Saturday 12 March 2016

,

Asuhan Keperawatan pada Bayi dengah Hirschprung

BAB 1

PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan hal yang harus dimiliki dan dipelihara dengan baik oleh setiap orang terutama oleh anak- anak. Kesehatan anak harus benar- benar diperhatikan karena akan menunjang terhadap perkembangan anak selanjutnya dimasa yang akan datang, memperhatikan kesehatan anak sejak dini akan menunjang terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak baik dari segi fisik maupun dari segi psikis.
Penyakit Hirschsprung merupakan gangguan perkembangan sistem saraf enterik dan ditandai dengan tidak ditemukannya sel ganglion pada colon bagian distal sehingga terjadi obstruksi fungsional. Penyakit hirsprung adalah penyakit obstruksi usus fungsional akibat aganglionik meissner dan aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari spingter ani internus kearah proksimal, 70- 80 % terbatas di daerah rectosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitar 5 % dapat mengenai seluruh usus sampai pylorus ( Arif Mansjoer, 2000).
Penyakit hirsprung pertama kali dijelaskan oleh Ruysch pada tahun 1691 dan dipopulerkan oleh Hirschsprung pada tahun 1886, patofisiologinya belum diketahui hingga pertengahan abad ke 20, ketika Whitehouse dan Kernohan mendapatkan aganglionosis pada usus bagian distal sebagai penyebab obstruksi dalam laporan kasus pasien mereka. Pada tahun 1949, Swenson menjelaskan penatalaksanaan definitif Hirschsprung yaitu dengan rectosigmoidectomy dengan anastomosis colonal. Setelah itu diketahui jenis teknik operasi lainnya, termasuk teknik Duhamel dan Soave. Pada masa kini, adanya kemajuan pada teknik operasi, termasuk prosedur minimal invasif, dan diagnosis dini telah mengurangi mortalitas dan morbiditas pasien dengan penyakit Hirschsprung.
Menurut data di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung persentase penyakit hirsprung merupakan peringkat terbanyak ke dua dari lima besar penyakit kongenital yang ada di rumah sakit tersebut ). Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis membuat laporan komprehensif yang akan membahas tentang konsep dasar hirschprung dan asuhan keperawatan yang berikan.


1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa memahami teori tentang hirschprung dan memberikan asuhan keperawatan pada bayi dengan hirschprung.
1.2.2 Tujuan Khusus
Diharapkan mahasiswa mampu melaksanakan asuhan keperawatan dengan langkah-langkah berikut :
1. Melakukan pengkajian data bayi dengan hirschprung.
2. Membuat analisis data pada bayi dengan hirschprung.
3. Merumuskan diagnosa keperawatan bayi dengan hirschprung.
4. Menyusun rencana asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa bayi dengan hirschprung.
5. Melaksanakan asuhan keperawatan berdasarkan rencana asuhan.
6. Membuat evaluasi hasil dari penatalaksanaan tindakan.


BAB 2TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Pengertian Hirschprung
Hirschprung atau disebut megakolon congenital menurut Corwin (2009) disebabkan ketiadaan ganglion autonom congenital yang mempersarafi pleksus mienterik di taut anorektum dan seluruh atau sebagian rectum dan kolon.
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan (Betz, Cecily & Sowden : 2000). Ada beberapa pengertian mengenai Mega Colon, namun pada intinya sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi.
Hirschprung adalah suatu kelainan yang terjadi karena tidak ada sel ganglion parasimpatis pada usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus (Ngastiyah, 1997).

2.2 Epidemiologi
Penyakit Hirschsprung terjadi pada 1 dari setiap 5.000 bayi yang lahir dan ini berhubungan pada 1 sampai dengan 4 dari obstruksi usus pada bayi baru lahir. Referensi lain mengatakan bahwa penyakit ini terjadi pada 1 dari 1500 hingga 7000 bayi baru lahir. Ini 5 kali lebih sering pada laki-laki dan kadang-kadang terjadi dengan kondisi kongenital lainnya seperti Down Syndrome. Di Amerika Serikat penyakit ini terjadi kurang lebih pada 1 kasus setiap 5400 hingga 7200 bayi baru lahir.
Sumber lain mengatakan bahwa penyakit hirschsprung atau megakolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir lebih kurang 3 kg, lebih banyak pada anak laki – laki dari pada anak perempuan ( Arief Mansjoer dkk, 2000). Megacolon congenital terjadi pada 1 dari 5000 kelahiran, dengan perbandingan antara laki-laki dan permpuan 4:1 ( Wyllie, 2004b, cit James & Ashley, 2007).

