Saturday, 12 March 2016

, ,

Asuhan Keperawatan pada Bayi dengan Ikterus Neonatorum

BAB 1

PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 Angka Kematian Bayi (AKB) masih berada pada kisaran 34 per 1000 kelahiran hidup atau 157.000 bayi meninggal per tahun atau 430 bayi per hari, dan hampir setengah dari kematian bayi ini terjadi pada masa neonatal yaitu pada bulan pertama kelahiran, dimana bayi sangat rentan terhadap kesakitan dan kematian. Sedangkan dalam Millenium Developmen Goals (MDGs), Indonesia menargetkan pada tahun 2015 AKB menurun menjadi 17 bayi per 1000 kelahiran hidup.
Masa neonatal juga merupakan masa kritis bagi kesehatan bayi karena harus menyesuaikan diri dari kehidupan intrauteri ke kehidupan ekstrauteri. Kemungkinan timbul masalah atau penyulit pada masa ini yang bila tidak ditangani dengan baik akan dapat membahayakan kesehatan atau mendatangkan kematian bagi bayi. Salah satu masalah yang sering timbul pada bayi baru lahir adalah ikterus neonatorum. Dan salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kern ikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Perawatan Ikterus berbeda diantara negara tertentu, tempat pelayanan tertentu dan waktu tertentu. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pengelolaan pada BBL, seperti ; pemberian makanan dini, kondisi ruang perawatan, penggunaan beberapa propilaksis (misal; luminal) pada ibu dan bayi, fototherapi dan transfusi pengganti.
Seorang bidan mempunyai peran yang penting dalam memberikan asuhan pada bayi baru lahir. Bidan diharapkan dapat mencegah dan mendeteksi lebih awal adanya masalah pada bayi baru lahir seperti ikterus neonatorum. Dengan asuhan dan penanganan yang tepat diharapkan morbiditas dan mortalitas bayi baru lahir dapat dicegah.


1.1 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Mahasiswa mampu memberikan dan melaksanakan Asuhan Kebidanan pada bayi dengan ikterus neonatorum sesuai dengan manajemen kebidanan dan mendokumentasikannya dalam bentuk SOAP.
1.2.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu :
1) Melakukan pengkajian data subyektif dan obyektif
2) Menganalisa data untuk menentukan diagnosis aktual dan diagnosis potensial yang mungkin timbul pada bayi dengan ikterus neonatorum
3) Merencanakan Asuhan Kebidanan yang menyeluruh berdasarkan kebutuhan bayi dengan ikterus neonatorum.
4) Melaksanakan Asuhan Kebidanan sesuai dengan rencana yang telah disusun.
5) Melakukan evaluasi terhadap Asuhan yang dilaksanakan.
6) Melakukan pendokumentasian hasil Asuhan Kebidanan dengan SOAP





BAB 2

LANDASAN TEORI


2.1 Konsep Dasar Ikterus Neonatorum
2.1.1 Pengertian
Ikterus adalah perubahan warna menjadi kuning pada kulit, membran mukosa, dan sklera yang disebabkan karena peningkatan bilirubin didalam darah (hyperbilirubiemia). Keadaan ini menandakan adanya peningkatan produksi bilirubin atau eliminasi bilirubin dari tubuh yang tidak efektif (Schwartz, 2004:461).
Kadar bilirubin normal adalah 0 – 1 mg/%. (Ilmu Kesahatan Anak II FK Unair Surabaya, 1989 : 257). Sedangkan menurut Wong Dounal and Whaley Lucille, 1990 : 1236 mengatakan hyperbilirubiemia ( joundace) pada bayi baru lahir adalah timbunan dari serum bilirubin melebihi batas normal ( 5 – 7 mg/100 dl).
Ikterus pada bayi baru lahir terdapat pada 25-50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan. Ikterus pada bayi baru lahir dapat merupakan suatu gejala fisiologis atau dapat merupakan hal yang patologis.
Ikterus fisiologis ialah :
1. Ikterus yang timbul pada hari ke dua dan ketiga
2. Tidak mempunyai dasar patologis
3. Kadarnya tidak melampaui kadar yang membahayakan
4. Tidak mempunyai potensi menjadi kern ikterus
5. Tidak menyebabkan satu morbilitas pada bayi
Ikterus patologis/Hiperbilirubinemia ialah :
1. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama
2. Ikterus dengan kadar bilirubin >12,5 mg% pada neonatus cukup bulan atau lebih dari 10 mg% pada neonatus kurang bulan.
3. Ikterus dengan peningkatan kadar bilirubin >5mg% perhari
4. Ikterus yang mempunyai dasar patologis
5. Kadar bilirubinnya mencapai nilai hiperbilirubinemia.
Ikterus baru dapat dikatakan fisiologis apabila sesudah pengamatan dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern-icterus.
Kern-icterus (enselopati biliaris) ialah suatu kerusakan otak yang terjadi akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak (Saifuddin, 2001:381).

