Thursday 17 March 2016

Asuhan Kebidanan pada Akseptor KB Tubektomi (MOW)


BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Angka kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara sangat ditentukan dari jumlah penduduk yang ada dalam negara tersebut. Semakin banyak jumlah suatu penduduk, maka permasalahan-permasalahan yang dialami pun akan lebih konpleks, dan jika tidak diimbangi dengan kualitas Sumber Daya Manusia yang baik, maka akan sulit bagi negara tersebut untuk maju dan berkembang. Demikian pula yang terjadi di Indonesia, meski Indonesia memiliki wilayah yang luas dan Sumber Daya Alam yang melimpah, namun jika tidak ditunjang dengan SDM yang berkualitas, maka hal itu akan membuat Indonesia sulit berkembang, selain itu, persebaran penduduk yang tidak merata menyebabkan ketidak harmonisan kemajuan suatu wilayah (Sudibyo, 2011).
Berdasarkan sensus tahun 2010 diketahui bahwa pertumbuhan penduduk melebihi proyeksi nasional yaitu sebesar 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) 1,49 per tahun, dan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2011 telah bertambah menjadi 241 juta jiwa lebih (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2012)
Untuk itu diperlukan upaya dan langkah konkret guna menurunkan laju pertumbuhan penduduk dan meningkatkan kualitas penduduk melalui berbagai program baik dalam aspek kualitas maupun kuantitas. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan desain induk (grand design) pembangunan kependudukan dan revitalisasi program KB nasional untuk menjadi rancang bangunan tata kependudukan di Indonesia yang akan datang.
Upaya pemerintah untuk merevitalisasi dan menggalakkan program KB tersebut tentu membutuhkan dukungan dari semua pihak, termasuk tenaga kesehatan, khususnya bidan yang lingkup tugasnya meliputi kesejahteraan ibu dan anak. Bidan memiliki kewajiban untuk menggalakkan program KB dengan terus mensosialisasikan KB, termasuk menawarkan KB kepada ibu-ibu pasca persalinan guna menunda kehamilan agar sistem reproduksi wanita juga dapat kembali ke kondisi prahamil.
Tubektomi merupakan salah satu metode KB yang juga dikenal dengan istilah kontap (kontrasepsi mantap), disebut demikian karena metode ini sangat efektif dan efisien, bersifat permanen, tidak ada efek samping, dan hanya memerlukan tingkat pembedahan yang aman dan sederhana. Tindakan yang dilakukan dengan memotong atau menutup pada kedua tuba falloppii wanita yang mengakibatkan seseorang tersebut dapat dipastikan tidak dapat hamil atau tidak menyebabkan kehamilan lagi (Saifuddin, 2010).
Dengan demikian, metode tubektomi dianggap sebagai metode KB yang paling berhasil dalam mencegah kehamilan, sehingga senantiasa digalakkan terutama kepada wanita yang memilki indikasi medis dan kesediaan dalam melakukannya, sehingga penulis tertarik untuk mengambil judul tubektomi.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan kebidanan pada akseptor KB tubektomi dengan menggunakan pola pikir asuhan kebidanan Varney serta mendokumentasikan dalam SOAP.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan konsep dasar teori tentang konsep dasar tubektomi, kelainan jantung, dan asuhan kebidanan pada akseptor KB tubektomi
2. Melakukan pengkajian data subjektif dan objektif pada akseptor KB tubektomi
3. Menginterpretasikan diagnosa dan masalah
4. Mengantisipasi diagnosa potensial dan masalah potensial
5. Mengidentifikasi kebutuhan tindakan segera
6. Merencanakan asuhan kebidanan yang menyeluruh berdasarkan kebutuhan
7. Melaksanakan asuhan kebidanan sesuai dengan perencanaan.
8. Melakukan evaluasi terhadap keefektifan asuhan yang telah dilaksanakan.
9. Melakukan pendokumentasian asuhan kebidanan dengan SOAP

1.3 Pelaksanaan
Kegiatan praktik klinik profesi dilakukan di Poli KB RSAL Dr. Ramelan Surabaya pada tanggal 15 Meret 2014 sampai dengan 4 April 2014.
1.4 Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
Berisikan latar belakang, tujuan, pelaksanaan dan sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan Teori
Menjelaskan konsep dasar tubektomi serta konsep dasar asuhan kebidanan yang menjelaskan tujuan serta langkah-langkah proses pemberian asuhan pada akseptor KB tubektomi.
BAB III Tinjauan Kasus
Berisikan pengkajian data subyektif dan obyektif, menentukan diagnosa dan masalah aktual, perencanaan, penatalaksanaan dan evaluasi.
BAB IV Pembahasan
Membahas kasus yang ada dalam tinjauan kasus, dibandingkan dengan teori serta menejemen asuhan kebidanan pada akseptor KB tubektomi
BAB V Penutup
Berisikan simpulan dan saran dari laporan yang diambil serta telah dianalisis pada bab sebelumnya.
Daftar Pustaka

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Konsep Dasar Teori Tubektomi
2.1.1 Pengertian
Kontrasepsi mantap pada wanita adalah setiap tindakan pada kedua saluran telur yang mengakibatkan orang atau pasangan yang bersangkutan tidak akan mendapat keturunan lagi. Kontrasepsi ini untuk jangka panjang dan sering disebut tubektomi atau sterilisasi (Handayani, 2010).
Tubektomi adalah tindakan yang dilakukan pada kedua tuba falopii wanita yang mengakibatkan seseorang tersebut tidak dapat hamil atau tidak menyebabkan kehamilan lagi (Saifuddin, 2010)
Tubektomi adalah prosedur bedah sukarela untuk menghentikan fertilitas (kesuburan) seorang perempuan yang dilakukan dengan cara eksisi atau menghambat tuba fallopi yang membawa ovum dari ovarium ke uterus. Tindakan ini mencegah ovum dibuahi oleh sperma di tuba falopii (Everett, 2008).
2.1.2 Perkembangan Tubektomi di Indonesia
Dahulu tubektomi dilakukan dengan jalan laparotomi atau pembedahan vaginal. Sekarang, dengan alat-alat dan teknik baru, tindakan ini diselenggarakan secara lebih ringan dan tidak memerlukan perawatan di tumah sakit.
Dalam tahun-tahun terakhir ini tubektomi telah merupakan bagian yang penting dalam keluarga berencana di banyak negara di dunia. Di Indonesia sejak tahun 1974 telah berdiri perkumpulan yang sekarang bernama Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI), yang membina perkembangan metode dengan operasi (M.O) atau kontrasepsi mantap secara sukarela, tetapi secara resmi tubektomi tidak termasuk ke dalam program nasional keluarga berenana di Indonesia.
2.1.3 Efektifitas
1. Kurang dari 1 kehamilan per 100 (5 per 1000) perempuan pada tahun pertama.
2. Pada 10 tahun penggunaan terjadi sekitar 2 kehamilan per 100 perempuan (18-19 per 1000 perempuan).
3. Efektifitas kontraseptif terkait teknik tubektomi (penghambatan atau oklusi tuba) (Affandi, 2011).
2.1.4 Indikasi
Metode dengan operasi dewasa ini dijalankan atas dasar sukarela dalam rangka keluarga berencana. Kerugiannya ialah bahwa tindakan ini dapat dianggap tidak reversible, walaupun sekarang ada kemungkinan untuk membuka tuba kembali pada mereka yang akhirnya masih menginginkan anak lagi dengan operasi rekanalisasi. Oleh karena itu, penutupan tuba hanya dapat dikerjakan pada mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu (Sarwono, 2008).
Dalam buku panduan praktis pelayanan kontrasepsi (Sarwono, 2010) disebutkan bahwa yang dapat menjalani tubektomi meliputi:
1. Usia > 26 tahun
2. Paritas > 2
3. Yakin telah mempunyai keluarga besar yang dikehendaki
4. Kehamilannya akan menimbulkan risiko keshatan yang serius
5. Pasca persalinan
6. Pasca keguguran
7. Paham dan secara sukarela setuju dengan prosedur ini
2.1.5 Kontraindikasi
1. Hamil (sudah terdeteksi atau dicurigai)
2. Perdarahan pervaginam yang belum jelas penyebabnya.
3. Infeksi sistematik atau pelvik yang akut
4. Tidak boleh menjalani proses pembedahan.
5. Kurang pasti mengenai keinginan fertilitas di masa depan
6. Belum memberikan persetujuan tertulis (Handayani, 2011).
2.1.6 Waktu
Sehubungan dengan waktu melakukan dengan metode operasi, dapat dibedakan antara M.O post partum dan M.O dalam interval. Tubektomi post partum dilakukan satu hari setelah partus (Sarwono, 2008).
Dalam buku panduan praktis pelayanan kontrasepsi disebutkan bahwa waktu pelaksanaan tubektomi meliputi:
1. Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila diyakini secara rasional klien tersebut tidak hamil.
2. Hari ke-6 hingga ke-13 dari siklus menstruasi (fase proliferasi).
3. Pascapersalinan.
1) Minilap : di dalam waktu 2 hari atau setelah 6 minggu atau 12 minggu.
