Indinavir (contoh: Crixivan)
- Ritonavir (contoh: Norvir)
- Nelfinavir (contoh: viracept)
- Sakuinavir (contoh: Invirase, Fortovase)
- Amprenavir (contoh: Agenerase)
- Lopinavir (contoh: Kaletra)
· Prinsip terapi ARV
a. Indikasi
ARV harus ditetapkan pemberiannya atas indikasi pengobatan yang tepat.
b. Kombinasi
ARV harus diberikan secara kombinasi, paling tidak melibatkan 3 jenis obat untuk mendapatkan efek optimal dan memperkecil resistensi.
c. Pilihan obat
Pemilihan obat-obatan lini pertama diprioritaskan daripada lini kedua atau obat yang lain.
d. Kompleksitas
Pemberian ARV bersama dengan obat yang berfungsi untuk mengatasi infeksi sekunder perlu dipertimbangkan dengan seksama karena dapat terjadi interaksi obat satu sama lain.
e. Resistensi
Pemberian ARV memiliki potensi terjadinya resistensi baik lini yang sama maupun resistensi silang.
f. Informasi
Sebelum memulai terapi ARV, penderita perlu diberikan informasi lengkap maksud, tujuan, resistensi dan efek samping terapi ARV.
g. Motivasi
Penderita ditekankan untuk tidak terlarut dalam kesedihan, dan diingatkan bahwa didalam tubuhnya yerdapat virus yang perlu dieliminasi melalui upaya pemberian ARV.
h. Monitoring
Evikasi pengobatan anti virus ditentukan dan dimonitor melalui pemeriksaan klinis berkala disertai pemeriksaan laboratorium guna menentukan HIV-RNA virus dan hitung CD4 secara periodic dan teratur.
i. Efikasi
Pengobatan ARV dilakukan secara berkesinambungan. Penderita diharapkan memperoleh hasil maksimal dan efikasi klinis, virologist dan imunologi yang nyata.
Rekomendasi memulai terapi ARV penderita dewasa menurut WHO, 2006
Stadium klinis WHO
Pemeriksaan CD4 tidak dapat dilakukan
Pemeriksaan CD4 dapat dilakukan
I
ARV belum direkomendasikan
Terapi bila CD4 <200 sel/mm3
II
ARV belum direkomendasikan
Mulai terapi bila CD4<200 sel/ mm3
III
Mulai terapi ARV Pertimbangkan terapi bila CD4 <350 sel/ mm3 acd dan mulai ARV sebelum CD4 turun <200sel/ mm3
IV
Mulai terapi ARV Terapi tanpa mempertimbangkan jumlah CD4
Rekomendasi memulai terapi ARV berdasar CD4 penderita dewasa (WHO, 2006)
CD4 (sel/mm3) Rekomendasi terapib
<200
200-350
>350
Mulai terapi ARV pada semua stadium klinis
Pertimbangkan untuk memulai terapi sebelum CD4 turun <200 sel/mm3
Jangan memulai ARV dulu.
2) Terapi infeksi sekunder dan malignansi
Terapi infeksi opoturnistik dan malignansi disesuaikan dengan jenis infeksi sekunder maupun malignansi yang ada.



2.2 Kehamilan dengan HIV/AIDS

2.2.1 Tinjauan Fisiologis
1. Penerimaan Janin
Janin mempunyai kombinasi antigen histokompabiliti yang unik. Janin diklasifikasikan sebagai benda asing atau jaringan asing dari spesies yang sama tetapi dengan susunan antigenik yang berbeda. Janin merupakan adanya campuran dari pewarisan antigen ayah yang berbeda dengan ibu. Secara normal jika jaringan keturunan ini menempel pada ibunya, respon immnologi yang kuat dari ibu akan bereaksi dengan menolak jaringan tersebut. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya sangat mengejutkan bahwa sistem ibu tidak menolak janinnya. Medawar (1953) menjelaskan kemungkinan hal ini terjadi disebabkan karena janin dianggap sebagai immature antigen bagi tubuh ibu sehingga uterus akan memberikan tempat istimewa untuk janin atau hal tersebut disebabkan karena kehamilan mungkin mempengaruhi sistem imun ibu dan respon imun yang normal.
2. Antigen Janin
Jaringan janin menghasilkan antigen dan imunokompeten dari stadium awal (Manyonda,1998). Sel embrio mengandung antigen histokompability walaupun jumlahnya sedikit dari masa implantasi dan pada seluruh periode kehamilan. Antigen paternal telihat jelas pada fase delapan sel pada fase pembelahan dan antigen histokompabilitas yang penting muncul belakangan pada pembagian sel. Zona pellucida dan tropoblas awal dilapisi oleh glikoprotein yang dapat membatasi atau menghalangi dari respon imun ibu. Masalah immnulogis biasanya bukan masalah utama dalam implantasi karena secret endometrium merupakan factor imunosupresif.
3. Chorion dan trofoblas sebagai barrier
Janin dihubungkan dengan ibu oleh plasenta. Plasenta dan chorion berasal dari zigot yang secara genetik dan antigen berbeda dengan sel ibu. Hal ini menunjukkan bahwa membran chorion tahan terhadap penolakan dari ibu dan dapat melindungi janin dari antibodi dan sistem imun ibu. Pada saat implantasi dan perkembangan plasenta, sel trofoblas melakukan invasi ke dalam pembuluh darah ibu sehingga menyebabkan remodeling arteri spiralis ibu untuk meningkatkan aliran darah ke plasenta. Dalam sirkulasi maternal ibu, ekstravillous trofoblas tidak menimbulkan respon imun maupun proses peradangan (Jonson & Chrismas, 1996) sehingga trofoblas tampaknya menyediakan barrier pemisah untuk melindungi janin dari respon imunologi ibu.
Selain itu, trofoblas tidak menghasilkan antigen klasik, polimorfik HLA kelas I maupun kelas II yang akan dikenali oleh sitotoksik T limfosit atau anti-HLA antibodi (Hunt, 1992). Tetapi ekstravillous trofoblas justru menghasilkan antigen kelas I yang unik (non-klasik) berupa HLA-G, yang tidak terdapat pada jaringan orang dewasa (Kovat, 1992). Hal tersebut menunjukan bahwa mungkin peran dari antigen tersebut justru sebagai perantara dan melindungi cytotrophoblast, dari histolisis oleh NK sel dan sitotoksik T limfosit (Ljunggren & Karre 1990). NK sel akan mengenali dan melakukan lisis terhadap suatu sel yang tidak dikenali oleh T limfosit.
4. Efek kehamilan pada sistem imun ibu
Sistem imun ibu dipengaruhi oleh kehamilan. Jumlah sel darah putih khususnya neutrofil meningkat pada awal kehamilan dan puncaknya terjadi pada usia kehamilan 30 minggu serta menetap sampai dengan persalinan. Peningkatan neutrofil ini mungkin disebabkan karena kadar hCG (Barriga, Rodrigueez & Ortega, 1994). Peningkatan ini juga terjadi pada limfosit CD8 T namun secara bersamaan terjadi penurunan limfosit CD4 T dan monosit. Kadarnya akan kembali ke normal setelah 3-6 hari post partum.
Jumlah leukosit pada kehamilan normal berkisar antara 5.000 sampai 12.000/ µl. Selama persalinan dan masa nifas awal jumlahnya dapat sangat meningkat, hingga mencapai 25.000 atau bahkan lebih; tetapi konsentrasinya berkisar antara 14.000 sampai 16.000/µl. Penyebab peningkatan yang mencolok tersebut tidak diketahui. Adanya peningkatan normal dari leukosit pada masa kehamilan ini, perlu menjadi pertimbangan untuk mendiagnosa leukositosis pada kehamilan. Tetapi fungsi adhesi dan kemotaksis leukosit polimorfonuklear mulai ditekan pada trimester kedua dan berlanjut sepanjang kehamilan. Hal tersebut diduga bertanggung jawab atas perbaikan yang ditemukan pada beberapa wanita hamil yang menderita penyakit autoimun serta kemungkinan meningkatnya kerentanan wanita hamil terhadap infeksi-infeksi tertentu. Pada wanita hamil juga terjadi penurunan respon terhadap bakteri gram negatif pada traktus reproduksi, yang disebabkan adanya konsentrasi cortikosteroid yang menekan aktivitas fagosit khususnya terhadap bakteri gram negatif.
Tingginya jumlah estrogen dan progesteron menurunkan jumlah T helper dan meningkatkan jumlah sel supresor. Aktivitas NK sel di sekitar uterus ditekan oleh prostaglandin E2 (Daunter,1992), penekanan NK sel ini sangat penting untuk mencegah penolakan terhadap janin. Sebagian besar jumlah antibodi tidak mengalami perubahan meskipun terdapat penurunan konsentrasi IgG karena adanya hemodilusi, peningkatan pengeluaran melalui urine dan transfer IgG ke plasenta pada trimester III. Sekresi sitokine dari janin mungkin dapat menekan cell mediated immunity dan meningkatkan respon humoral (Wegmann at al,1993). Limfosit T berperan terhadap penolakan terhadap janin, akan tetapi fungsi dari T sel ini mengalami penekanan pada kehamilan khususnya pada trimester I (Nakamura at.al,1993). Jumlah peredaran T limfosit lebih rendah dan terjadi penurunan kemampuan untuk berploriferasi, memproduksi inter leukin-2 dan membunuh sel-sel asing.