2.1.2 Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site). Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.
Bilirubin adalah produk sisa pemecahan hem, yang sebagian besar ditemukan dalam sel darah merah. Sel darah merah yang sudah tua, imatur, malformasi dibuang dari sirkulasi dan dipecah dalam sistem retikuloendotelial (hati, limfa, makrofag), dan hemoglobin dipecah menjadi produk sia hem, globin, dan zat besi. Hem dikonversi menjadi biliverdin dan kemudian menjadi bilirubin tak terkonjugasi. Dua bentuk utama bilirubin di tubuh yaitu:
1. Bilirubin tak terkonjugasi, larut dalam lemak dan tidak dapat diekskresi secara mudah, baik dalam empedu maupun urine.
2. Bilirubin terkonjugasi, larut dalam air, melalui hati dapat diekskresikan, melalui feses ataupun urine (Fraser, 2009:840).
Metabolisme bilirubin mempunyai tahapan sebagai berikut (Fraser, 2009:840):
1. Transportasi
Bilirubin tak terkonjugasi ditransfor dalam plasma ke hati berikatan dengan albumin protein plasma. Jika tidak melekat di albumin, bilirubin tak terkonjugasi dapat disimpan di lemak ekstravaskuler dan jaringan saraf tubuh. Pencemaran kulit (ikterus) dan otak merupakan dua tempat yang paling umum.
2. Konjugasi
Sesampainya di hati, bilirubin dilepaskan dari albumin dan ditransfor oleh protein pembawa Y dan Z di intraseluler menuju retikulum endoplasmik halus hati. Bilirubin kemudian dikombinasi dengan glukosa dan asam glukoronat, dan konjugasi terjadi bila ada oksigen. Uridin difosfoglokuronil transferase (UDP-GT atau glukorinil transferase adalah enzim utama yang terlibat dalam konjugasi bilirubin. Bilirubin terkonjugasi sekarang larut dalam air dan siap untuk ekskresi.
3. Ekskresi
Bilirubin terkonjugasi diekskresi melalui sistem biliaris ke dalam usus halus, tempat bilirubin ini dikatabolisasi oleh bakteria usus normal untuk membentuk urobilinogen, kemudian dioksidasi menjadi urobilin berwarna jingga. Sebagian besar bilirubin terkonjugasi diekskresi dalam feses, tetapi sejumlah kecil dalam urine.