2) Laparoskopi : tidak tepat untuk klien-klien pasca persalinan.
4. Pasca keguguran.
1) Triwulan pertama : dalam waktu 7 hari sepanjang tidak ada bukti infeksi pelvik (minilap atau laparoskopi).
2) Triwulan kedua : dalam waktu 7 hari sepanjang tidak ada bukti infeksi pelvik (minilap saja).
2.1.7 Manfaat
1. Kontrasepsi
1) Motivasi kepada pasien hanya dilakukan satu kali saja, sehingga tidak diperlukan motivasi yang berulang-ulang.
2) Tidak mempengaruhi proses menyusui (breast feeding).
3) Tidak bergantung pada faktor sanggama.
4) Baik bagi klien apabila kehamilan akan menjadi risiko kesehatan yang serius.
5) Pembedahan sederhana, dapat dilakukan dengan anestesi lokal.
6) Tidak ada efek samping dalam jangka panjang.
7) Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek pada produksi hormon ovarium).
8) Tidak mempengaruhi libido seksualitas
9) Kegagalan dari pihak pasien (patient’s failure) tidak ada.
2. Non kontrasepsi
Berkurangnya risiko kanker ovarium (Handayani, 2010).
2.1.8 Keterbatasan
1. Harus dipertimbangkan sifat permanen metode kontrasepsi ini (tidak dapat dipulihkan kembali), kecuali dengan operasi rekanalisasi, maka sebelum tindakan perlu pertimbangan matang dari pasangan sehingga klien (akseptor) tidak menyesal di kemudian hari.
2. Klien dapat menyesal di kemudian hari
3. Resiko komplikasi kecil (meningkat apabila digunakan anestesi umum).
4. Rasa sakit atau ketidaknyamanan dalam jangka pendek setelah tindakan.
5. Dilakukan oleh dokter yang terlatih (dibutuhkan dokter spesialis ginekologi atau dokter spesalis bedah untuk proses laparoskopi).
6. Tidak melindungi diri dari IMS, termasuk HIV atau AIDS (Handayani, 2010).
2.1.9 Mekanisme kerja tubektomi
Dengan mengoklusi tuba falopii (mengikat atau memotong atau memasang cincin) sehingga sperma tidak dapat bertemu dengan ovum (Affandi, 2011).
1. Cara mencapai tuba
1) Laparoskopi
Prosedur ini memerlukan tenaga Spesialis Kebidanan dan Penyakit Kandungan yang telah dilatih secara khusus agar pelaksanaannya aman dan efektif. Teknik ini dapat dilakukan pada 6 - 8 minggu pasca persalinan atau setelah abortus (tanpa komplikasi). Laparoskopi sebaiknya dipergunakan pada jumlah klien yang cukup banyak karena peralatan laparoskopi dan biaya pemeliharaannya cukup mahal. Seperti halnya minilaparotomi, laparoskopi dapat digunakan dengan anestesi lokal dan diperlakukan sebagai klien rawat jalan setelah pelayanan. Laparoskopi juga cocok untuk klien yang kritis karena tidak banyak menimbulkan rasa tidak enak serta parut lukanya minimal. Peralatan ini juga dapat dipakai untuk diagnostik. Peralatan ini memerlukan perawatan yang cukup rumit dan sebaiknya ada tenaga ahli anestesi pada saat tindakan laparoskopi berlangsung.
Mula-mula dipasang cunam serviks pada bibir depan porsio uteri, dengan maksud supaya kelak dapat menggerakkan uterus jika hal itu diperlukan pada waktu laparoskopi. Setelah dilakukan persiapan seperlunya, dibuat sayatan kulit di bawah pusat sepanjang kurang lebih 1 cm. kemudian, ditempat luka tersebut dilakukan pungsi sampai rongga peritoneum dengan jarum khusus (jarum Veres), dan melalui jarum itu dibuat pneumoperitoneum dengan memasukkan CO2 sebanyak 1 sampai 3 liter dengan kecepatan kira-kira 1 liter per menit. Setelah pneumoperitoneum dirasa cukup, jarum Veres dikeluarkan dan sebagai gantinya dimasukkan troikar (dengan tabungnya). Sesudah itu, troika diangkat dan dimasukkan laparoskop melalui tabung. Untuk memudahkan penglihatan uterus dan adneks, penderita diletakkan dalam posisi trendelenburg dan uterus digerakkan melalui melalui cunam serviks pada porsio uteri. Kemudian, dengan cunam yang masuk dalam rongga peritoneum bersama-sama dengan laparoskop, tuba dijepit dan dilakukan penutupan tuba dengan kauterisasi, atau dengan memasang pada tuba cincin Yoon atau cincin Falope atau clip Hulka. Berhubung dengan kemungkinan komplikasi yang lebih besar pada kauterisasi, sekarang lebih banyak digunakan cara-cara yang lain.
2) Mini laparotomi
Metode ini merupakan penyederhanaan laparotomi terdahulu, hanya diperlukan sayatan kecil (sekitar 3 cm) baik pada daerah perut bawah (suprapubik) maupun subumbilikal (pada lingkar pusat bawah). Tindakan ini dapat dilakukan terhadap banyak klien, relatif murah, dan dapat dilakukan oleh dokter yang diberi latihan khusus. Operasi ini aman dan efektif.
Baik untuk masa interval maupun pasca persalinan, pengambilan tuba dilakukan melalui sayatan kecil. Setelah tuba didapat, kemudian dikeluarkan, diikat, dan dipo­tong sebagian. Setelah itu, dinding perut ditutup kembali, luka sayatan ditutup dengan kasa yang kering dan steril dan apabila tidak ditemukan masalah yang berarti, klien dapat dipulangkan setelah 2 - 4 jam.
Laparotomi mini dilakukan dalam masa interval. Sayatan dibuat di garis tengah di atas simfisis sepanjang 3 cm sampai menembus peritoneum. Untuk mencapai tuba dimasukkan alat khusus (elevator uterus) ke dalam kavum uteri. Dengan bantuan alat ini uterus bilamana dalam retrofleksi dijadikan letak antefleksi dahulu dan kemudian didorong kea rah lubang sayatan. Kemudian, dilakukan penutupan tuba dengan salah satu cara.
2. Cara penutupan tuba
1) Cara Pomeroy
Tuba dijepit kira-kira pada pertengahannya, kemudian diangkat sampai melipat. Dasar lipatan diikat dengan sehelai catgut no. 0 atau no. 1. Lipatan tuba kemudian dipotong diatas ikatan catgut tadi. Tujuan pemakaian catgut biasa ini ialah agar lekas diabsorbsi, sehingga kedua ujung tuba yang dipotong lekas menjauhkan diri, dengan demikian rekanalisasi tidak dimungkinkan.
2) Cara Kroener
Fimbria dijepit dengan sebuah klem. Bagian tuba proksimal dari jepitan diikat dengan sehelai benang sutera, atau dengan catgut yang tidak mudah diabsorbsi. Bagian tuba distal dari jepitan dipotong (frimbiektomi).
3) Cara Irving
Tuba dipotong pada pertengahan panjangnya setelah kedua ujung pemotongan diikat dengan catgut kromik no. 0 atau 00. Ujung potongan proksimal ditanamkan di dalam myometrium dinding depan uterus. Ujung potongan distal ditanamkan di dalam ligamentum latum.Dengan acara ini rekanalisasi spontan tidak mungkin terjadi.Cara tubektomi ini hanya dapat dilakukan pada laparotomy besar seperti seksio sesarea.
4) Pemasangan cincin Falope
Cincin Falope (Yoon ring) terbuat dari silicon, dewasa ini banyak digunakan. Dengan aplikator bagian ismus tuba ditarik dan cincin dipasang pada bagian tuba tersebut. Sesudah terpasang lipatan tuba tampak keputih-putihan oleh karena tidak mendapat suplai darah lagi dan akan menjadi Jibrotik. Cincin Falope dapat dipasang pada laparotomi mini, laparoskopi atau dengan laprokator.
5) Pemasangan Klip
Berbagai jenis klip telah dikembangkan untuk memperoleh kerusakan minimal agar dapat dilakukan rekanalisasi bila diperlukan kelak. Klip Filshie mempunyai keuntungan dapat digunakan pada tuba yang edema. Klip Hulka-Clemens digunakan dengan cara menjepit tuba. Oleh karena klip tidak memperpendek panjang tuba, maka rekanalisasi lebih mungkin dikerjakan.
6) Elektro-koagulasi dan pemutusan tuba
Cara ini dahlu banyak dikerjakan pada tubektomi laparoskopik. Dengan memasukan grasping forceps melalui laparoskop tuba dijepit kurang lebih 2 cm dari koruna diangkat menjahui uterus dan alat-alat panggul lainnya, kemudian dilakukan kauterisasi. Tuba terbakar kurang lebih 1 cm ke proksimal dan distal serata mesosalping terbakar sejauh 2 cm. Pada waktu kauterisasi tuba tampak menjadi putih, menggembung lalu putus. Cara ini sekarang banyak ditinggalkan (Saifuddin, 2010).