2.2.2 Perubahan yang terjadi pada ibu hamil dengan HIV/AIDS :
Gejala ibu hamil dengan HIV/AIDS pada umumnya sama dengan penderita wanita lainnya yang tidak hamil. Kematian pada ibu hamil dengan HIV (+) kebanyakan disebabkan oleh penyakit oportunistik yang menyertainya, terutama Pneumocytis carinii pneumonia. Kehamilan dapat menutupi sebagian gejala nonspesifik infeksi HIV, misalnya rasa lelah, anemia dan sesak nafas. Kemuncuan gejala HIV dapat dipercepat oleh kehamilan. Perubahan yang spesifik terjadi pada ibu hamil dengan HIV/AIDS adalah:
1. Terjadinya gangguan metabolik
Pada IHDHA terjadi keadaan hipermetabolik yang lama-kelamaan terjadi gangguan metabolik dan berakhir dengan wasting syndrome,yaitu kehilangan berat badan melebihi 10% disertai dengan diare kronis lebih dari satu bulan. Hal ini diakibatkan berbagai macam infaksi yang terjadi, reaksi tubuh terhadap infeksi tersebut adalah dengan terjadinya peningkatan kadar glucagon, insulin, hormone stress, yang diproduksi adrenal seperti epineprin, kortisol.
2. Perubahan status nutrisi
Hal ini dikarenakan oleh berbagai faktor seperti, anoreksia, hiperkatabolik, infeksi kronis, demam, penurunan intake, mual, muntah, diare, malabsorpsi, meningkatnya kebutuhan maupun kehilangan nutrisi, depresi, efek samping obat, radiasi, dan kemoterapi. Semua kejadian tersebut terkait erat dengan penyakit infeksi HIV & AIDS yang menyertainya.
Masuknya HIV kedalam tubuh selain memunculkan gejala juga memicu terjadinya perubahan biokimia nutrisi berupa kehilangan zat nutrisi dalam tubuh. HIV merupakan makrofag, monosit, limfosit untuk mengeluarkan mediator kimiawi dan sitokin. Salah satu dampak dari keluarnaya mediator tersebut memicu hepar untuk meningkatkan ambilan asam amino, Zn, Fe, protein reaktan fase akut, atau kompleks yang kemudian dilepas dalam plasma. Pada ibu hamil dengan HIV/AIDS sering disertai defisiensi antioksidan vitamin dan mineral.
IHDHA mempunyai resiko malnutrisi yang dapat mengancam kelangsungan kehamilan maupun persalinan. Penelitian Friis (2001) di Zimbabwe menyatakan bahwa dari 1700 IHDHA 31,5 % mengalami defisiensi asam folat, ferritin, Zn, dan hemoglobin. Defisiensi Zn dapat berpengaruh pada sistem imun. Defisiensi Fe atau minimalnya deposit firritin pada IHDHA mendorong diperlukan tambahan 6 mg/ hari terutama pada trimester dua dan tiga untuk memenuhi kebutuhan ibu, plasenta dan janin. Tambahan tersebut dibutuhkan karena pada kehamilan terjadi peningkatan kebutuhan dan absorsi 5 kali pada usia kehamilan 12 minggu, dan 9 kali pada usia kehamilan 36 minggu. Dengan demikian pada kehamilan rata-rata diperlukan zat besi inorganik paling tidak 65 mg/hari.

2.2.3 Progresivitas infeksi HIV
Kehamilan tidak mempengaruhi progresivitas infeksi HIV kearah AIDS. Penurunan CD4+ memang terjadi pada ibu hamil dengan HIV, tetapi penurunan tersebut lebih diakibatkan karena faktor dilusi. Pada kehamilan yang tidak dengan HIV ,presentase CD4+ akan meningkat kembali mulai trimester tiga hingga 12 bulan setelah melahirkan, sedangkan pada IHDHA penurunan tetap terjadi pada awal kehamilan sampai setelah melahirkan. Kehamilan hanya sedikit menaikan kadar virus HIV (viral load). Kadar HIV meningkat terutama setelah 2 tahun persalinan, walaupun secara sistematis tidak bermakna. Pada kondisi ibu hamil HIV/AIDS dengan infeksi oportunistik, kehamilan dapat memperberat infeksi oportunistik yang diderita ibu maupun sebaliknya, infeksi oportunistik yang diderita ibu dapat mempengaruhi progresifitas HIV ibu maupun janin yang dikandungnya.