2.3 Klasifikasi
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan menjadi 2 tipe yaitu :
1. Hirschprung segmen pendek
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid. Hal ini merupakan 70% dari kasus Hirschprung dan lebih ditemukan pada anak laki-laki daripada anak perempuan.
2. Hirschprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak lelaki maupun perempuan. Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan kelainan bawaan tunggal. Jarang sekali ia terjadi pada bayi prematur atau bersamaan dengan kalainan bawaan yang lain.

2.4 Etiologi
Penyebab hirschsprung atau mega colon diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus. Namun etiologi sebenarnya tidak diketahui. Penyakit Hirschsprung dapat muncul pada usia berapapun, walaupun paling sering terjadi pada neonatus.

2.5 Patofisiologi
Penyakit Hirschprung timbul karena adanya aganglioner congenital pada saluran pencernaan bagian bawah. Aganglioner diawali dari anus, yang merupakan bagian yang selalu terlibat, dan berlanjut ke arah proximal (Auerbach) dan submukosal (Meissner) yang tidak terbentuk mengakibatkan berkurangnya fungsi dan kemampuan usus untuk melakukan gerakan peristaltic. Hingga saat ini, mekanisme pasti tentang perkembangan penyakit Hirschprung masih belum diketahui.
Embriologi sel-sel ganglion enteric berasal dari neural crest, yang apabila berkembang normal, akan ditemukan neuroblast di usus pada minggu ke-7 kehamilan dan mencapai usus besar pada minggu ke 12 kehamilan. Salah satu etiologi penyakit Hirschprung ini adalah adanya gangguan migrasi dari neuroblast yang menuju ke distal usus. Adapun etiologi lain mengatakan bahwa migrasi tersebut berjalan normal, namun ada kegagalan dari neuroblast untuk bertahan, berproliferasi atau berdifferensiasi di bagian distal aganglionik segmen. Distribusi abnormal menyebabkan usus dan komponen-komponennya membutuhkan pertumbuhan dan perkembangan secara neuronal, seperti fibronectin, laminin, neural cell adhesion molecule (NCAM), dan faktor-faktor neurotropik.
Tiga pleksus neural yang menginervasi usus : pleksus submucosal (Meissner), pleksus intermuscular (Auerbach) dan pleksus mucosal yang lebih kecil. Ketiga pleksus ini tergabung dan berpengaruh pada segala aspek dari fungsi bowel, termasuk absorpsi, sekresi, motilitas dan aliran darah.
Gerakan usus yang normal, secara primer dikendalikan oleh neuron intrinsic. Fungsi bowel tetap adekuat, meskipun innervasi ekstrinsik hilang. Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dengan dominasi relaksasi. Pengendalian ekstrinsik utamanya melalui serat-serat kolinergik dan adrenergic. Serat kolinergik menimbulkan kontraksi, dan serat adregenik menimbulkan inhibisi,.
Pada pasien penyakit Hirschprung, sel-sel ganglion tidak terbentuk, sehingga terjadi peningkatan innervasi usus ekstrinsik. Kedua innervasi, baik kolinergik maupun adrenergic berjalan 2-3 kali normal. Sistem adrenergic (excitator) diduga lebih mendominasi daripada system kolinergik (inhibitor) sehingga terjadi peningkatan kerja otot polos. Dengan hilangnya nerves inhibitory enteric intrinsic, kerja otot polos yang meningkat tidak tertanggulangi dan menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltic yang tidak terkoordinasi dan obstruksi.

2.6 Gambaran klinis
Sebagian besar ditemukan pada bayi yang cukup bulan dan merupakan kelainan bawaan tunggal. Jarang sekali terjadi pada bayi premature atau bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Tanda dan gejala hirschprung meliputi :
1. Konstipasi (tanda utama)
2. Obstruksi total saat lahir
3. Mekonium yang keluar lambat (lebih dari 24 jam setelah lahir)
4. Perut kembung
5. Muntah berwarna hijau
6. Malabsorbsi
Gambar 2.2 Penyakit Hirschprung dan Foto pasien penderita Hirschsprung berusia 3 hari. (tampak distensi abdomen)
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus, sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi (Fonkalsrud, 1997 ; Kartono, 1993 ; Swenson, 1990 dalam Jannah dkk, 2011).