2.1.10 Pelaksanaan Pelayanan Tubektomi
(1) Persiapan Klien
1) Konseling
Konseling merupakan salah satu bagian penting dalam pelayanan kontap. Tujuannya ialah untuk membantu calon akseptor kontap memperoleh informasi lebih lanjut mengenai kontap, dan pengertian yang lebih baik mengenai dirinya, keinginannya, sikapnya, kekhawatirannya, dan sebagainya, dalam usahanya untuk memahami, dan mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya. Kegiatan konseling dengan demikian merupakan kegiatan penyelenggaraan suatu bentuk percakapan yang dilaksanakan berdasrkan persyaratan tertentu. Hal ini berarti setiap tenaga konselor perlu mengikuti pendidikan konseling yang diadakan khusus untuk keperluan kontap ini. Oleh karena pelayanan konseling merupakan bagian dari pelayanan kontap secara menyeluruh, maka pelayanan konseling kontap harus diprogramkan dengan baik. Hal ini berarti bahwa pelayanan konseling kontap tidak berhenti pada pratindakan kontap itu saja, tetapi dapat berlanjut pada saat tindakan itu sendiri dan sesudah tindakan kontap tersebut dilaksankan.
Secara khusus dapat dikatakan bahwa tujuan konseling pra tindakan kontap bertujuan untuk:
(1) Membantu suami istri untuk memilih salah satu cara kontrasepsi yang paling baik dan digunkan mereka dalam kurun reproduksinya.
(2) Mengenal dan menghilangkan keragu-raguan atau kesalah pahaman mengenai kontap itu sendiri.
(3) Menjamin bahwa pilihan untuk memilih kontap sebagai kontrasepsi bagi dirinya adalah benar-benar sukarela tanpa paksaan.
(4) Memberikan informasi mengenai tata cara pelaksanaan kontap itu sendiri, termasuk pengisian permohonan dan persetujuan untuk dilaksankan kontap pada dirinya, prosedur operasinya, dan follow upnya.
Selama tindakan, tujuan konseling ialah untuk:
(1) Meningkatkan keyakinan dan membantu menenangkan calon akseptor untuk mempermudah pelaksanaan kontap.
(2) Menenangkan pasangan dan anggota keluarga lain yang ikut mengantar atau menemani calon akseptor.
Sesudah tindakan, maka tujuan konseling ialah untuk:
(1) Mengenal dan menghilangkan kesalahpahaman yang dikaitkan dengan tindakan kontap yang diperolehnya.
(2) Membantu meningkatkan keyakinan dan penerimaan akseptor akan pelayanan kontap yang diperolehnya.
2) Syarat-Syarat
Syarat-syarat untuk menjadi akseptor kontap meliputi syarat sukarela, syarat bahagia, dan syarat medic.
Syarat sukarela meliputi :
a. Bahwa pada saat ini selain kontap masih ada kontrasepsi lainnya yang dapat digunakan untuk menjarangkan kehamilan, tetapi mereka tetap memilih kontap untuk menciptakan keluarga kecil.
b. Telah dijelaskan bahwa kontap merupakan tindakan bedah dan setiap tindakan bedah selalu ada risikonya, walaupun dalam hal ini kecil, tetapi mereka yakin akan kemampuan dokter yang melaksanakannya dan faktor risiko dianggap oleh mereka hanya faktor kebetulan saja.
c. Bahwa kontap adalah kontrasepsi permanen dan tidak dapat dipulihkan kembali, oleh karena itu mereka sulit untuk mempunyai keturunan lagi, tetapi mereka dengan sadar memang tidak ingin untuk menambah jumlah anak lagi untuk selamanya.
d. Bahwa mereka telah diberi kesempatan untuk mempertimbangkan maksud pilihan kontrasepsinya, tetapi tetap memilih kontap ini sebagai kontrasepsi bagi mereka.
Setelah keempat syarat sukarela tersebut dipenuhi belum berarti mereka dapat segera dilakukan kontap. Nilai ukur untuk dikatakan bahwa keluarga tersebut adalah keluarga bahagia pun harus dipenuhi pula. Nilai ukur ini dapat diketahui saat konseling dengan wawancara tertentu, antara lain diketahui bahwa suami istri ini terikat dalam perkawinan yang sah, harmonis, dan telah mempunyai sekurang-kurangnya 2 orang anak hidup, dengan umur anak terkecil 2 tahun dan umur istri sekurang-kurangnya 25 tahun. Ditetapkannya umur anak terkecil disebabkan angka kematian anak di Indonesia masih tinggi , dan ditetapkannya umur istri disebabkan pada beberapa daerah tertentu angka perceraian juga masih tinggi.
Setelah syarat bahagia ini dipenuhi, syarat medic kemudian dipertimbangkan, termasuk pemeriksaan fisik, ginekologik dan laboratorik.
(2) Persiapan Medik
1) Ruang Operasi
Ruang operasi harus tertutup dengan pintu yang dapat dikunci dan harus jauh dari daerah sibuk. Untuk itu diperlukan:
(1) penerangan yang cukup,
(2) lantai semen atau keramik yang mudah dibersihkan,
(3) bebas debu dan serangga, dan
(4) alat pengatur suhu ruangan (sedapat mungkin). Apabila sarana tersebut tidak tersedia, sebaiknya ruangan tersebut mempunyai ventilasi yang baik.
Tempat pelayanan harus mempunyai/ada air bersih yang mengalir, tempat cuci tangan dekat dengan ruang operasi dan ruangan ganti pakaian sehingga petugas ruangan bedah tidak melalui ruangan lain (yang sibuk) untuk mencapai ruang operasi.
Tersedia pula tempat atau kantong plastik yang dapat ditutup rapat dan bebas dari kebocoran untuk pembuangan limbah.
Jumlah mikroorganisme akan cenderung meningkat pada tempat/ruang operasi de­ngan bertambahnya jumlah petugas dan kegiatan yang dilakukannya di dalam ruang tersebut. Untuk mengurangi kejadian tersebut maka:
(1) Minimalkan jumlah petugas dan kegiatan setama operasi berlangsung.
(2) Kunci ruang bedah agar petugas yang tidak berkepentingan tidak keluar masuk ruangan dan suhu ruangan bedah tetap terjaga.
(3) Pisahkan peralatan yang tercemar dengan yang masih steril.
(4) Klien diatur agar tidak menyentuh instrumen steril yang tersedia atau tersimpan pada saat masuk dan keluar ruang bedah.
2) Persiapan Klien
Walaupun kulit sekitar vagina dan vagina tidak dapat disterilkan pencucian dengan larutan antiseptik pada daerah yang akan dilakukan sayatan (termasuk vagina dan serviks) sudah jauh mengurangi kandungan mikroorganisme sehingga risiko infeksi dapat dikurangi.
(1) Klien dianjurkan mandi sebelum mengunjungi tempat pelayanan. Bila tidak sempat, minta klien untuk membersihkan bagian abdomen/perut bawah, pubis dan vagina dengan sabun dan air.
(2) Bila menutupi daerah operasi, rambut pubis cukup digunting (bukan/tidak dicukur). Pencukuran hanya dilakukan apabila sangat menutupi daerah operasi dan waktu pencukuran adalah sesaat sebelum operasi dilaksanakan.
(3) Bila menggunakan elevator atau manipulator rahim, sebaiknya dilakukan pengusapan larutan antiseptik (misal Povidon lodin) pada serviks dan vagina (terutama klien masa interval).
(4) Setelah pengolesan Betadin/Povidon Iodin pada kulit, tunggu 1 - 2 menit agar jodium bebas yang dilepaskan dapat membunuh mikroorganisme dengan baik.
3) Kelengkapan untuk Klien dan Petugas Ruang Operasi
Karena ruang bedah dirancang bebas dari berbagai pencemaran, klien dan petugas ruang bedah harus dipersiapkan sebaik mungkin.
(1) Klien menggunakan pakaian operasi. Bila tidak tersedia, kain penutup yang bersih dapat dipergunakan untuk klien.
(2) Operator dan petugas kamar operasi harus dalam keadaan siap (mencuci tangan, berpakaian operasi, memakai sarung tangan, topi, dan masker) saat berada di ruang operasi.
(3) Masker harus menutupi mulut dan hidung, bila basah/lembab harus diganti.
(4) Topi harus menutupi rambut.
(5) Sepatu luar harus dilepas, ganti dengan sepatu atau sandal yang tertutup yang khusus dipergunakan untuk ruang operasi.
4) Pencegahan Infeksi
(1) Sebelum pembedahan
Operator dan petugas mencuci tangan dengan menggunakan larutan antiseptik, serta mengenakan pakaian operasi dan sarung tangan steril.
a. Gunakan larutan antiseptik untuk membersihkan vagina dan serviks.
b. Usapkan larutan antiseptik pada daerah operasi, mulai dari tengah kemudian me­luas ke daerah Mar dengan gerakan memutar hingga bagian tepi dinding perut. Untuk klien pasca persalinan bersihkan daerah pusat/umbilikus dengan baik. Tunggu 1-2 menit agar jodium bebas yang dilepaskan dapat membunuh mi­kroorganisme dengan baik.