2.2.4 Resiko pada janin:
1. Abortus spontan
2. Prematuritas
3. BBLR
4. Gangguan pertumbuhan intrauterine (IUGR)
5. Kematian janin intrauterin/IUFD (terjadi terutama pada stadum lanjut).

2.2.5 Penanganan HIV/AIDS pada ibu hamil
Seorang wanita dapat menularkan infeksi HIV kepada bayinya selama masa kehamilan, persalinan dan masa menyusui (Cotton & Watts 1995; European Collaborative Study 1992; Goedert, Duliege, Amos, Felton & Biggar 1991; Orloff, Simonds, Steketee & St.Louis 1996; Peckham & Gibbs 1995 dalam Winifred et al, 2001). Mekanisme pasti penularan HIV/AIDS pada periode perinatal belum diketahui secara pasti. Dari beberapa penelitian telah dilaporkan sejumlah faktor yang berkaitan dengan peningkatan transmisi perinatal, diantaranya tingginya viral load ibu, rendahnya jumlah sel CD4 ibu, meningkatnya jumlah sel CD8 ibu, lama pecahnya selaput ketuban, perdarahan vagina, infeksi ibu, inflamasi membran plasenta, persalinan preterm, kerusakan kulit neonatus, penggunaan obat ibu.
Konseling merupakan keharusan bagi wanita positif HIV. Hal ini sebaiknya dilakukan pada awal kehamilannya, perlu diberikan konseling berkelanjutan untuk membantu wanita tersebut secara psikologis. Perkembangan penatalaksanaan selama kehamilan mengikuti kemajuan-kemajuan dalam pengobatan individu nonhamil yang terinfeksi HIV. Standar penanganan yang berlaku saat ini mengharuskan wanita hamil dan janinnya menjalani terapi yang paling efektif yang tersedia. Karena konsekuensi penyakit yang tidak diobati sangat merugikan, terjadi pergeseran dari fokus pengobatan yang semata-mata untuk melindungi janin memjadi pendekatan yang lebih berimbang berupa pengobatan bagi ibu dan janinnya (Kass dkk 2000 dalam Cunningham, 2005).
Sejumlah penelitian membuktikan bahwa kombinasi analog nukleosida (inhibitor reverse transcriptase -zidovudin, zalsitabin, atau lamivudin- yang diberikan bersama dengan suatu inhibitor protease-indinavir, ritonavir, atau sakuinavir- sangat efektif untuk menekan kadar RNA HIV (Carpenter dkk 1996 dalam Cunningham, 2005).
Walaupun regimen multiobat efektif untuk mengobati pasien terinfeksi HIV, hanya sedikit penelitian yang mengkaji pemakaian obat-obatan tersebut pada wanita hamil. Namun, dengan mempertimbangkan tingginya morbiditas dan mortalitas penyakit ini, Centre for Disease Control and Prevention (1998) menganjurkan untuk menawarkan terapi antiretrovirus kombinasi pada wanita hamil. Studi-studi paling awal telah mencatat efektifitas zidovudin perinatal dalam menurunkan penularan HIV (Connor dkk 1994 dalam Cunningham, 2005).
Berikut ini adalah penanganan HIV/AIDS pada ibu hamil :
1. Konseling, Edukasi dan Uji Saring Antepartum
The American College of Obstetricians and Gynaecologists (ACOG) dan USPHS menganjurkan konseling, edukasi dan Uji saring HIV sebagai bagian perawatan antepartum yang dilakukan secara rutin dan sukarela oleh ibu hamil dengan risiko tinggi infeksi HIV dan ibu hamil dengan HIV/AIDS (IHDHA). Konseling dan testing sukarela dikenal sebagai Voluntary Counselling and Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan. Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS (Depkes RI, 2008). Dalam konseling dan edukasi, perlu dukungan psikososial ibu supaya tidak takut dan percaya diri mengenai status HIV dan kehamilannya, tentang perjalanan alami HIV, cara penularan dan pencegahan perinatal serta keuntungan pemberian ARV bagi ibu dan janin/bayi. Konseling dan edukasi perlu diberikan segera sesudah diagnosis HIV/AIDS ditegakkan dan dilakukan secara berkesinambungan. Bahkan, konseling dan edukasi merupakan pilar pertama dan utama dalam penatalaksanaan HIV/AIDS; karena keberhasilan pencegahan penularan horizontal maupun vertikal, pengendalian kepadatan virus dengan ARV, peningkatan CD4, pencegahan dan pengobatan Infeksi Opotunistik serta komplikasi lainnya akan berhasil jika konseling dan edukasi berhasil dilakukan dengan baik.
Hasil negatif uji saring pada ibu risiko tinggi infeksi HIV perlu diulang 4 minggu kemudian mengingat kemungkinan window period pada saat pemeriksaan dilakukan.
2. Perawatan Antepartum
Perawatan antepartum IHDHA ditujukan bukan hanya perawatan rutin saja, melainkan juga strategi pencegahan Penularan HIV-AIDS Peripartum dan pengobatan serta komplikasi-komplikasinya. Setiap kunjungan antepartum diperhatikan masalah psikososial ibu, gejala dan tanda infeksi HIV serta Infeksi Oportunistik. Pemantauan kesejahteraan janin sebaiknya dilakukan secara non invasif, karena pemeriksaan diagnostik invasif meningkatkan risiko penularan, kecuali atas indikasi yang kuat. Jumlah CD4 dan kepadatan virus dipantau selama perawatan antepartum setiap trimester atau setiap 3-4 bulan jika ARV diberikan guna mengikuti perkembangan penyakit, keberhasilan ataupun resistensi ARV serta menentukan langkah lebih lanjut. Di samping itu, pemeriksaan hemoglobin, lekosit dan trombosit juga dilakukan setiap 4 minggu untuk menilai efek penekanan ARV terhadap sumsum tulang.