2.1.3 Etiologi
2.1.3.1 Ikterus fisiologis.
Ikterus fisiologis pada neonatus adalah akibat kesenjangan pemecahan sel darah merah dan kemampuan bayi untuk menstransfor, mengonjugasi, dan mengekskresi bilirubin tak terkonjugasi.
1. Peningkatan pemecahan sel darah merah
Produksi bilirubin bayi baru lahir lebih dari dua kali produksi orang dewasa normal per kilogram berat badan. Di lingkungan uterus yang hipoksik, janin bergantung pada hemoglobin F (hemoglobin janin) yang memiliki afinitas oksigen lebih besar daripada hemoglobin A (hemoglobin dewasa). Saat lahir, ketika sistem pulmonar menjadi fungsional, massa sel darah merah banyak yang dibuang melalui hemolisis mengakibatkan timbunan bilirubin, yang berpotensi membebani sistem secara berlebihan.
2. Penurunan kemampuan mengikat albumin
Transfor bilirubin ke hati untuk konjugasi menurun karena konsentrasi albumin yang rendah pada bayi prematur, penurunan kemampuan mengikat albumin (yang dapat terjadi jika bayi mengalami asidosis), dan kemungkinan persaingan untuk mendapatkan tempat mengikat albumin dengan beberapa obat. Jika tempat ikatan albumin yang tersedia digunakan, kadar bilirubin yang tidak berikatan, tidak terkonjugasi, dan larut-lemak dalam darah akan meningkat, serta mencari jaringan dengan afinitas lemak seperti kulit dan otak.
3. Defisiensi enzim
Kadar aktivitas enzim UDP-GT yang rendah selama 24 jam pertama setelah kelahiran akan mengurangi konjugasi bilirubin. Meskipun meningkat setelah 24 jam pertama, hal tersebut tidak akan mencapai kadar dewasa selama 6-14 minggu.
4. Peningkatan reabsorbsi enterohepatik
Proses ini meningkat dalam usus bayi baru lahir karena kurangnya jumlah bakteri enterik normal yang memecahkan bilirubin menjadi urobilinogen, bakteri ini juga meningkatkan aktivitas enzim beta glukorinidase yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi kembali ke kondisi tak terkonjugasi (jika bilirubin ini diabsorbsi kembali ke dalam sistem). Jika pemberian susu ditunda, motilitas usus juga menurun, selanjutnya mengganggu ekskresi bilirubin tak terkonjugasi (Fraser, 2009:843).
2.1.3.2 Ikterus patologis
Etiologi yang melatarbelakangi ikterus patologis adalah beberapa gangguan pada produksi, transfor, konjugasi dan ekskresi bilirubin yang tumpang tindih dengan ikterus fisiologis normal.
1. Produksi
Faktor yang meningkatkan penghancuran hemoglobin juga meningktkan kadar bilirubin, seperti inkompatibilitas tipe/golongan darah, hemoglobinopati (penyakit sel sabit dan talasemia), defisiensi enzim glukosa 6-fosfst dehidroginase (G6PD) yang berperan memelihara integritas membran sel darah merah, sferositosis (sel darah merah rapuh), ekstravasai darah ( sefalhematoma dan memar), sepsis (dapat menyebabkan peningkatan pemecahan hemoglobin), dan polositemia (darah terlalu banyak mengandung sel darah merah).
2. Transfor
Faktor yang menurunkan kadar albumin darah atau menurunkan kemampuan mengikat albumin meliputi hipotermia, asidosis, atau hipoksia dapat mengganggu kemampuan mengikat albumin, serta obat yang bersaing dengan bilirubin memperebutkan tempat mengikat albumin (misalnya aspirin, sulfonamida, dan ampisilin).
3. Konjugasi
Konjugasi bilirubin dapat terganggu oleh dehidrasi, kelaparan, hipoksia, dan sepsis (oksigen dan glukosa diperlukan untuk konjugasi), infeksi TORCH, infeksi virus lain misalnya hepatitis virus, infeksi bakteria terutama Escherichia coli, gangguan metabolik dan endokrin yang mengubah aktivitas enzim UDP-GT (misalnya penyakit Crigler-Najjar dan sindrom Gilbert), serta gangguan metabolik lain seperti hipotiroidisme dan galaktosemia.
4. Ekskresi
Faktor yang dapat mengganggu ekskresi bilirubin meliputi obstruksi hepatik yang disebabkan oleh anomali kongenital (seperti atresia bilier ekstrahepatik), obstruksi akibat sumbatan empedu karena peningkatan viskositas empedu (misalnya fibrosis kistik, nutrisi parenteral total, gangguan hemolitik, dan dehidrasi), saturasi pembawa protein yang diperlukan untuk mengekskresi bilirubin terkonjugasi ke dalam sistem bilier, infeksi, kelainan kongenital lain, dan hepatitis neonatal idiopatik yang juga dapat menyebabkan bilirubin terkonjugasi berlebihan (Fraser, 2009:844).



2.1.4 Pathofisiologi


Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).