(2) Selama pembedahan
a. Batasi jumlah kegiatan dan petugas di dalam ruang operasi.
b. Pergunakan instrumen, sarung tangan dan kain penutup yang steril/DTT.
c. Kerjakan dengan keterampilan dan teknik yang tinggi untuk menghindarkan trau­ma dan komplikasi (perdarahan).
d. Gunakan teknik "pass" yang aman untuk menghindari luka tusuk instrumen.
(3) Setelah pembedahan
a. Sementara menggunakan sarung tangan operator dan/atau petugas ruang operasi harus membuang limbah ke dalam wadah atau kantong yang tertutup rapat dan bebas dari kebocoran.
b. Lakukan tindakan dekontaminasi pada instrumen atau peralatan yang akan diper­gunakan sebelum dilakukan pencucian, dekontaminasi dengan larutan klorin 0,5%.
c. Lakukan dekontaminasi pada meja operasi, lampu, meja instrumen atau benda lain yang mungkin terkontaminasi/tercemar selama operasi dengan mengusapkan larutan klorin 0,5%.
d. Lakukan pencucian dan penatalaksanaan instrumen/peralatan seperti biasa.
e. Cuci tangan setelah melepas sarung tangan.
5) Premedikasi dan Anestesi
Pada umumnya pemberian premedikasi untuk tubektomi tidak dibutuhkan malahan sedapat mungkin dihindarkan. Bila klien tampak cemas, cari penyebab kecemasan tersebut, dan lakukan konseling tambahan agar klien menjadi tenang. Bila tak dapat ditemukan penyebabnya, berikan 5 - 10 mg Diazepam secara oral, 30 - 45 menit sebelum operasi dilakukan.
Tujuan Anestesi pada Tubektomi
(1) Menghindarkan nyeri dan rasa tidak nyaman.
(2) Mengurangi kecemasan dan ketegangan.
Bila teknik pemberian anestesi tepat, sudah memadai bagi operator untuk melakukan tindakan bedah, baik minilaparotomi maupun laparoskopi. Karena tubektomi diarahkan untuk rawat jalan anestesi yang dibutuhkan bergantung pada pengalaman operator, apakah cukup lokal atau perlu tambahan analgesia.
Anestesi lokal yang menggunakan Lidokain 1% dianggap lebih aman dibandingkan dengan anestesi umum atau konduksi (spinal/epidural) terutama bila dilaksanakan/diperlakukan sebagai klien rawat jalan. Penggunaan anestesi umum mungkin akan meningkatkan komplikasi respiratory depression (misalnya aspirasi atau henti jantung) akibat kesalahan pemberian bahan anestesi, teknik yang tidak tepat, pemantauan yang kurang baik, dan gagal melakukan intubasi. Juga fasilitas mungkin tidak lengkap untuk menangani komplikasi akibat anestesi umum.
Pada penggunaan anestesi lokal atau anestesi lokal yang dimodifikasi, dianjurkan:
(1) Agar pemberian anestesi sebaiknya dilakukan oleh operator atau asistennya.
(2) Klien dan penanganan efek samping perlu mendapat pemantauan.
(3) Dosis sebaiknya diberikan dalam unit/kg untuk menghindari pemberian yang berlebihan dan klien ditangani secara individual.
(4) Peralatan dan obat darurat harus tersedia.
Tabel 1. Obat untuk menghilangkan nyeri/rasa sakit
Obat
Regimen
Dosis Umum
Dosis Maksimum
Unit/kg
Kline 40-50 kg
Atropin
0,01 mg
0,4 mg
0,6 mg
Diazepam
Alternatif :
Midazolam (Versed®)
0,10
0,05 mg
5 mg
2,5 mg
10 mg
3 mg
Meperidin (Pethidin®)
Alternatif :
Ketamine (ketalar)
1 mg
0,5 mg
50 mg
25 mg
75 mg
-
Bila klien membutuhkan tambahan obat agar lebih nyaman : Meperidin
2,5 mg
-
Lidokain 1%
  • Analgesik
  • Analgesik lokal
Sampai 5 cc/tuba
Maks.300 mg/ 20cc
5 ml 1% Lidokain (Xylocaine®, lingo caine®) untuk setiap tuba 5 ml 0,5 Bupi vakain (Marcaine®) lidokain gel 2%.
Lidokain (Xylocaine®, Lignocaine®) 1% 20 cc (maksimal 300 mg), Bupivakain (Marcaine®) 0,5% 20 cc (maksimum 125 mg)





Semua pemberian intravena sebaiknya menggunakan set infus dan cairan seperti dekstrose, garam fisiologik atau ringer laktat. Obat sebaiknya diberikan perlahan-lahan (di atas 2 menit ). Hams diingat bahwa midazolam empat kali lebih kuat daripada diazepam.
Perhatikan kondisi berikut pada pemberian anestesi lokal.
(1) Semua petugas yang terlibat dalam kegiatan tubektomi harus mengetahui dan menguasai penggunaan obat-obat anestesi.
(2) Obat untuk keadaan darurat, demikian pula peralatan lainnya, harus sudah tersedia sebelum melakukan tindakan bedah dan petugas yang ada harus menge­tahui cara penggunaannya.
(3) Sebaiknya tersedia dokter spesialis anestesi atau perawat/penata anestesi ketika menggunakan anestesi umum.
6) Teknik Operasi
Tindakan yang dilakukan sebagai tindakan pendahuluan untuk mencapai tuba falloppii terdiri atas pembedahan transabdominal seperti laparotomi, minilaparotomi, laparoskopi, dan pembedahan transvaginal seperti kolpotomi posterior, kuldoskopi, serta pembedahan transservikal (trans-uterin), seperti penutupan lumen tuba histeroskopik.
Untuk menutup lumen dalam tuba, dapat dilakukan pemotongan tuba dengan berbagai macam tindakan operatif, seperti cara Pomeroy, cara Irving, cara Uchida, cara Kroener, cara Aldridge. Pada cara Madlener, tuba tidak dipotong. Disamping cara-cara tersebut, penutupan tuba dapat pula dilakukan dengan jalan kauterisasi tuba, penutupan tuba dengan clips, Falope ring, Yoon ring, dan lain-lain.
Pada umumnya, dikenal 2 tipe yang sering digunakan dalam pelayanan tubektomi yaitu minilaparotomi dan laparoskopi. Teknik ini menggunakan anestesi lokal dan bila di­lakukan secara benar, kedua teknik tersebut tidak banyak menimbulkan komplikasi.
7) Instrumen untuk Minilaparotomi dan Laparoskopi
Kit minilaparotomi juga dipergunakan untuk laparoskopi, sedangkan laparoskopi sendiri terdiri dari laparoskop, sistem pencahayaan, gas insuflasi, jarum khusus, dan trokar. Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk laparoskopi adalah:
(1) Persediaan suku cadang harus ada setiap saat.
(2) Terdapat tenaga khusus untuk perbaikan dan pemeliharaan.
(3) Larutan Cidex® atau formaldehid 8% untuk DTT atau sterilisasi.
(4) DTT memerlukan waktu 20 menit untuk membuat laparoskop menjadi layak pakai.
8) Peralatan Resusitasi dan Tindakan Darurat
Sedapat mungkin harus tersedia:
(1) Ambu bag.
(2) Tangki oksigen dengan pengatur aliran, selang oksigen dan masker oksigen.
(3) Mesin penghisap lendir dengan selang dan tabung penampung. Pipa udara untuk hidung (dua ukuran).
(4) Pipa udara untuk mulut (dua ukuran).
(5) Infus set dan cairan infus.
(6) Peralatan untuk tindakan bedah akut.
Semua peralatan di atas harus dalam keadaan slap pakai, masih berfungsi balk, dan dalam keadaan steril. Petugas harus mahir mempergunakannya serta meneliti kelengkapan peralatan tersebut sebelum tindakan berlangsung (laringoskopi dan pipa endotrakeal harus diaplikasikan oleh tenaga yang terlatih).
Bila memang perlu dilakukan anestesi umum, hal ini harus dilakukan oleh spesialis anestesiologi, gunakan pipa endotrakeal, tersedianya alat-alat anestesi, ventilator, dan perlengkapan untuk tindakan gawat darurat (termasuk obat-obatannya).
(3) Langkah-Langkah (Prosedur) Tubektomi
1) Minilaparotomi Interval
(1) Konseling Prabedah
a. Kenalkan diri Anda dan sapa klien dengan hangat.
b. Tanyakan kepada klien jumlah anak dan riwayat obstetrinya.
c. Telaah catatan medik untuk kemungkinan kontraindikasi.
d. Jelaskan tentang teknik operasi, anestesi lokal dan kemungkinan rasa sakit tidak enak selama operasi.
e. Jelaskan bahwa operasi akan berjalan singkat.
(2) Persiapan Prabedah
Langkah 1.