Pemeriksaan CD4 harus dilakukan setiap 3 bulan untuk menentukan apakah pasien perlu diberi Zidovudin atau obat provilaksis terhadap Pneumonia carinii. Pemeriksaaan konfirmasi menggunakan Western Blot (WB) cukup mahal, sebagai ganti dapat dilakukan 3 pemeriksaan ELISA sebagai tes penyaring memakai reagen dan teknik berbeda.
Salah satu penyulit yang selalu mengintai IHDHA adalah wasting akibat defisiensi nutrisi, karena wasting selalu mengancam setiap perjalanan IHDHA maka selain penatalaksanaan pemberian ARV (antiretroviral) juga dilakukan penatalaksanaan nutrisi dengan serius. Penatalaksannan nutrisi berbasis makronutrien dan mikronutrien diharapkan dapat mendukung kerja ARV dalam menurunkan morbiditas akibat HIV, serta mortalitas akibat AIDS pada kehamilan dengan HIV &AIDS.
3. Penatalaksanaan Persalinan
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS adalah persalinan sebaiknya berlangsung dalam 4 jam sebelum ketuban pecah dan sebaiknya hindari teknik-teknik yang dapat menimbulkan luka.
Pada saat persalinan harus dihindari semua manipulasi yang dapat meningkatkan risiko penularan melalui kontak darah atau sekret genital ibu, seperti persalinan pervaginam dengan solusio plasenta, plasenta previa, perdarahan jalan lahir, ketuban pecah dini serta partus lama.
Mempercepat kala II atau SC perlu dilakukan. Penelitian di Swiss, Perancis, London dan daratan Eropa lainnya menunjukkan penurunan kejadian penularan 50-87% pada IHDHA yang menjalani operasi caesarea elektif. Namun, sebagian besar subyek penelitian juga menggunakan ZDV selama kehamilannya. Penelitian di Rwanda mendapatkan kematian IHDHA post operasi cesarea yang bermakna dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi HIV, walaupun hal ini tidak ditemukan di Eropa. Sebaliknya, hasil penelitian di Amerika dan Vietnam tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam penurunan penularan antara kelompok yang dilakukan operasi cesarea elekif dengan kelompok yang diberikan profilaksis ZDV, bahkan untuk menyelamatkan seorang bayi dari risiko penularan, memerlukan 12-16 operasi cesarea elektif. Oleh karena itu, operasi cesarea bukan untuk menurunkan kejadian penularan dan dilakukan atas indikasi obstetric.
Tindakan berhati-hati dalam persalinan, perlindungan mata perlu dikenakan selama pemeriksaan dengan menggunakan speculum untuk mengantisipasi terjadinya rupture membrane dan selama proses persalinan. Pengisapan tradisional yang menggunakan Deelee tidak boleh dilakukan, untuk menghindari menghisap mekonium pada saluran nafas bayi. Sebagai gantinya dapat digunakan kateter penghisap yang ada didinding dengan menggunakan pipa panjang.
Penularan pada penolong persalinan dapat terjadi dengan rate 0-1% per tahun exposure. Oleh karena itu dianjurkan untuk melakukan upaya pencegahan terhadap penularan infeksi bagi petugas kamar bersalin sebagai berikut :
a. Gunakan gaun, sarung tangan dan masker yang kedap air dalam menolong persalinan.
b. Gunakan sarung tangan saat menolong bayi.
c. Cucilah tangan setiap selesai menilai penderita AIDS.
d. Gunakan pelindung mata (kacamata)
e. Peganglah sarung tangan dan beri label sebagai barang infeksious.
f. Jangan menggunakan penghisap lendir bayi melalui mulut.
g. Bila curiga adanya kontaminasi, lakukan konseling dan periksa antibodi terhadap HIV &AIDS.
4. Perawatan Post Partum
Perawatan post partum perlu memperhatikan kemungkinan penularan melalui pembalut wanita, lokea, luka episiotomi ataupun luka seksio sesarea. Perawatan ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan. Harus diusahakan agar pada bayi tidak dilakukan tindakan yang membuat perlukaan bila tidak perlu, misalnya jangan melakukan sirkumsisi. Perawatan tali pusat juga harus dijalankan dengan cermat.
Karena angka kejadian tranmisi vertical atau plasenta sebesar 25-35 %, semua janin harus diperlakukan sebagai individu yang tidak terinfeksi saat persalinan. Pencegahan perlu dilakukan untuk menghindari tranmisi horizontal atau tranmisi dari ibu ke bayi. Ibu diijinkan menggendong bayinya tetapi dengan hati-hati agar bayi tidak terpapar oleh sekresi ibu.
Air susu ibu selain mengandung faktor imun non spesifik (secretary leucocyte protease inhibitor, lactoferrin, complement, glycosaminoglycan), epidermal growth factor (EGF) dan transforming growth factor (TGF) , ternyata juga mengandung HIV dan DNA provirus dalam jumlah yang cukup banyak untuk menambah risiko PHP sampai 14%. The American Collage of Obstetricans and Ginecologists menghimbau agar ibu dengan HIV tidak menyusui sendiri bayinya.
Pada keadaan dimana ibu tidak bisa membeli susu formula, lingkungan yang tidak memungkinkan seperti tidak tersedianya air bersih dan sosiokultural, bila pemberian susu formula tidak dapat diterima, tidak menguntungkan, tidak terjangkau, tidak berkesinambungan, tidak aman, maka bayi dapat diberi ASI ekslusif sampai usia 4 – 6 bulan, selanjutnya segera disapih. Metode KB postpartum harus diperhatikan yang akan digunakan nantinya, apakah ibu berencana hamil lagi unuk jangka pendek, jangka panjang atau mengakhiri kesuburannya.
5. Antiretrovirus (ARV)