2.1.5 Penilaian
Pengamatan ikterus kadang-kadang sulit apalagi dalam cahaya buatan. Paling baik pengamatan dilakukan dalam cahaya matahari dan dengan menekan sedikit kulit yang akan diamati untuk menghilangkan warna karena pengaruh sirkulasi darah. Ada beberapa cara untuk menentukan derajat ikterus yang merupakan risiko terjadinya kern-icterus, misalnya kadar bilirubin bebas, atau secara klinis dilakukan di bawah sinar biasa (day-light). Sebaiknya penilaian ikterus dilakukan secara laboratoris, apabila fasilitas tidak memungkinkan dapat dilakukan secara klinis (Saifuddin, 2002:382).
DAERAH
LUAS IKTERUS
KADAR BILIRUBIN (mg%)
1
Kepala dan leher
5
2
Daerah 1 + badan bagian atas
9
3
Daerah 1, 2 + badan bagian bawah dan tungkai
11
4
Daerah 1,2,3 + lengan dan kaki di bawah dengkul
12
5
Daerah 1, 2, 3, 4 + tangan dan kaki
16
Rumus Kramer (Saifuddin, 2005:383)
Pada kern-icterus, gejala klinik pada permulaan tidak jelas, antara lain dapat disebutkan yaitu bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar, gerakan tidak menentu (involuntary movements), kejang, tonus otot meninggi, leher kaku, dan akhirnya opistotonus (Saifuddin, 2005:383).

2.1.6 Komplikasi
Komplikasi ikterus pada bayi baru lahir adalah kern-icterus yang gambaran klinisnya tidak dapat dibedakan dari sepsis, asfiksia, perdarahan intraventrikular, dan hipoglikemia. Gejala ensefalopati bilirubin meliputi letargi, tidak mau minum, dan refleks morro yang lemah. Pada akhir pertama minggu kehidupan, bayi menjadi demam dan hipertonik disertai tangisan bernada tinggi (high-pitched cry). Reflek tendon dan respirasi menjadi terdepresi. Bayi akan mengalami opistotonus disertai penonjolan dahi ke anterior. Dapat mulai terjadi kejang tonik-klonik umum. Jika bayi bertahan hidup, gambaran-gambaran klinis ini akan menghilang dalam usia dua bulan, kecuali sisa kekakuan otot, opistotonus, gerakan ireguler, dan kejang. Pada ahirnya anak tersebut akan mengalami koreoatetosis, tuli sensorineular, stabismus, kelainan pandangan ke atas, dan disartria (Schwartz, 2004:484).