Memeriksa kelengkapan peralatan bedah dan obat anestesi.
Langkah 2.
Memasang tesnsimeter, periksa dan catat tensi, nasi, pernafasan setiap 15 menit.
Langkah 3.
Memasang wing needle
Langkah 4.
Jika klien memerlukan tambahan sedasi setelah mendapat Diazepan per oral, berikan Perhidin 1 mg/kgBB intrumuskuler dan tunggu 30- (Langkah 2, 3 dan 4 dilakukan oleh perawat).
(3) Asepsi dan Antisepsi
Langkah 1.
Memakai pakaian “kamar operasi”. Topi, dan masker.
Langkah 2.
Cuci dan sikat tangan dengan larutan antiseptik selama 3 menit.
Langkah 3.
Memakai sarung tangan steril atau Disinfeksi Tingkat Tinggi (DTT).
(4) Pemeriksaan Pelvik dan Fiksasi Uterus
Langkah 1.
Mengusap genitalia ekstrena dan perineum dengan kasa berantiseptik dan lakukan kateterisasi.
Langkah 2.
Melakukan pemeriksaan pelvik secara bimanual, nilai posisi dan besar uterus serta kelainan dalam plevik.
Langkah 3.
Memasang speculum dan nilai serviks dan vagina kemudian lakukan tindakan asepsis pada portio dan vagina.
Langkah 4.
Memasang tenakulum pada jam 12 dan lakukan sondase.
Langkah 5.
Memasang elevator uterus
Bila posisi uterus retrofleksi, harus dirubah menjadi antefleksi.
Langkah 6.
Mengikatkan gagang elevator pada gagang tenakulumuntuk mempertahankan posisi uterus.
Langkah 7. Melepas sarung tangan, memakai “ gaun operasi” dan sarung tangan steril.
(5) Persiapan Lapangan Operasi dan Penentuan Tempat Insisi
Langkah 1.
Menginstruksikan kepada perawat untuk: menyuntik Diazepam 0,1 mg/kg BB intra vena dan tunggu 3 menit kemudian suntikkan Ketalar 0,5 mg/kg BB intra vena dan tunggu 3 menit.
Langkah 2.
Menentukan tempat insisi pada dinding perut dengan jalan menggerak­kan elevator uterus ke bawah sehingga fundus uteri menyentuh dinding perut ± 2 - 3 cm di atas simfisis pubis.
Langkah 3.
Melakukan tindakan asepsis (betadin atau jodium alkohol) pada tempat insisi dengan gerakan melingkar dari tengah ke arah luar, tutup dengan kain steril berlubang di tengah.
(6) Membuka Dinding Abdomen
Langkah 1.
Menyuntikkan secara infiltrasi 3 - 4 cc anestesi lokal (lignokain 2%) di bawah kulit pada tempat insisi (aspirasi sebelumnya), tunggu 2 menit dan nilai efek anestesi dengan menjepit kulit pakai pinset sirurgis
Langkah 2.
Melakukan insisi melintang pada kulit dan jaringan subkutan sepanjang 3 cm pada tempat yang telah ditentukan (gunakan perut pisau/posisi pisau, horizontal).
Langkah 3.
Pisahkan jaringan subkutan secara tumpul (dengan retraktor) sampai terlihat fasia.
Langkah 4.
Menyuntikkan jarum ke fasia dan lakukan infiltrasi anestesi lokal 3 cc sambil menarik jarum.
Langkah 5.
Menjepit fasia (dengan kocher) pada 2 tempat dalam arah vertikal dengan jarak 2 cm, lakukan insisi dalam arah horizontal, perlebar ke kiri dan ke kanan.
Langkah 6.
Memisahkan jaringan otot secara tumpul pada garis tengah dengan jari telunjuk atau klem arteri sehingga tampak peritoneum dan lakukan infiltrasi anestesi lokal 3 cc sambil menarik jarum.
Langkah 7.
Menjepit peritoneum dengan 2 klem, transiluminasi untuk identifikasi. sisihkan omentum dan usus dari peritoneum dengan menggunakan sisi luar gunting (bagian tumpul).
Langkah 8.
Menggunting peritoneum arah vertikal 2 cm ke atas dan 1 cm ke bawah (sampai batas peritoneumvesika urinaria).
Langkah 9.
Masukkan 2 buah bak (retraktor) pada tempat insisi peritoneum dan regangkan untuk menampakkan uterus pada lapangan operasi.
Langkah 10.
Bila omentum atau usus menghalangi lapang pandang, gunakan kasa gulung, jepit ujung kasa dengan klem.
(7) Mencapai Tuba
Langkah 1.
Menggrakkan elevator uterus sampai fundus uteri tampak pada lapangan operasi (bila perlu ubah posisi klien ke posisi Trendelenberg).
Langkah 2.
Menempatkan salah satu komu uteri dan ligamen rotundum pada lapangan operasi dengan menggerakkan elevator dan identifikasi tuba.
Langkah 3.
Menjepit tuba dengan pinset atau klem Babcock dan tarik pelan-pelan keluar melalui lubang insisi sampai terlihat fimbria.
(8) Memotong Tuba (Cara Pomeroy)
Langkah 1.
Menjepit tuba pada 1/3 proksimal dengan klem Babcock, angkat sampai tuba melengkung, tentukan daerah mesosalping tanpa pembuluh darah.
Langkah 2.
Menusukkan jarum bulat dengan benang catgut nomor 0 pada jarak 2 cm dari puncak lengkungan dan ikat salah satu pangkal lengkungan tuba.
Langkah 3.
Mengikat kedua pangkal lengkungan tuba secara bersama-sama dengan menggunakan benang yang sama.
Langkah 4.
Memotong tuba tepat di atas ikatan benang.
Langkah 5.
Memeriksa perdarahan pada tunggul tuba dan periksa lumen tuba untuk meyakinkan tuba telah terpotong.
Langkah 6.
Memotong benang catgut 1 cm dari tuba dan masukkan kembali tuba ke dalam rongga abdomen.
Langkah 7.
Melakukan tindakan yang sama pada tuba sisi yang lain.
(9) Menutup Dinding Abdomen
Langkah 1.
Memeriksa rongga abdomen (kemungkinan perdarahan atau laserasi usus) dan keluarkan kasa gulung.
Langkah 2.
Menjahit fasia dengan jahitan simpul atau angka 8 memakai benang chromic catgut nomor 1.
Langkah 3.
Menjahit subkutis dengan jahitan simpul memakai benang plain catgut nomor 0.
Langkah 4.
Menjahit kulit dengan jahitan simpul memakai benang sutera nomor 0.
(10) Tindakan Pascabedah
Langkah 1.
Membersihkan luka insisi dan dinding abdomen sekitarnya dengan alkohol atau betadin, tutup luka dengan kain steril dan plester. Langkah 2.
Bersihkan luka insisi dan dinding abdomen sekitarnya dengan alkohol atau betadin, tutup luka dengan kain steril dan plester. Langkah 3.
Lepaskan tenakulum dan elevator uterus.
Langkah 4.
Memeriksa tekanan darah, nadi dan pernapasan.
Langkah 5.
Tanyakan pada klien tentang keluhan subjektif.
Langkah 6.
Memindahkan klien dari meja operasi ke ruang pulih untuk pengamatan selama 1 jam.
Langkah 7.
Mengintruksi kepada perawat untuk memeriksa dan mengamati tensi, nadi, pernapasan dan perdarahan melalui luka operasi dan vagina.
(11) Dekontaminasi
Langkah 1.
Membersihkan sarung tangan dalam larutan Klorin 0,5% lepaskan dan biarkan terendam dalam larutan tersebut selama 10 menit.
Langkah 2.
Melepaskan gaun operasi, topi serta masker dan taruh pada tempat yang tersedia.
Langkah 3.
Mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun.
Langkah 4.
Memeriksa seluruh peralatan operasi yang telah dipakai, rendam dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit.
Langkah 5.
Memeriksa tabung dan jarum suntik yang telah dipakai direndam dalam larutan klorin 0,5% di tempat terpisah dari peralatan.
Langkah 6.
Memeriksa kasa, sisa benang dan lain-lain yang telah terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh telah dimasukkan dalam plastik tertutup untuk dibuang.
(12) Konseling Dan Instruksi Pascabedah
a. Menanyakan pada klien bila masih ada hal-hal yang ingin diketahuinya tentang tubektomi.
b. Menjelaskan pada klien untuk menjaga agar daerah luka operasi tetap kering.
c. Menjelaskan pada klien untuk tidak bersanggama selama 1 minggu.
d. Menjelaskan pada klien bahwa bila ada keluhan (rasa sakit atau terjadi perdarahan dari luka operasi atau kemaluan) segera kembali ke klinik untuk mendapat per­tolongan.
e. Memberitahu klien bila tidak ada keluhan, periksa ulang 1 minggu lagi.
f. Memberitahukan dipulangkan bila keadaan stabil setelah 4 - 6 jam.