Pemberian kombinasi ARV merupakan penatalaksanaan baku IHDHA tanpa memandang status kehamilan, sama seperti pemberian ARV pada ODHA karena telah dipertimbangkan farmakokinetiknya dan tidak terbukti memberikan efek teratogenik pada janin/bayi jika diberikan setelah umur kehamilan 14 minggu. Pada pencegahan penularan HIV perinatal (PHP), baik ACOG, USHS maupun WHO menganjurkan kombinasi ARV untuk menekan replikasi virus secara cepat sampai batas yang tidak menunjukkan efikasinya dalam penurunan PHP dibandingkan dengan pemberian ZDV. Sedangkan penelitian mengenai imunisasi pasif dan aktif untuk mencegah PHP sedang dilakukan. Pemberian minimal 3 dosis vaksin recombinant envelope setiap bulan berturut-turut menunjukkan peningkatan antibodi pada manusia tanpa efek teratogenik pada binatang percobaan.
Terapi ARV harus diberikan pada semua ibu hamil yang terkena HIV untuk memulai perawatan pada ibu sehingga dapat mencegah transimisi perinatal, tanpa memandang jumlah Limfosit T CD 4 dan viral load (Cunningham, 2005)
Perinatal HIV guide lines working group 2000-2001 dalam cunningham 2001 menjelaskan mengenai pemberian regimen ARV pada :
1. Antepartum
Terapi kombinasi dengan dua regimen NRTI ditambah NNRTI atau PI. Regimen harus mencakup :
Zidovudin 100 mg 5 x sehari, dimulai pada minggu ke 14 – 34 dan dilanjutkan selama hamil ditambah NRTI lain dan NNRTI atau PI.
2. Intra partum – Kemoprofilaksis
· Wanita yang bersangkutan telah mendapat regimen :
Zidovudin 2mg/kg/bb di berikan secara intara vena selama 1 jam diikuti infus kontinu 1 mg/kg/bb/jam sampai kelahiran bayi.
  • Belum pernah diterapi :
Nevirapin dosis tunggal dan dosis berikutnya untuk bayi. Dan dosis berikutnya pada bayi untuk 48 jam.
Zidovudin per oral dan lamivudin pada saat persalinan; Zidovudin / lamivudin 1 minggu untuk neonatus.
Regimen zidovudin intravena ditambah zidovudin 6 minggu untuk neonatus
Nepiravin dan regimen zidovudin.
3. Pasca partum – Tanpa terapi ARV selama hamil atau intra partum
  • Bayi : regimen zidovudin 6 minggu
  • Ibu : evaluasi untuk terapi kombinasi
Dari sumber lain menyatakan pemberian regimen ARV yang hampir sama sumber di atas, yakni menurut WHO yang dikutip dalam "Recommendation on ARVs and MTCT Prevention 2004" disampaikan regimen ARV yang dibutuhkan oleh ibu hamil sebagai berikut :
Tabel 4. Panduan Pengobatan ARV pada PMTCT
Kondisi Klinis Regimen bagi Ibu
(dosis sesuai tabel 3)
Regimen bagi Bayi
1.
ODHA dengan indikasi ARV yang mungkin dapat hamil · Pastikan tidak sedang dalam keadaan hamil sebelum memulai ARV
· Hindari penggunaan EFV
· AZT + 3TC + NVP atau
· d4T + 3TC + NVP
2.
ODHA dengan ARV yang kemudian hamil
  • Lanjutkan regimen ARV yang sekarang digunakan
· Bila mendapat pengobatan dengan EFV diganti dengan NVP atau PI pada kehamilan trimester I
· Lanjutkan pengobatan ARV yang sama selama persalinan dan pasca persalinan
  • AZT (4mg/kgBB setiap 12 jam) selama 1 minggu atau
  • NVP (2mg/kgBB) dosis tunggal atau
  • NVP dosis tunggal + AZT selama 1 minggu
3.
ODHA hamil dengan indikasi ARV · Tunda ARV sampai setelah trimester I bila mungkin. Bila kondisi buruk perlu pertimbangkan untung – rugi pemakaian ART dini
· ARV seperti pada ODHA biasa
· ARV lini I: AZT + 3TC + NVP atau
· d4T + 3TC + NVP
  • EFV tidak boleh diberikan pada kehamilan trimester I
· NVP dosis tunggal dalam 72 jam pertama + AZT selama 1 minggu atau
· AZT selama 1 minggu atau
  • NVP dosis tunggal dalam 72 jam pertama
4.
ODHA hamil namun belum ada indikasi ARV · AZT dimulai pada usia kehamilan 28 minggu atau segera setelah itu, dilanjutkan selama masa persalinan, +
  • NVP dosis tunggal pada awal persalinan
NVP dosis tunggal dalam 72 jam pertama + AZT selama 1 minggu
Regimen alternatif:
· AZT dimulai pada usia kehamilan 28 minggu atau segera setelah itu, dilanjutkan selama persalinan
· AZT + 3TC: sejak kehamilan 36 minggu atau segera setelah itu, dilanjutkan selama masa persalinan hingga 1 minggu pasca persalinan
· AZT selama 1 minggu
· AZT + 3TC (2mg/kgBB) selama 1 minggu
NVP dosis tunggal intrapartum NVP dosis tunggal dalam 72 jam
5.
ODHA hamil dengan indikasi ARV namun tidak mulai ARV Sesuai butir 4, namun lebih baik menggunakan regimen yang paling efektif dari yang ada
6.
ODHA hamil dengan TB aktif OAT yang sesuai untuk wanita hamil tetap diberikan Bila dipertimbangkan untuk menggunakan ARV:
· AZT + 3TC + SQV/r atau
· D4T + 3TC + SQV/r
Bila pengobatan dimulai pada trimester III:
  • AZT + 3TC + EFV atau d4T + 3TC + EFV
  • Bila tidak akan menggunakan ARV, ikuti butir 4
7.
Ibu hamil dalam masa persalinan dengan status HIV tidak diketahui Atau ODHA yang datang saat persalinan tetapi belum pernah mendapat ARV Bila sempat tawarkan pemeriksaan dan konseling pada ibu yang belum diketahui status HIV-nya, bila tidak, lakukan pemeriksaan dan konseling segera setelah persalinan (dengan persetujuan) dan ikuti butir 8
Bila positif:
· Berikan NVP dosis tunggal
· Bila persalinan sudah terjadi jangan berikan NVP, namun ikuti butir 8, atau
· AZT + 3TC saat persalinan hingga 1 minggu pasca persalinan
  • NVP dosis tunggal dalam 72 jam pertama
· AZT + 3TC selama 1 minggu
8.
Bayi lahir dari ODHA yang belum pernah mendapat obat ARV NVP dosis tunggal sesegera mungkin + AZT selama 1 minggu. Bila diberikan setelah > 2 hari kurang bermanfaat