2.1.7 Penatalaksanaan
2.1.7.1 Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab (Hassan, 2005:1106-1107)
Pendekatan yang dapat digunakan untuk memperkirakan penyebab ikterus adalah pendekatan yang dikemukakan oleh Harper dan Yaon (1974), yaitu:
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut:
1) Inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain
2) Infeksi intra uterin (oleh virus, toxoplasma, lues, dan kadang-kadang bakteri)
3) Kadang-kadang oleh defisiensi G-6-PD
Pemeriksaan yang perlu dilakukan ialah:
1) Kadar bilirubin serum berkala
2) Darah tepi lengkap
3) Golongan darah ibu dan bayi
4) Uji Coombs
5) Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6-PD, biakan darah atau biopsi hepar bila perlu
2. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
1) Biasanya ikterus fisiologis
2) Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg %/24 jam
3) Defisiensi enzim G-6-PD
4) Polisitemia
5) Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan hepar subkapsuler, dan lain-lain)
6) Hipoksia
7) Sferositosis, eliptositosis, dan lain-lain
8) Dehidrasi asidosis
9) Defisiensi enzim eritrosit lainnya
10) Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
Bila keadaan bayi baik dan peningkatan ikterus tidak cepat, dapat dilakukan pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala, pemeriksaan penyaing enzim G-6-PD dan pemeriksaan lainnya bila perlu.
3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
1) Biasanya karena infeksi
2) Dehidrasi asidosis
3) Defisiensi enzim G-6-PD
4) Pengaruh obat
5) Sindrom Griggler-Najjar
6) Sindrom Gilbert
4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
1) Biasanya karena obstruksi
2) Hipotiroidisme
3) Breast Milk Joundice
4) Infeksi
5) Neonatal hepatitis
6) Galaktosemia
7) Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
(1) Pemeriksaan biirubin (direk dan indirek)
(2) Pemeriksaan darah tepi
(3) Pemeriksaan penyaring G-6-PD
(4) Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi
(5) Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab.
2.1.7.2 Penanganan
Tanda-tanda Warna kuning pada kulit dan sklera mata (tanpa hepatomegali, perdarahan kulit, dan kejang-kejang
Kategori penilaian
Normal
Fisiologik
Patologik
  • Daerah ikterus (Kramer)
  • Kuning hari ke
  • Kadar bilirubin
1
1-2
£5 mg%
1+2
>3
5-9 mg%
1 sampai 4
>3
11-15 mg%
1 sampai 5
>3
>15-20 mg%
1 sampai 5
>3
>20 mg%
Bidan atau puskesmas Terus diberi ASI · Jemur di matahari pagi jam 7-9 selama 10 menit
  • Badan bayi telanjang, mata ditutup
  • Terus diberi ASI
  • Banyak minum
  • Rujuk ke RS
  • Banyak minum
Rumah sakit Sama dengan di atas Sama dengan di atas Terapi sinar Terapi sinar
  • Periksa golongan darah ibu dan bayi
  • Periksa kadar bilirubin
Nasihat bila semakin kuning, kembali Waspadai bila kadar bilirubin naik >0,5 mg/jam Tukar darah
(Saifuddin, 2001:385)
2.1.7.3 Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan (Hassan, 2005:1107-1108):
1. Pengawasan antenatal yang baik
2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfafurazole, novobiosin, oksitosin dan lain-lain
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus
4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus
5. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir
6. Pemberian makanan yang dini
Menyusui yang efektif memasok glukosa ke hati, mendorong kolonisasi usus dengan flora normal, dan meningkatkan motilitas usus yang akhirnya akan membantu produksi enzim yang diperlukan untuk konjugasi dan juga menurunkan reabsorbsi enterohepatik (Fraser, 2009:844).
Penata Laksanaan Medis
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum Albumin
4. Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.
1. Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a boun of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
TERAPI SINAR
§ Teori Terbaru à Terapi sinar
Isomerisasi Billirubin :
- mengubah senyawa 4Z, 15Z-billirubin à senyawa bentuk 4Z, 15E Billirubin (merupakan bentuk isomer) à mudah larut dalam plasma, mudah diekskresi oleh hati à empedu. Cairan empedi à usus à peristaltik usus meningkat à billirubin keluar.