2) Minilaparotomi Pascapersalinan
(1) Konseling Prabedah
a. Mengenalkan diri anda dan sapa klien dengan hangat.
b. Menanyakan klien tentang jumlah anak dan riwayat obstetrinya.
c. Mentelaah catatan medik untuk kemungkinan kontraindikasi.
d. Menjelaskan tentang teknik operasi, anestesi lokal dan kemungkinan rasa sakit/tidak enak selama operasi.
e. Menjelaskan bahwa operasi akan berjalan singkat.
(2) Persiapan Prabedah
a. Memeriksa kelengkapan peralatan bedah dan obat anestesi.
b. Menginstruksikan kepada perawat untuk:
a) Memasang tensimeter, memeriksa dan mencatat tensi, nadi, pernapasan setiap 15 menit.
b) Memasang wing needle.
c) Jika klien memerlukan tambahan sedasi setelah mendapat Diazepam per oral, berikan Pethidin 1 mg/kg BB intramuskuler dan tunggu 35-45 menit.
(3) Asepsis dan Antisepsis
Langkah 1.
Memakai pakaian "kamar operasi", topi dan masker.
Langkah 2.
Mencuci dan sikat tangan dengan larutan antiseptik selama 3 menit.
Langkah 3.
Memakai sarung tangan steril atau disinfeksi tingkat tinggi (DTT).
(4) Membuka Dinding Abdomen
Langkah 1.
Melakukan tindakan asepsis pada lapangan operasi yakni sekitar pusat dengan betadin atau jodium alkohol kemudian tutup dengan kain steril berlubang di tengah.
Langkah 2.
Menyuntikkan secara infiltrasi 3 - 4 cc anestesi lokal (lignokain 1%) pada tempat insisi, lapis demi lapis sampai fasia, tunggu 2 menit dan nilai efek anestesi dengan menjepit kulit pakai pinset chirurgis.
Langkah 3.
Melakukan insisi melintang pada kulit dan jaringan subkutan sepanjang 2 - 3 cm tepat di bawah pusar.
Langkah 4.
Insisi lapis demi lapis sampai hampir menembus peritoneum kemudian peritoneum dijepit dengan 2 klem, transiluminasi untuk iden­tifikasi dan digunting selebar jari sehingga bisa dimasuki jari telunjuk dan sebuah tampon tang.
Bila fundus uteri di bawah pusar, insisi membujur setinggi 2 jari di bawah fundus uteri sepanjang 2 - 3 cm sampai mencapai fasia. Setelah fasia diinsisi kemudian muskulus rektus andominis dikuakkan dengan jari teltinjuk atau klem arteri sehingga tampak peritoneum. Jepit peritoneum dengan 2 buah klem, transiluminasi untuk identifikasi dan gunting peritoneum secara membujur.
(5) Mencapai Tuba
Langkah 5.
Memasukkan retraktor ke dalam rongga abdomen, tarik retraktor ke arah tuba yang akan dicapai.
Langkah 6.
Menjepit tuba dengan pinset atau klem Babcock dan tarik pelan-pelan keluar melalui lubang insisi sampai terlihat fimbria.
Langkah 7.
Bila tuba tertutup omentum atau usus, sisihkan dengan memakai kasa bulat yang dijepit klem arteri dan posisi klien Trendelenberg.
(6) Okulasi Tuba (Cara Pomeroy)
Langkah 8.
Menjepit tuba pada 1/3 proksimal dengan klem Babcock, angkat sampai tuba melengkung, tentukan daerah mesosalping tanpa pembuluh darah.
Langkah 9.
Menusukkan jarum bulat dengan benang catgut nomor 0 pada jarak 2 cm dari puncak lengkungan dan ikat salah satu pangkal lengkungan tuba
Langkah 10.
Mengikat kedua pangkal lengkungan tuba secara bersama-sama dengan menggunakan benang yang sama.
Langkah 11.
Memotong tuba tepat di atas ikatan benang.
Langkah 12.
Memeriksa perdarahan pada tunggul tuba dan periksa lumen tuba untuk menyakinkan tuba telah terpotong.
Langkah 13.
Memotong benang catgur 1 cm dari tuba dan memasukkan kembali tuba ke dalam rongga perut.
Langkah 14.
Melakukan tindakan yang sama pada tuba sisi yang lain.
(7) Menutup Dinding Abdomen
Langkah 15.
Memeriksa rongga abdomen (kemungkinan perdarahan atau laserasi usus).
Langkah 16.
Menjahit facia dengan jahitan simpul atau angka 8 memakai benang kromik catgut nomor 1.
Langkah 17.
Menjahit subkutis dengan jahitan simpul memakai benang plain catgut nomor 0.
Langkah 18.
Menjahit kulit dengan jahitan simpul memakai benang sutera nomor 0
(8) Tindakan Pascabedah
Langkah 19 .
Membersihkan luka insisi dan dinding perut sekitarnya dengan alkohol atau betadin, tutup luka dengan kain steril dan plester.
Langkah 20.
Memeriksa tekanan darah, nadi dan pernapasan dan tanyakan pada klien tentang keluhan subjektif.
Langkah 21.
Memindahkan klien dari meja operasi ke ruang pulih untuk pengamatan selama 1 jam.
Langkah 22.
Menginstruksikan kepada perawat memeriksa dan mengamati tensi, nadi, pernapasan dan perdarahan melalui luka operasi.
(9) Dekontaminasi
Langkah 23.
Membersihkan sarung tangan dalam larutan klorin 0,5% lepaskan biarkan terendam dalam larutan tersebut selama 10 menit. Melepaskan gaun operasi, topi serta masker dan taruh yang tersedia.
Langkah 24.
Mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun. Periksa seluruh peralatan operasi yang telah dalam larutan klorin 0,5 % selama 10 menit.
Langkah 27.
Memeriksa tabung dan jarum suntik yang telah dipakai, direndam larutan klorin 0,5% di tempat terpisah dari peralatan.
Langkah 28.
Memeriksa kasa, sisa benang dan lain-lain yang telah terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh telah dimasukkan dalam plastik ter­tutup untuk dibuang.
(10) Konseling dan Intruksi Pascabedah
a. Menanyakan pada klien bila masih ada hal-hal yang ingin diketahuinya tentang tubektomi.
b. Menjelaskan pada klien untuk menjaga agar daerah luka operasi tetapi kering.
c. Meyakinkan pada klien bahwa bila ada keluhan segera kembali ke klinik untuk mendapat pertolongan.
d. Memberi tahu klien bila tidak ada keluhan, periksa ulang 1 minggu lagi.
3) Prosedur Tubektomi Laparoskopi
Langkah 1.
Menginstruksikan teknisi untuk menempatkan klien dalam posisi kepala ke bawah (Trendelenberg) dengan sudut 60°.
Langkah 2.
Dengan hati-hati, ambil bagian pinggir umbilikal inferior dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan anda yang tidak dominan dan angkat dinding abdomen menjauhi usus.
Langkah 3.
Dengan menggunakan ujung mata pisau bedah (skalpel), buat sayatan kecil, sekitar 1,5 cm, pada kulit di sepanjang pinggiran mar­gin inferior.
Langkah 4.
Mengambil batang jarum verres dan insersikan melalui sayatan tersebut pada sudut 45° menuju pelvis. Dua bagian merupakan bagian lepas yang berbeda akan terasa pada saat fasia terpenetrasi dan peri­tonium dengan gas CO2 dialirkan.\
Langkah 5.
Menghubungkan selang insuflator pada stop cock jarum verres. Minta teknisi untuk menyambungkan ujung yang lain ke unit insuflator.
Langkah 6.
Memeriksa apakah abdomen telah dimasuki dengan benar dengan menggunakan alat ukur tekanan pada unit insuflator untuk me­meriksa tekanan negatif intraabdomen (cara lain, tempatkan setetes obat anestesi pada bukaan Luer-Lok jarum verres dan perhatikan perembesannya ketika dinding abdomen diangkat secara manual).
Langkah 7.
Menggunakan tombol aliran tinggi dari unit insuflator untuk memasuk­kan gas CO2 pada kecepatan 1 liter per menit.
Langkah 8.
Mulailah insuflasi pada abdomen.
Langkah 9.
Mengetuk-ngetuk abdomen bagian bawah dan dengarkan apakah terdapat suara seperti drum yang mengindikasikan terbentuknya pneumo­peritoneum dengan sempurna.
Langkah 10.
Melepas jarum verres setelah memasukkan 1,5-2,0 liter CO2 atau setelah abdomen bagian bawah mencapai ukuran seperti hamil 20 minggu.
Langkah 11.
Meminta perawat untuk mengisi cincin fallopii (falope ring).
(1) Akses Abdomen
Langkah 1.
Memeriksa katup terompet (trumpet valve) dan seal karet dari lengan trokar untuk memastikan bahwa alat tersebut hampa udara.
Langkah 2.
Memperluas sayatan awal hingga mencapai 'char sekitar 2 cm.
Langkah 3 .
Merakit unit trokar dengan memasukkan trokar ke dalam longan trokar.
Langkah 4.
Mengambil Minding andomen anterior yang langsung berada di bawah umbilicus dan akngkat.