2.3 Konsep Dasar Ibu Hamil dengan HIV-AIDS

Pemeriksa :
Jam :
Tempat :
Tanggal :
1. Pengkajian data
1) Data Subjektif
(1) Identitas ibu hamil dan suami
Nama : mengantisipasi kesalahan pemberian asuhan
Umur : HIV pada ibu hamil tidak ada batasan usia
Pendidikan : Tingkat pendidikan rendah
Pekerjaan : tingkat perekonomian dan pekerjaan yang merupakan faktor risiko terinfeksi HIV. Pekerjaan yang merupakan resiko tinggi HIV/ AIDS adalah pekerja seks, pelaut, dan pekerja di sector transportasi (WHO, 2004)
Alamat : Pada multiple pasangan bisa tinggal pada rumah yang berbeda.
(2) Keluhan Utama :
Keluhan yang paling sering terjadi pada pasien hamil dengan HIV-AIDS adalah selain keluhan sehubungan dengan kehamilannya, ibu juga mengeluh berbagai masalah sesuai dengan stadium).
a. Stadium Klinis 1
- Asimtomatis
- Limpadenopati persistent generalisata
Penampilan atau aktivitas fisik skala 1: asimtomatis, aktivitas normal.
b. Stadium Klinis 2
- Penurunan berat badan, 10% dari berat badan sebelumnya.
- Manifestasi mukokutaneus minor (dermatitis seborhhoic, prurigo, infeksi jamur pada kuku, ulserasi mukosa oral berulang, cheilitis angularis)
- Herpes Zoster, dalam 5 tahun terakhir.
- Infeksi berulang pada saluran pernapasan atas (misalnya sinusitis bakterial)
Dengan atau penampilan ativitas fisik skala 2 : simtomatis, aktivitas normal.
c. Stadium Klinis 3
- Penurunan berat badan >10%
- Diare kronis dengan penyebab tidak jelas >1 bln
- Demam dengan sebab yang tidak jelas (intermittent atau tetap), >1 bulan
- Kandidiasis oris
- Oral hairy leukoplakia
- TB pulmoner, dalam 1 tahun terakhir.
- Infeksi bakterial berat (misal : pneumonia, piomiositis)
Dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 3: lemah, berada di tempat tidur, <50% perhari dalam bulan terakhir.
d. Stadium Klinis 4
- HIV wasting syndrome, sesuai yang ditetapkan CDC
- PCP (pneumocytis carinii pneumonia)
- Ensefalitis toksoplasmosis
- Cryptococcosis ekstrapulmoner
- Infeksi virus sitomegalo
- Infeksi herper simpleks >1 bulan
- Berbagai infeksi jamur berat.
- Kandidiasis esofagus, trachea atau bronkhus
- Mikobakteriosis atypical
- Salmonelosis non tifoid disertai setikemia
- TB, ekstrapulmoner
- Limfoma maligna
- Sarkoma kaposi’s
- Ensefalopati HIV
Dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 4: sangat lemah, selalu berada di tempat tidur >50% per hari dalam bulan terakhir (Fazidah, 2004).
(3) Riwayat Obstetri:
a. Riwayat menstruasi
Fluor albus : banyak, gatal , berbau, warna hijau. Pada ibu dengan HIV mudah terkena infeksi jamur yang bila mengenai organ genital bisa menyebabkan keputihan.
b. Riwayat Obstetri lalu
Kehamilan yang lalu terinfeksi HIV, ibu dapat bersalin dengan SC.

c. Riwayat Kehamilan Sekarang :
Keluhan pada trimester I ,II, atau III pada ibu hamil dengan HIV seperti keluhan ibu hamil normal terkadang dijumpai keluhan berdasarkan stadium HIV/AIDS:
Trimester I : Chloasma gravidarum, mual dan muntah (akan hilang pada kehamilan 12-14 minggu) sering kencing, pusing, ngidam, obstipasi.
Trimester II : Body image dan nafsu makan bertambah.
Trimester III : Sering kencing, obstipasi, sesak nafas (bila tidur telentang) sakit punggung, oedema, varices.
d. Riwayat perkawinan
hamil dengan HIV biasanya ibu atau suami menikah lebih dari satu kali atau mempunyai banyak pasangan.
e. Riwayat kesehatan ibu
Pada ibu dengan HIV biasanya penyakit yang diderita beragam, antara lain : demam, faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia, letargi, malaise, nyeri kepala, mual, muntah, diare, anoreksia, penurunan berat badan. Dapat juga menimbulkan kelainan saraf, seperti meningitis, ensefaliits, neuropati perifer dan mielopati. Gejala pada dermatologi yaitu ruam makropapulereritematosa dan ulkus makokutan
Pada beberapa pasien terdapat sarkoma kaposi’s, herpes simpleks, sinusitis bakterial, herpes Zooster dan peneumonia yang berlangsung tidak terlalu lama. Fase ini berlangsung sekitar 8-10 tahun (dapat 3-13 tahun) setelah terinfeksi HIV. Pada tahun kedelapan setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis yaitu demam, banyak berkeringat pada malam hari, kehilangan berat badan kurang dari 10%, diare, lesi pada mukosa dan kulit berulang, penyakit infeksi kulit berulang. Gejala ini merupakan tanda awal munculnya infeksi oportunistik.
Selain itu terdapat juga pneumonia carinii, tuberkulosis, sepsis, toksoplamosis ensefalitis, diare akibat kriptosporidiasis, infeksi virus sitomegalo, infeksi virus herpes, kandisiasis esofagus, kandisiasis trakhea, kandisiasis bronkhus atau paru serta infeksi jamur jenis lain seperti histoplamosis, koksidiodomikosis. Kadang juga ditemukan beberapa jenis kanker, yaitu kanker kelenjar getah bening dan kanker sarkoma kaposi’s (Nasronudin, 2007).

f. Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit HIV dapat diturunkan oleh orangtua ataupun ditularkan oleh suami penderita.
g. Pola fungsional kesehatan
a) Pola Nutrisi :
pada pasien HIV pola makan harus dijaga untuk menghindari terjadinya infeksi oportunistik.
Wanita dewasa memerlukan 2.500 Kalori per hari, jumlah tambahan kalori yang dibutuhkan pada ibu hamil adalah 300 kalori per hari, dengan komposisi menu seimbang (cukup mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, air) (Nakita, 2014).
Pada pasien HIV yang mengalami ulserasi mukosa oral terjadi gangguan pemenuhan nutrisi karena ketidaknyamanan/sakit saat makan.
b) Pola Eliminasi :
BAK : dalam batas normal (1cc kg/jam)
BAB teratur tiap hari 1x
Pada stadium HIV lanjut ( stadium III dan IV) Ibu dapat mengalami diare akut atau
c) Pola Istirahat :
Pada stadium lanjut HIV ibu membutuhkan istirahat, selalu berada di tempat tidur > 50% per hari dalam bulan terakhir.
d) Pola Aktivitas :
Stadium 1 : penampilan atau aktivitas fisik skala 1: asimtomatis, aktivitas normal.
Stadium 2 : dengan atau penampilan ativitas fisik skala 2 : simtomatis, aktivitas normal.
Stadium 3 : dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 3: lemah, berada di tempat tidur, <50% perhari dalam bulan terakhir.
Stadium 4 : dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 4: sangat lemah, selalu berada di tempat tidur >50% per hari dalam bulan terakhir (Fazidah, 2004).
e) Aktivitas Seksual
Seberapa sering aktivitas sex yang dilakukan ibu dan suami sebelum dan selama kehamilan.
Mungkin ditemukan adanya penurunan aktivitas seksual utamanya pada mereka yang sudah berada pada stadium lanjut. disarankan untuk menggunakan kondom bila suami HIV negatif dikarenakan kondom dapat mencegah penularan HIV.
f) Pola Kebiasaan
Merokok
Minum Alkohol
Mengkonsumsi Narkoba : Pemakaian narkoba dengan suntik atau obat-obatan terlarang lainya yang dapat meningkatkan resiko terkena HIV AIDS.
Minum Jamu-jamuan
Memelihara binatang peliharaan : (rantai penularan toxoplasmosis yang dapat memperburuk HIV/AIDS dalam perkembangan janin)
h. Riwayat PsikoSosial Budaya
Perkawinan ibu dengan HIV seringkali ditemui dengan ibu atau suami menikah lebih dari sekali
Perencanaan kehamilan akan berpengaruh pada penerimaan ibu dan keluarga terhadap kehamilan ini dan bayinya nantinya, ibu merasa gelisah dan cemas apabila keluhan yang dirasakan oleh ibu akan mengganggu kehamilannya.
2) Data Obyektif
(1) Pemeriksaan Umum
- TD : Ibu hamil dengan HIV tidak ada perbedaan tekanan darah dengan ibu hamil normal. Normal antara 100/60-140/90 mmHg
- Suhu : Suhu pada ibu hamil dengan HIV pada fase akut dan fase laten akan mengalami demam. Normal antara 360C – 370C (Nasronudin, 2007).
- Nadi : Ibu hamil dengan HIV tidak ada perbedaan jumlah nadi dengan ibu hamil normal. Nadi normal antara 80-110 x/menit
- RR : Pada ibu dengan HIV tidak ada peningkatan jumlah pernapasan. Normal 16-20 x/menit.
- Berat badan sebelum hamil:
Penimbangan berat badan harus terus dipantau. Pada penderita HIV pada fase infeksi laten mengalami penurunan berat badan 10% (Nasronudin, 2007).
- Berat badan sekarang:
Mulai stadium II ibu mengalami penurunan BB akan tetapi <10 Kg, sedangkan pada stadium III dan IV penurunan berat badan > 10 Kg.
(2) Pemeriksaan Fisik
Muka
Mulut : Mukosa bibir kering, caries gigi. Pada pasien HIV stadium klinis 2 terjadi ulserasi mukosa berulang. Pada stadium klinis 3 terdapat kandidiasis oris (pada rongga mulut terdapat pseudomembran yang berwarna putih krem sampai keabu-abuan. Periksa adanya leukoplakia (plak putih di sekitar rongga mulut) (Nasronudin, 2007).
Dada : Ada tarikan dinding dada. Ada ronchi dan wheezing sebagai indikasi kelainan organ pernafasan ( apabila sudah terjadi TB pulmonar dan PCP (Pneumocystis Carinii Pneumonia) manifestasi dari HIV/AIDS.
Pada pasien HIV mulai stadium 1 terdapat limpadenopati (pembengkakan kelenjar limfe) (Nasronudin, 2007).
Abdomen : Ada luka bekas SC apabila ibu persalinan yang lalu mengidap HIV mencegah penularan ibu ke bayi.
Pembesaran uterus terkadang tidak sesuai dengan umur kehamilan. Hal tersebut dikarenakan adanya infeksi HIV menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin.
Ekstrimitas : Atas : tidak ada oedema
Bawah : tidak ada varises
Pada stadium II terlihat luka infeksi/ ulkus pada kuku.
Kulit : Kadang ditemukan tanda-tanda dermatitis, herpes zoster, prurigo, dan kelainan kulit lainnya akibat infeksi jamur.
Genetalia : Vulva dan vagina
Keluaran : Pada wanita hamil sering mengeluarkan cairan pervaginam lebih banyak. Keadaan ini dalam batas normal (tidak berwarna, tidak berbau, tidak gatal). Pada ibu hamil dengan HIV memungkinkan adanya infeksi candida yang menyebabkan flour albus (Nasronudin, 2007).
3) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan lab
Pemeriksaan HIV
Saat ini ada 2 standar untuk melakukan uji HIV yaitu dengan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan Western Blot.
Apabila setelah melakukan uji ELISA hasilnya positif maka penderita harus melakukan uji ELISA lagi, sebelum melakukan Western Blot untuk mengonfirmasi status HIV positif. ELISA awal dapat bereaksi silang untuk memberi hasil positif palsu jika digunakan tanpa uji konfirmasi. Western Blot akan dibaca positif bila ada antibody dua atau lebih “pita” protein ditemukan dalam HIV. Adanya pita tunggal tidak dapat meyakinkan dan mungkin hasil dari pajanan HIV atau sebuah temuan kronis. Diantara penyebab hasil menetap yang tidak dapat disimpulkan ini adalah autoimun atau penyakit vascular kolagen, aloantibodi dari kehamilan atau transfuse, dan infeksi HIV subtype jarang atau HIV 2. Hasil positif palsu pada ELISA dan Western Blot kurang dari 0,001 persen dalam area prevalensi yang rendah.
Selain 2 uji standar tersebut, ada banyak uji lain yang digunakan untuk mengevaluasi kesehatan dan perkembangan penyakit. Beberapa diantaranya penting bagi bidan untuk mengenalinya dalam rangka meningkatkan status kesehatan wanita. Pengujian ini termasuk pengukuran CD4 limfosit, muatan virus plasma, perubahan dalam hitung sel darah lengkap dan panel kimia. Karena pada saat hamil diharapkan viral load ibu serendah-rendahnya.
(pada saat hamil diharapkan vairal load ibu serendah-rendahnya. Selain itu perlu untuk dilakukan USG untuk melihat pertumbuhan janin pada pasien HIV/AIDS, janin dapat IUGR atau bahkan IUFD)
 
2. Interpretasi Data Dasar
Pada langkah ini dilakukan identifikasi yang benar atas data-data yang dikumpulkan.
1) Dx aktual :
GPapah usia kehamilan… dengan HIV/AIDS stadium 1/2/3/4
Janin tunggal, hidup, presentasi, keadaan janin baik.
2) Masalah :
Pada ibu hamil dengan HIV masalahnya yaitu:
a. Kecemasan ibu pada kondisi bayinya
b. Penurunan berat badan
c. Penyakit oportunistik
d. Sariawan dan diare yang tak kunjung sembuh

3. Identifikasi Diagnosa dan Masalah Potensial
Mengidentifikasi masalah / diagnosa potensial lain berdasarkan masalah dan diagnosa yang sudah diidentifikasikan. Pada kehamilan dengan HIV/AIDS dapat muncul diagnose potensial yaitu abortus, IUGR dan penularan HIV dari ibu ke janin.