§ Terapi sinar tidak efektif bila terjadi gangguan peristaltik, seperti : obstruklsi usus/bayi dengan enteritis.
§ Terapi sinar dilakukan pada bayi dengan kadar billirubin indirek > 10 mg/dl dan bayi denga proses hemolisis à ditandai dengan ikterus pada hari I.
§ Terapi sinar dilakukan sebelum dan sesudah transfusi tukar.
§ Terapi sinar terdiri dari 10 buah lampu neon, paralel. Dipasang dalam kotak yang berventilasi, energi cahaya yang optimal (350-470 nanometer), dengan jarak ± 50 cm. Dibagian bawah kotak lampu dipasang fleksiglas biru (untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran).
§ Saat penyinaran à usahakan bagian tubuh terpapar seluas-luasnya, posisi bayi diubah setiap 1 – 2 jam (menyeluruh).
§ Kedua mata dan gonad bayi ditutup dengan bahan yang dapat memantulkan cahaya.
§ Kadar billirubin dan Hb bayi dipantau secara berkala.
§ Dihentikan bila kadar billirubin < 10 mg/dl.
§ Lamanya penyinaran biasa/tidak > 100 jam.
§ Penghentian/peninjauan kembali dilakukan bila ditemukan efek samping :
Ø Enteritis.
Ø Hypertermi.
Ø Dehidrasi.
Ø Kelainan kulit (ruam).
Ø Gangguan minum.
Ø Letargi.
Ø Iritabilitas.
2. Transfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
2. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
3. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
4. Tes Coombs Positif
5. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
6. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
7. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
8. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
9. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
3. Menghilangkan Serum Bilirubin
4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin
Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.
TRANSFUSI TUKAR
TUJUAN
§ Menghindari terjadinya ensefalopati biliaris à billirubin indirek à sawar darah otak.
§ Mengganti eritrosit yang telah terhemolisis.
§ Membuang antibodi yang menimbulkan hemolisis.
DILAKUKAN BILA:
§ Kadar billirubin indirek > 20 mg/dl.
§ Kadar billirubin tali pusat > 4 mg/dl.
§ Kadar Hb < 10 g/dl.
§ Bila terjadi peningkatan billirubin yang cepat 1 mg/dl tiap jam.
§ Transfusi darah dipertimbangkan bila pada bayi menderita :
Ø Asfiksia.
Ø Sindrom gawat nafas.
Ø Asidosis metabolik.
Ø Kelainan SSP.
Ø BB < 1500 gram.
Billirubin mudah melalui sawar darah otak
§ Bila billirubin disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah Rh à menggunakan golongan darah O Rh (-).
§ Pada inkompatabilitas golongan darah ABO darah yang dipakai golongan darah “O” Rh (+).
§ Jika tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi à golongan darah sama dengan bayi.
§ Jika tidak memungkinkan golongan darah “O” yang kompatibel dengan serum ibu.
§ Jika tidak ada, golongan darah ‘O’ dengan titer A atau anti B < 1/256.
§ Jumlah darah yang dipakai antara 140 – 180 ml/kg BB.
§ Transfusi sebaknya melalui pembuluh darah umbilikus.
§ Alat-alat yang dipersiapkan:
o Kateter tali pusat.
o Larutan NaCl – Heparin (4000 U Heparin dalam 500 ml cairan NaCl) à untuk mencegah terjadinya infeksi dan timbulnya bekuan darah.
o Kran 3 cabang dan jarum.
PENATALAKSANAANNYA
§ Terlebih dahulu mengambil 10 – 20 ml darah bayi à dikirim ke Lab untuk pemeriksaan serologik, biakan, G6PD dan Billirubin.
§ Transfusi dilakukan dengan menyuntikkan darah secara perlahan sejumlah darah yang dikeluarkan.
§ Dilakukan bergantian à pengeluaran dan penyuntikkan sebanyak 10 – 20 ml setiap kali à untuk menghindari bekuan darah dan hypoxemia.
§ Setiap 100 ml transfusi dilakukan pembilasan dengan larutan Na.Cl heparin & pemberian 1 ml kalsium glukomat.
§ Transfusi tukar dapat dilakukan berulang jika bilirubin indirek pasca tranfusi > 20 mg / dl.
Perhatikan kemungkinan komplikasi transfusi tukar seperti :
§ Asidosis.
§ Bradikardi.
§ Aritmia.
§ Henti jantung.
Komplikasi pasca transfusi :
§ Hiperkalemia.
§ Hipernatremia.
§ Hipoglikemia.
3. Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi).
Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.