Langkah 5.
Menahan trocar yang telah dirakit pada tangan yang dominan, pastikan bahwa thenar eminence berada di ujung atas trokar.
Langkah 6.
Memiringkan pegangan trokar menuju kepala dengan sudut 60-70° dengan mengarahkan ujung trokar ke sebuah titik khayalan di tern- pat kantung douglas berada. Aplikasikan gaya ke bawah dan me­melintir untuk membalik fasia dan peritoneum. Hentikan setelah peritoneum terasa lepas.
Langkah 7.
Menarik trokar sedikit dan majukan lengan trokar 1-2 cm ke dalam rongga abdomen. Lepas trokar tanpa melepas lengan trokar.
Langkah 8.
Menghubungkan selang insuflator ke stop cock trokar dan buka. Masukkan udara sesuai dengan kebutuhan.
Langkah 9.
Menghubungkan kabel cahaya fiber optic ke laprokator dan minta teknisi untuk menyalakan sumber cahaya.
Langkah 10.
Tahan mekanisme katup terompet (trumpet) trokar di antara jari tengah dan thenar eminence dari tangan yang tidak dominan dengan posisi telapak tangan menghadap ke bawah.
Langkah 11.
Tahan bagian hand grip laprokator dengan menggunakan ibu jari, jari tengah dan jari manis dari tangan yang dominan. Biarkan jari telunjuk bebas.
Langkah 12.
Masukkan ujung laprokator ke dalam lengan trokar. Buka katup terompet dan masukkan laprokator perlahan-lahan secara dilihat langsung. Lakukan manuver unit laprokator-trokar menuju rongga pelvis.
Langkah 13.
Periksa dan identifikasi struktur rongga pelvis. Angkat uterus dengan menekan handel kanula rubin ke bawah. Putar handel dengan gerakan "lock and key" untuk membuka tuba dan ovarium.
(2) Oklusi Tuba
Langkah 1.
Memastikan lokasi dan lakukan konfirmasi saluran tuba fallopii dengan melacak saluran tuba dari kornu sampai ujung fimbria.
Langkah 2.
Membuka ujung-ujung forsep secara penuh dengan menekan trigger operating slide (pemicu/pelatuk) menjauhi hand grip.
Langkah 3.
Tempatkan ujung posterior di bawah aspek inferior tuba sekitar 3 cm dari kornu. Perlahan-lahan tank ujung forsep dengan menarik trigger operating slide (pemicu/pela­tuk) menuju hand grip. Gerakkan laprokator ke depan selama penarikan ujung forsep untuk mengurangi risiko laserasi atau cedera pada tuba. Lanjutkan penarikan sampai tegangan pegas terasa.
Langkah 4.
Dengan menggunakan telunjuk, periksa bahwa adaptor cincin (ring) berada dalam posisi #1 tanpa melepas pandangan dari teropong la­prokator. Berikan tekanan tambahan operating slide untuk menga­tasi tegangan pegas dan untuk melepas cincin fallopii (falope ring). Perlahan-lahan, dorong operating slide untuk membuka ujung-ujung forsep dan lepas saluran tuba fallopii yang tclah (Intim') it.-sebut.
Langkah 5.
Memeriksa apakah penymbatan 2 cm di atas cincin fallopii/Falope Ring dan periksa apakah terdapat perdarahan aktif atau tidak. Tarik ujung-ujung forsep seluruhnya sebelum pemeriksaan dilakukan.
Langkah 6.
Menentukan lokasi dan konfirmasi keadaan saluran tuba berikutnya. Manipulasi kanula rubin jika diperlukan:
Langkah 7.
Menempatkan dua adaptor cincin (ring adaptor) di posisi #2. Ulangi langkah 2-5 untuk menyumbat saluran tuba.
Langkah 8.
Memeriksa rongga pelvis untuk melihat adanya perdarahan dan cedera organ lain.
Langkah 9.
Melepas laprokator dari rongga perut dan matikan sumber cahaya eksternal. Biarkan katup terompet (trumpet valve) trokar terbuka untuk mengempiskan abdomen. Lepas trokar, goyangkan sesuai dengan kebutuhan untuk membantu omentum jatuh. Kembalikan posisi meja operasi dari posisi Trendelenberg ke posisi horisontal
Langkah 10.
Menutup sayatan dengan jahitan tunggal, sederhana dengan menggu­nakan catgut kromik. Beri antiseptik dan balut luka tersebut.
(3) Hal-hal yang harus Dilakukan Pascabedah
Langkah 1.
Meminta perawat untuk melepas kanula rubin dan vulsellum, jika telah digunakan, dan tempatkan dalam larutan klorin 0,5% untuk dekon­taminasi.
Langkah 2.
Memastikan bahwa klien dipindahkan dengan aman ke ruang pascabedah (pemulihan).
Langkah 3 .
Memastikan bahwa jarum ditangani dengan seharusnya. Jika jarum akan digunakan kembali, pastikan bahwa perawat mengisi spuit (dengan jarum masih terpasang) dengan larutan klorin 0,5% dan rendam spuit dan jarum tersebut selama 10 menit. Jika jarum dan spuit akan dibuang, pastikan bahwa perawat telah membilasnya dengan larutan klorin tiga kali dan menyimpannya di wadah yang tahan bocor atau tusukan jarum. Cara lain adalah dengan membuang jarum dan spuit dalam wadah yang tidak dapat tertusuk oleh jarum. Tempatkan se­mua instrumen dalam larutan klorin 0,5% untuk dekontaminasi dan rendam selama 10 menit.
Langkah 4.
Jika mata pisau skalpel akan dibuang maka ambil skalpel dari larutan klorin. Kemudian, lepas mata pisau dengan menggunakan forsep dan simpan dalam wadah yang tidak dapat ditembus benda tajam. Buang bahan-bahan limbah dengan cara menempatkannya dalam wadah tahan bocor atau kantung plastik.
Langkah 5.
Merendam sebentar sarung tangan yang masih melekat pada tangan dalam larutan klorin 0,5%. Lepas sarung tangan dalam keadaan ter- batik. Jika sarung tangan akan dibuang, tempatkan dalam wadah tahan bocor atau kantung plastik. Jika sarung tangan akan digu­nakan kembali, rendam dalam klorin selama 10 menit.
Langkah 6.
Mencuci tangan dengan seksama menggunakan sabun dan air lalu keringkan dengan handuk kering dan bersih atau biarkan kering oleh udara.
Langkah 7.
Memastikan bahwa klien dimonitor pada interval yang teratur dan tanda-tanda vital diukur.
Langkah 8.
Menentukan kapan klien siap untuk pulang (setidaknya 1-2 jam setelah pemberian obat-obatan IV).
2.1.11 Perawatan Pascabedah dan Pengamatan Lanjut
Setiap 15 menit dilakukan pemeriksaan tekanan darah dan nadi. Bila telah diperbolehkan minum, sebaiknya klien diberi cairan yang mengandung gula (fanta atau coca cola, sari buah atau gula-gula) untuk membantu meningkatkan kadar glukosa darah: Lakukan roinberg sign (klien disuruh berdiri dengan mata tertutup), bila penderita tampak stabil, suruh mengenakan pakaian dan tentukan pemulihan ke­sadaran. Apabila semua berjalan baik, klien dapat dipulangkan.
1. Pesan Kepada Klien Sebelum Pulang
1) Istirahat dan jaga tempat sayatan operasi agar tidak basah minimal selama 2 hari. Lakukan pekerjaan secara bertahap (sesuai dengan perkembangan pemu­lihan). Umumnya klien akan merasa baik setelah 7 hari.
2) Dianjurkan untuk tidak melakukan aktivitas seksual selama 1 minggu dan apabila setelah itu masih merasa kurang nyaman, tunda kegiatan tersebut.
3) Jangan mengangkat benda yang berat atau menekan daerah operasi sekurang­kurangnya selama 1 minggu.
4) Bila terdapat gejala-gejala tersebut di bawah ini, segera memeriksakan diri ke klinik:
(1) Panas/demam di atas 38°C.
(2) Pusing dan rasa terputar/bergoyang.
(3) Nyeri perut menetap atau meningkat.
(4) Keluar cairan atau darah dari/melalui luka sayatan.
5) Untuk mengurangi nyeri, pergunakan analgesik (ibuprofen) setiap 4 - 6 jam. Jangan pergunakan aspirin karena dapat meningkatkan perdarahan.
6) Segera kunjungi klinik bila klien merasakan tanda-tanda kehamilan. Hamil setelah tubektomi, sangat jarang, tetapi bila terjadi, hal ini merupakan hal yang serius karena kemungkinan besar kehamilan tersebut terjadi pada tuba. Lebih baik dibuatkan catatan untuk klien atau pasangannya tentang hal-hal apa yang harus diperhatikannya setelah tubektomi.
Kontrol ulang dilakukan setelah seminggu pascatubektomi dan kontrol lanjutan dilakukan seminggu kemudian. Pemeriksaan meliputi daerah operasi, tanda-tanda komplikasi atau hal-hal lain yang dikeluhkan oleh klien. Bila digunakan benang sutra, pada saat kontrol pertama benang tersebut dicabut.