4. Identifikasi Kebutuhan Segera
Menetapkan kebutuhan terhadap tindakan segera baik dalam melakukan konsultasi, kolaborasi, dengan dokter atau tenaga kesehatan lain berdasarkan kondisi klien, ibu hamil dengan HIV membutuhkan tindakan segera rujukan ke rumah sakit untuk memperoleh perawatan lebih lanjut sehingga proses kehamilan dan persalinannya baik sehingga mencegah penularan dari ibu ke janin apabila diketahui lebih dini.
KIE pola nutrisi dan PMTCT (Prevention Mother to Child Transmition) sangat penting bagi ibu hamil dengan HIV/AIDS yang merupakan pilar utama dalam penetalaksanaan HIV/AIDS.

5. Perencanaan
Pada langkah ini jika ada informasi / data tidak lengkap bisa dilengkapi. Mencerminkan rasional yang valid dan ditentukan oleh hasil kajian pada langkah sebelumnya.
1) Informasikan hasil pemeriksaan dan kondisi kehamilan pada ibu dan keluarga.
R/: ibu dan keluarga mengetahui tentang keadaan kehamilannya sehingga dapat menentukan tindakan yang tepat untuk menjaga kesehatan diri ibu dan janinnya.
2) Berikan konseling dan edukasi (VCT) dan berikan dukungan psikologis kepada ibu
R/ Pengetahuan tentang HIV kepada ibu dan keluarga akan mengurangi tingkat kecemasan dan ketakutan ibu dan keluarga
3) Diskusikan dengan ibu tentang PMTCT (Prevention Mother To Child Transmition) dan komplikasinya (Abortus, IUGR, HIV pada bayi) yang meliputi rencana persalinan yang aman di rumah sakit
R/ Pengetahuan tentang PMTCT dapat mengurangi angka resiko HIV pada janin
4) Kolaborasi untuk Uji saring antepartum untuk menegakkan diagnose medis selama window periode
R/ Menegakkan diagnose HIV/AIDS
5) Kolaborasi dengan dokter untuk menegakkan diagnose dan pemberian terapi.
R/: ibu hamil dengan HIV merupakan kondisi risiko tinggi yang memerlukan penanganan terpadu oleh dokter Sp.OG.
6) Menyepakati kunjungan ulang
R/ pemantauan kesejahteraan janin dan kesehatan ibu dengan HIV/AIDS

6. Pe nata laksanaan
Melaksanakan rencana asuhan menyeluruh seperti yang telah diuraikan pada langkah V

7. Evaluasi
Dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang diberikan dalam bentuk SOAP.
S : ibu tidak cemas dan takut dengan kondisi penyakit HIV/AIDS yang dideritanya
O :
- Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik
- Transmisi HIV dari ibu ke janin dapat dicegah
A : ibu hamil dengan HIV/AIDS
P :
- P4K à perencanaan proses persalinan dengan operasi saesar untuk mencegah transmisi ibu ke janin
- Kolaborasi dokter spesialis terkait pemberian terapi dan pemeriksaan lab


DAFTAR PUSTAKA


Adler MW, 1993. Peunjuk Penting AIDS edisi 3. Jakarta : EGC pp. 1-92
Coad J, Dunstall M, 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Bidan. Jakarta : EGC.
Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth JC, Wenstrom KD, 2005. Obstetri Williams edisi 21 vol I, Jakarta : EGC.
Daili, 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBPSP. pp. 932-933
Depkes RI, 2004. Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV (Voluntary Counselling and Testing = VCT). Jakarta.
Depkes RI, 2008. Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS secara Sukarela (Voluntary Counselling and Testing). Jakarta.
Kusniati, N dkk. Modul 4 : PMS & HIV/AIDS. Jakarta : PKBI, IPPF, UNFBA
Price SA, Wilson LM, 2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi 6 volume 1. Jakarta : EGC. pp. 225-239.
Sweet, BR, 1997, Mayes’ Midwifery A Textbook for Midwives 12th edition, London : Bailliere Tindall, pp.575-577.
Winefred, L.S et all (2001). Ambulatory Obstetrics. Third Edition. USA : UCSF Nursing Press
Share:  

1 comment:

  1. La gran medicina herbaria del Dr. imoloa es la cura perfecta para el virus del VIH, me diagnosticaron VIH durante 8 años y todos los días siempre busco investigaciones para encontrar la manera perfecta de deshacerme de esta terrible enfermedad porque siempre sé qué Necesitamos porque nuestra salud está en la tierra. Entonces, en mi búsqueda en Internet vi varios testimonios sobre cómo el Dr. imoloa puede curar el VIH con poderosas medicinas a base de hierbas. Decidí contactar a este hombre, lo contacté por medicamentos a base de hierbas que recibí a través del servicio de mensajería DHL. Y él me guió cómo. Le pedí una solución para tomar hierbas medicinales durante dos semanas. Y luego me ordenó que fuera a comprobar lo que estaba haciendo. Mírame (VIH NEGATIVO). Gracias a Dios por el Dr. Imoloa por usar un poderoso remedio a base de hierbas para curarme. también tiene cura para enfermedades como la enfermedad de parkison, cáncer de vagina, epilepsia, trastornos de ansiedad, enfermedades autoinmunes, dolor de espalda, esguinces, trastorno bipolar, tumores cerebrales malignos, bruxismo, bulimia, enfermedad del disco cervical, enfermedades cardiovasculares, enfermedades cardiovasculares, esguinces, trastorno bipolar, tumores cerebrales, maligno, bruxismo, bulimia, enfermedad del disco cervical, enfermedad cardiovascular, enfermedad cardiovascular, esguinces, trastorno bipolar, tumores cerebrales, maligno, bruxismo, bulimia, enfermedad del disco cervical, enfermedad cardiovascular, enfermedades respiratorias crónicas, mental y trastornos del comportamiento, fibrosis quística, hipertensión, diabetes, asma, artritis autoinmune. Enfermedad renal crónica, artritis, dolor de espalda, impotencia, espectro de alcohol feta, trastornos distímicos, eczema, cáncer de piel, tuberculosis, síndrome de fatiga crónica, estreñimiento, enfermedad inflamatoria intestinal, cáncer de huesos, cáncer de pulmón, llagas en la boca, cáncer oral, dolor corporal, fiebre, hepatitis ABC, sífilis, diarrea, enfermedad de Huntington, acné en la espalda, insuficiencia renal crónica, enfermedad de Addison, enfermedad crónica, enfermedad de Crohn, fibrosis quística, fibromialgia, enfermedad inflamatoria intestinal, enfermedad de las uñas por hongos, parálisis, enfermedad de Celia, linfoma, depresión mayor , melanoma maligno, manía, melorreostosis, enfermedad de Meniere, mucopolisacaridosis, esclerosis múltiple, distrofia muscular, artritis reumatoide, enfermedad de Alzheimer correo electrónico: drimolaherbalmademedicine@gmail.com.

    ReplyDelete