2.2 Konsep Asuhan Keperawatan pada Bayi dengan Ikterus Neonatorum

2.2.1 Pengkajian Data
1. Anamnese Orang Tua/Keluarga
Ibu dengan rhesus (-) atau golongan darah O dan anak yang mengalami neonatal ikterus yang dini, kemungkinan adanya erytrolastosisfetalis (Rh, ABO, incompatibilitas lain golongan darah). Ada saudara yang menderita penyakit hemolitik bawaan atau ikterus, kemungkinan suspec spherochytosis herediter kelainan enzim darah merah. Minum air susu ibu, ikterus kemungkinan karena pengaruh pregnanediol.
2. Riwayat Prenatal, Natal dan Post Natal
Riwayat Prenatal:
1) Komplikasi kehamilan (Infeksi seperti toxoplasmosis, sipilis, hepatitis, rubela, sitomegalovirus dan herpes yang mana ditransmisikan secara silang ke plasenta selama kehamilan)
2) Konsumsi obat-obatan seperti sulfonamid, nitrofurantoin dan anti malaria
Riwayat Natal:
1) Ketuban pecah dini, kesukaran kelahiran dengan manipulasi berlebihan merupakan predisposisi terjadinya infeksi
2) Pemberian obat anestesi, analgesik yang berlebihan akan mengakibatkan gangguan nafas (hypoksia) , acidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubn.
3) Bayi dengan apgar score rendah memungkinkan terjadinya (hypoksia) , acidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubn.
4) Kelahiran Prematur berhubungan juga dengan prematuritas organ tubuh (hepar).
Riwayat Post Natal:
1) Kelainan kongenital
2) Virus (Hepatitis)
3) Trauma dengan hematoma atau injuri
4) Oral feeding yang buruk
3. Pola-pola Fungsi Kesehatan
1) Nutrisi : frekuensi bayi diberikan ASI agak jarang karena bayi tidak mau menghisap.
2) Eliminasi alvi (buang air besar): BAB kurang lebih 3-4 kali sehari, konsistensi lembek, dan berwarna kuning agak pucat, bau khas (seperti dempul).
3) Eliminasi urin (buang air kecil): BAK kurang lebih 4-5 kali perhari, berwarna gelap, bau khas
4) Tidur dan istirahat: bayi lebih sering tertidur, dan sulit dibangunkan.
4. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum tampak lemah, pucat dan ikterus dan aktivitas menurun
2) Kepala leher
1. Bisa dijumpai ikterus pada mata (sclera) dan selaput/mukosa pada mulut. Dapat juga diidentifikasi ikterus dengan melakukan tekanan langsung pada daerah menonjol untuk bayi dengan kulit bersih (kuning)
2. Dapat juga dijumpai sianosis pada bayi yang hypoksia
3) Dada
1. Selain akan ditemukan tanda ikterus juga dapat ditemukan tanda peningkatan frekuensi nafas.
2. Status kardiologi menunjukkan adanya tachicardia, kususnya ikterus yang disebabkan oleh adanya infeksi
4) Perut
1. Peningkatan dan penurunan bising usus /peristaltic perlu dicermati. Hal ni berhubungan dengan indikasi penatalaksanaan photo terapi. Gangguan Peristaltik tidak diindikasikan photo terapi.
2. Perut membuncit, muntah, mencret merupakan akibat gangguan metabolisme bilirubun enterohepatik
3. Splenomegali dan hepatomegali dapat dihubungkan dengan sepsis bacterial, tixoplasmosis, rubella
5) Urogenital
1. Urine kuning dan pekat.
2. Adanya faeces yang pucat/acholis/seperti dempul atau kapur merupakan akibat dari gangguan/atresia saluran empedu
6) Ekstremitas
Menunjukkan tonus otot yang lemah
7) Kulit
1. Tanda dehidrasi ditunjukkan dengan turgor tang jelek. Elastisitas menurun.
2. Perdarahan bawah kulit ditunjukkan dengan ptechia, echimosis.
8) Pemeriksaan Neurologis
Adanya kejang, epistotonus, lethargy dan lain-lain menunjukkan adanya tanda-tanda kern ikterus
5. Pemer i ksaan Penunjang
1) Darah: DL, Bilirubin > 10 mg %
2) Biakan darah, CRP menunjukkan adanya infeksi
3) Sekrening enzim G6PD menunjukkan adanya penurunan
4) Screnning Ikterus melalui metode Kramer
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1) Resiko terjadi injuri berhubungan dengan efek phototerapi
2) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan jaundace
3) Perubahan temperatur tubuh berhubungan dengan phototerapi
4) Resiko kekurangan nutrisi berhubungan dengan kemampuan menghisap menurun
5) Kecemasan meningkat berhubungan dengan terapi yang diberikan pada bayi
2.2.3 Perencanaan
a. Resiko terjadi injuri berhubungan dengan efek phototerapi, imaturyti hati
Tujuan: Tidak mengalami komplikasi dari phototerapi
Kriteria hasil:
1. Tidak memperlihatkan iritasi mata, dehidrasi, ketidakstabilan temperatur, dan kerusakan kulit
2. Bayi terlindung dari sumber cahaya
Intervensi:
1) Lindungi mata bayi dengan penutup mata khusus
R/ menghindari kontak langsung mata dengan sinar
2) Cek mata bayi setiap shift (drainase dan iritasi)
R/ mencegah keterlambatan penanganan
3) Letakkan bayi telanjang dibawah lampu dengan perlindungan mata dan kemaluan
R/ Pencahayaan maksimum dan merata serta organ vital terlindungi dari kerusakan
4) Monitor temperatur aksila
R/ pemaparan panas dengan sinar memungkinkan terjadinya ketidakstabilan suhu badan
5) Pastikan intake cairan adekuat
R/ Pemaparan panas meningkatkan penguapan yang harus segera diganti dengan intake cairan
6) Jaga bersihan perianal
R/ Menekan resiko iritasi kulit
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek dari phototerapi.
Tujuan: Klien tidak menunjukan gangguan integritas kulit
Kriteria Hasil:
1. Monitor adanya kerusakan integritas kulit
R/ Deteksi dini kerusakjan integritas kulit
2. Bersihkan kulit bayi dari kotoran setelah BAB dan BAK
R/ Faeces dan urine yang bersifat asam dapat mengiritasi kulit.
3. Pertahankan suhu lingkungan netral dan suhu axial normal
R/ Suhu yang tinggi menyebabkan kulit kering sehingga kulit mudah pecah
4. Lakukan perubahan posisi setiap 6 jam
R/ Perubahab posisi mempertahankan sirkulasi yang adekuat dan mencegah penekanan yang berlebihan pada satu sisi.