2. Nasihat Kepada Klien
1) Jagalah luka operasi tetap kering hingga pembalut dilepaskan. Mulai lagi aktivitas normal secara bertahap (sebaiknya dapat kembali ke aktivitas normal di dalam waktu 7 hari setelah pembedahan).
2) Hindari hubungan intim hingga merasa cukup nyaman. Setelah mulai kembali melakukan hubungan intim, hentikanlah bila ada perasaan kurang nyaman.
3) Hindari mengangkat benda-benda berat dan bekerja keras selama 1 minggu.
4) Kalau sakit, minumlah 1 atau 2 tablet uperfici (atau penghilang rasa sakit) setiap 4 hingga 6 jam.
5) Jadwalkanlah sebuah kunjungan pemeriksaan secara rutin antara 7 dan 14 hari setelah pembedahan. (Petugas akan uperf tahu tempat layanan ini akan diberi­kan).
6) Kembalilah setiap waktu apabila Anda menghendaki perhatian tertentu, atau tanda-tanda dan uperfi-simptom yang tidak biasa.
2.1.12 Penanganan atas Komplikasi
Tabel 2.2 Penanganan atas Komplikasi yang Mungkin Terjadi
Komplikasi
Penanganan
Infeksi luka. Apabila terlihat infeksi luka, obati dengan superficia Bila terdapat abses, lakukan drainase dan obati seperti yang terindikasi.
Demam pasca operasi (> 38 °C). Obati infeksi berdasarkan apa yang ditemukan.
Luka pada kandung kemih, intestinal (jarang terjadi). Mengacu ke tingkat asuhan yang tepat. Apabila kandung kemih atau usus luka dan diketahui sewaktu operasi, lakukan reparasi primer. Apabila ditemukan pasca operasi, dirujuk ke rumah sakit yang tepat bila perlu.
Hematoma (subkutan). Gunakan packs yang hangat dan lembab di tempat tersebut. Amati; hal ini biasanya akan berhenti dengan berjalannya waktu tetapi dapat membutuhkan drainase bila ekstensif.
Laparoskopi (sangat jarang terjadi). Ajukan ke tingkat asuhan yang tepat dan mulailah resusitasi intensif, termasuk:
cairan intravena, resusitasi kardio uperfici, dan tindakan penunjang kehidupan lainnya.
Rasa sakit pada lokasi pembedahan. Pastikan adanya infeksi atau abses dan obati berdasarkan apa yang ditemukan.
Perdarahan superficial (tepi-tepi kulit yang atau subkutan) Mengontrol perdarahan dan obati berdasarkan apa yang ditemukan.

2.2 Konsep Dasar Asuhan Kebidanan
2.2.1 Pengkajian data
1. Data subyektif
1) Identitas
Nama :
Umur : 25-40 tahun
Agama : Untuk mengetahui kemungkinan pengaruh agama terhadap kebiasaan atau pemilihan alat kontrasepsi.
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat :
2) Alasan Kunjungan
Untuk tubektomi atau kontrol jahitan tubektomi
3) Keluhan
Keluhan yang dirasakan klien karena pemakaian kontrasepsi
4) Riwayat Menstruasi
Untuk mengetahui perubahan pola haid yang mungkin terjadi. Dikaji tentang mens terakhir, lama, banyaknya, siklus, sifat darah.
5) Riwayat Obstetri Lalu
KB tubektomi boleh digunakan oleh klien yang berumur antara 25-30 tahun dengan 3 anak atau lebih, antara 30-35 tahun dengan 2 anak atau lebih, atau antara 35-40 tahun dengan 1 anak atau lebih, kehamilan akan menimbulkan resiko kesehatan yang serius, pasca persalinan, atau pasca keguguran..
6) Riwayat KB
Perlu ditanyakan pada ibu apakah ibu pernah mengikuti KB, jenis kontrasepsi, berapa lama, alasan pemberhentian kontrasepsi (bila memakai lagi).
7) Riwayat Kesehatan
(1) Riwayat penyakit ibu
Meliputi penyakit yang pernah dialami dan pengobatan yang pernah dilakukan. Hal ini penting diketahui untuk melihat kemungkinan adanya penyakit yang menyertai dan yang dapat mempengaruhi program KB. Anggraini (2011) menyebutkan indikasi medis kontrasepsi tubektomi adalah penyakit yang berat kronik seperti jantung, ginjal, paru-paru, dan penyakit kronik lainnya.
(2) Riwayat penyakit keluarga
Hal ini juga ditanyakan seperti TBC, hepatitis, hipertensi karena merupakan penyakit keturunan dan berpengaruh terhadap akseptor.
8) Riwayat psikososial
Handayani (2010) menyebutkan salah satu syarat peserta tubektomi adalah syarat bahagia yang meliputi terikat dalam perkawinan yang sah dan harmonis, memiliki sekurang-kurangnya dua anak yang hidup dan sehat baik fisik maupun mental, dan umur istri sekitar 25 tahun.
2. Data obyektif
1) Pemeriksaan Umum
Keadaan umum dan kesadaran
Tanda vital
· TD : normal110/70-130/80 mmHg
  • N : normal 76-100 x/menit
  • RR : 16-24 x/menit
  • Suhu : normal 36,5-37,5 °C
2) Pemeriksaan fisik
Mata : konjungtiva pucat pada anemia, sklera ikterik pada penderita hepatitis
Leher : penonjolan vena jugularis pada penderita penyakit jantung, dan pembesaran kelenjar limfe pada TBC.
Dada : masa pada payudara karena tumor/kanker payudara.
Abdomen : pembesaran abdomen karena kehamilan
2.2.2 Intepretasi data
PAPAH calon akseptor tubektomi
2.2.3 Diagnosa potensial
Infeksi luka, demam, luka pada kandung kencing, hematoma, subkutan, emboli gas, perdarahan superficial
2.2.4 Identifikasi kebutuhan segera
Tidak ada
2.2.5 Planning
1. Jelaskan pada klien hasil pemeriksaan
R/ agar klien mengetahui kondisinya
2. Jelaskan pada klien tentang metode kontrasepsi, kelebihan-keterbatasan serta efek samping.
R/ klien dapat mengetahui macam-macam metode kontrasepsi, kelebihan-keterbatasan serta efek samping
3. Lakukan informed choice
R/ klien dapat memilih dan menentukan kontrasepsi yang sesuai dengan yang diinginkan setelah diberikan penjelasan tentang berbagai metode kontrasepsi
4. Adakan informed consent
R/ klien mengetahui tindakan yang akan dilakukan sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara petugas dan klien
5. Lakukan persiapan operasi tubektomi (persiapan alat dan bahan, persiapan klien).
R/ persiapan yang baik dan benar mempermudah petugas dalam melakukan tindakan.
6. Dampingi dokter dalam operasi tubektomi, kolaborasi dengan anestesi
R/ tindakan operasi hanya dilakukan oleh tenaga spesialis kebidanan dan penyakit kandungan.
7. Rapikan peralatan, mendekontaminasi peralatan ke dalam larutan klorin, membuang alat atau bahan habis pakai ke sampah medis
R/ agar ruangan rapi, bersih dan tidak menghalangi kegiatan petugas, dekontaminasi peralatan untuk membunuh kuman yang menempel pada peralatan.
8. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi
R/ Klien memerlukan terapi setelah operasi
9. Berikan informasi post operatif
R/ agar klien mengerti, memahami dan dapat melakukan perawatan luka di rumah sehingga tidak terjadi infeksi atau masalah
10. Jelaskan tentang waktu klien harus kontrol atau berkunjung ke klinik bila terdapat keluhan
R/ klien mendapat pelayanan atau tindakan pengobatan segera terhadap keluhan yang dialami.
2.2.6 Pelaksanaan
Melaksanakan asuhan kebidanan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya
2.2.7 Evaluasi
Mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan, sejauh mana tujuan dapat dicapai. Jika ada tujuan yang belum tercapai, maka dilakukan pengkajian kembali, diberikan asuhan dan dilakukan evaluasi kembali.

DAFTAR PUSTAKA
Affandi. 2011. Buku panduan praktis pelayanan kontrasepsi. Jakarta: YBPSP.
Anggraini. 2011. Pengetahuan dan sikap ibu terhadap penerimaan medis operatif wanita sebagai pilihan kontrasepsi di desa bangun rejo kecamatan tanjung morawa, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, pp. 8-14.
Everett, S.p 2008. Buku saku kontrasepsi seksual reproduktif, edisi 2. Jakarta: EGC.
Handayani, S. 2010. Pelayanan keluarga berencana, Yogyakarta: Pustaka Rihana.
Pinem, S. 2010. Kesehatan reproduksi dan kontrasepsi. Jakarta: Trans Info Media.
Saifuddin, Abdul Bari. 2010. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta: YBPSP.
_________________. 2010. Ilmu kebidanan. Jakarta: YBPSP.
Share:  

0 comments:

Post a Comment