c. Resiko perubahan suhu tubuh (peningkatan suhu badan) berhubungan dengan pemajanan panas yang lama sekunder foto terapi
Tujuan: Perubahan suhu dalam batas normal
Kriteria hasil:
Suhu badan dalam batas 36.5 0 C – 37.5 0 C
Intervensi:
1) Kontrol / obsevasi suhu badan setiap jam selama foto terapi berlangsung
R/ Perubahan suhu dapat terjadi dengan cepat akibat pemaparan sinar yang juga sebagi sumber panas.
2) Ubah posisi bayi setiap 2 jam
R/ Pemajanan yang merata dan bergantian mengurangi resiko tidak efektifnya pusat suhu badan
3) Hentikan/istirahatkan foto terapi bila suhu diatas 380 C.
R/ Semakin lama pemajanan semakin tinggi kemungkinan perubahan suhu banan
4) Kompres basah bila suhu meningkat
R/ Pemberian kompres mengurangi/sebagai media konduksi pembuangan panas
5) Kolaborasi dokter bila panas tidak/sulit turun/terlalu tinggi untuk mendapatkan antipiretik

d. Resiko kekurangan nutrisi berhubungan intake tidak adekuat, kemapuan menghisap turun
Tujuan: tidak terjadi gangguan pemenuhan nutrisi
Kriteria hasil:
1. Porsi minum habis
2. BB naik
3. Menghisap kuat
Intervensi:
1) Berikan nutrisi secara adekuat
R/ memperbaiki keadaan umum
2) Berikan minum tepat waktu dan sesuai ukuran dan kebutuhan
R/ mengganti cairan dan nutrisi yang hilang akibat terapi sinar
3) observasi kemampuan menghisap
R/ pemasukan nutrisi adekuat bila kemampuan mengisap baik
4) Pasang Sonde bila kemampuan mengisap turun
R/ meningkatkan intake melalui sonde karena gagal melalui mulut
5) Timbang BB setiap hari
R/ memantau perkembangan kebutuhan nutrisi
6) Kolaborasi ahli gizi
R/ pemberian nutrisi yang sesuai dan adekuat

e. Kecemasan meningkat berhubungan dengan terapi yang diberikan pada bayi
Tujuan: Orang tua mengerti tentang perawatan, dapat mengidentifikasi gejala-gejala untuk menyampaikan pada tim kesehatan.
Kriteria hasil :
Orang tua tidak cemas dengan terapi yang akan diberikan
Intervensi:
1) Kaji pengetahuan keluarga klien
R/ memudahkan dalam pemberian KIE
2) Beri pendidikan kesehatan penyebab, proses terapi, dan perawatan ikterus.
R/ menambah pengetahuan orang tua tentang tindakan yang akan dilakukan
3) Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi
R/ meningkatkan pengetahuan ibu dan keluarga


DAFTAR PUSTAKA

Hassan, Rusepno. 2005. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI
Fraser, Diane M. dan Cooper, Margaret A. 2009. Buku Ajar Bidan Myles. Edisi 14. Alih bahasa Sri Rahaya et al. Jakarta: EGC
Schwartz, M.William.2004. Pedoman Klinis Pediatri. Alih bahasa Brham U.Pendit et al. Jakarta: EGC
Saifudin, Abdulbari. 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Matenal dan Neonatal. Jakarta : YBP-SP
Damanik,S. 2008. Pedoman Diagnosis Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya : FKUA
Share:  

0 comments:

Post a Comment