2.7 Pemeriksaan diagnostik
Pada pemeriksaan foto polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus melebar atau terdapat gambaran obstruksi usus rendah. Pemeriksaan dengan barium enema sangat penting. Dengan pemeriksaan ini akan ditemukan :
1. Daerah transisi
2. Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian yang menyempit
3. Enterokolitis pada segmen yang melebar
4. Terdapat retensi barium setelah 24-48 jam
Untuk menentukan tindakan pertolongan diperlukan pemeriksaan sebagai berikut :
1. Biopsi isap, yaitu mengambil mukosa dan submukosa dengan alat pengisap dan mencari sel ganglion pada daerah submukosa.
2. Biopsi otot rectum, yaitu pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan di bawah narkose. Pemeriksaan ini bersifat traumatic.
3. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dari biopsy isap. Pada penyakit ini khas terdapat peningkatan aktivitas enzim asetilkolin enterase.
4. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus
Gambar 2.3 Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung. Tampak rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar

2.8 Diagnosis banding
Keterlambatan evakuasi mekonium terjadi pula pada sindrom sumbatan mekonium, neonatal small left colon syndrome, hipotiroid, insufisiensi adrenal, ileus paralitik akibat sepsis.

2.9 Komplikasi
Enterokolitis nekrotikans sehingga terjadi distensi abdomen hebat dalam beberapa jam dan muntah hebat serta diare yang berbau busuk yang dapat berdarah, pneumatosis usus, abses perikolon, perforasi, dan septicemia.
Komplikasi hirschprung menurut Betz cecily & sowden (2002), antara lain :
1. Obstruksi usus
2. Konstipasi
3. Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
4. Entrokolitis
5. Struktur anal dan inkontinensial (post operasi)
6. Inkontinensia (jangka panjang)
7. Kebocoran anastomosis (pascabedah)

2.10 Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pada neonatus dilakukan terapi konservatif melalui pemasangan sonde lambung serta pipa rectal untuk mengeluarkan mekonium dan udara.
Pada perawatan konservatif perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain :
1) Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara dini
2) Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak
3) Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis (pembedahan)
4) Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang.
2. Medis
Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal. Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :
1) Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan ukuran normalnya.
Untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat penyumbatan usus, segera dilakukan kolostomi sementara. Kolostomi adalah pembuatan lubang pada dinding perut yang disambungkan dengan ujung usus besar. Pengangkatan bagian usus yang terkena dan penyambungan kembali usus besar biasanya dilakukan pada saat anak berusia 6 bulan atau lebih. Tindakan dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya kematian pada penderita hirschprung. Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitive dan mengecilkan caliber usus pada penderita hirschprung yang telah besar sehingga dilakukan anastomose. Jika terjadi perforasi (perlubangan usus) atau enterokolitis, diberikan antibiotik.

2) Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat anak mencapai sekitar 9 Kg (20 pounds) atau sekitar 3 bulan setelah operasi pertama. 
Ada beberapa prosedur pembedahan (bedah definitive) yang dilakukan seperti Swenson, Duhamel, Boley & Soave. Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang paling sering dilakukan terdiri dari penarikan usus besar yang normal bagian akhir dimana mukosa aganglionik telah diubah. Tindakan bedah definitive yaitu:

(1) Prosedur Swenson
Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi Hirschprung dengan metode “pull-through”. Teknik ini diperkenalkan pertama kali oleh Swenson dan Bill pada tahun 1948. Segmen yang aganglionik direseksi dan punting rectum ditinggalkan 2-4 cm dari garis mukokutan kemudian dilakukan anastomosis langsung di luar rongga perineal. Pada prosedur ini enterokolitis masih dapat terjadi sebagai akibat spasme punting rectum yang ditinggalkan. Untuk mengatasi hal ini Swenson melakukan sfingterektomi parsial posterior. Prosedur ini disebut prosedur Swenson I.
Pada tahun 1964 Swenson memperkenalkan prosedur Swenson II dimana setelah dilakukan pemotongan segmen kolon yang aganglionik, punting rectum ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian posterior kemudian langsung dilakukan sfingterektomi parsial langsung. Ternyata prosedur ini sama sekali tidak mengurangi spasme sfingter ani dan tidak mengurangi komplikasi enterokolitis pasca bedah dan bahkan pada prosedur Swenson II kebocoran anastomosis lebih tinggi disbanding dengan prosedur Swenson I. Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan biopsy eksisi otot rectum, diseksi rectum ke bawah hingga dasar pelvic dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rectum, kemudian bagian distal rectum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rectum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5 – 1 cm pada bagian posterior, selanjutnya dilakukan anastomose end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvic / abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi dan kavum abdomen ditutup.
(2) Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan diseksi pelvic pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rectum yang aganglionik, meyatukan dinding posterior rectum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anstomose end to side. Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam punting rectum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh karena itu, dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya :
a. Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensia.
b. Modifikasi Talbert dan Ravitch : Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan anastomose side to side yang panjang.
c. Modifikasi Ikeda : Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian.
d. Modifikasi Adang : Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7 -14 pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem ; kedua klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititikberatkan pada fungsi hemostasis.
(3) Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through
Prosedur ini sebenarnya pertama kali diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah infinitive Hirschprung. Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rectum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk ke dalam lumen rectum yang telah dikupas tersebut.
(4) Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan anstomose end to end antara usus aganglionik dengan rectum pada level otot levator ani (2-3 cm di atas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ektraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis.


2.11 Konsep Dasar Keperawatan pada Bayi dengan Hirschprung

1. Pengkajian data
Data Subjektif
1) Identitas
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan (Ngastiyah, 1997).
2) Riwayat Keperawatan.
(1) Keluhan utama.
Konstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang sering ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir), perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare apabila telah terjadi enterokolitis.
(2) Riwayat penyakit sekarang.
Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi sering mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat terjadi.
(3) Riwayat penyakit dahulu.
Tidak ada penyakit terdahulu yang memengaruhi terjadinya penyakit hirschsprung. Pada kelainan bawaan riwayat prenatal ibu sebagian besar memengaruhi seperti kontak dengan obat-obatan tertentu dan alkohol.
(4) Riwayat kesehatan keluarga.
Adanya kelainan bawaan yang sama atau kelainan bawaan yang lain pada garis keturunan sebelumnya.
(5) Riwayat keperawatan sebelumnya
a. Pranatal
Saat hamil mengkonsumsi obat-obatan, alkohol dan tterpapar sinar X
b. Intranatal
Bayi tidak mengeluarkan meconium ataupun ketuban mekonial
c. Postnatal
tidak BAB setelah 1x24 jam,.
(6) Nutrisi
Bayi sering muntah, cairan yang masuk & keluar harus dipantau dan dibatasi.
Data Objektif
1) Pemeriksaan fisik.
KU : lemah
TTV : suhu : 36,5-37,5 oC , HR : 120-140x/menit , RR : 40-60x/menit
BB/PB : sesuai dengan usia kehamilan
(1) Kepala : tidak ada kelainan
(2) Mata : tidak ada kelainan
(3) Hidung : ada pernafasan cuping hidung karena sesak
(4) Mulut : bibir kering karena kurangnya cairan yang masuk akibat puasa
(5) Telinga : tidak ada kelainan
(6) Leher : tidak ada kelainan
(7) Dada : sesak nafas dan distress pernafasan.
(8) Perut : distensi abdomen, kembung akibat adanya konstipasi
(9) Genetalia : tidak ada kelainan
(10) Anus : anus (+), paten, tidak ada atresia ani, colok anus terasa jepitan dan keluar meconium dan udara yang menyemprot.
(11) Ekstrimitas : gerakan lemah, akral hangat karena hipertermi
(12) Punggung : tidak ada kelainan
(13) Kulit : klinis tampak kuning karena kurang cairan masuk
(14) Reflek : menghisap ada (+) tetapi lemah
2) Pemeriksaan diagnostik dan hasil.
(1) Foto polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus melebar atau terdapat gambaran obstruksi usus rendah.
(2) Pemeriksaan dengan barium enema ditemukan daerah transisi, gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian menyempit, enterokolitis pada segmen yang melebar dan terdapat retensi barium setelah 24-48 jam.
(3) Biopsi isap, mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa.
(4) Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum.
(5) Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dimana terdapat peningkatan aktivitas enzim asetilkolin eseterase.


Masalah pemenuhan kebutuhan dasar (pohon masalah)
2. Diagnosa keperawatan
1) Konstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak adanya daya dorong.
2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual dan muntah
3) Kekurangan cairan tubuh berhubungan dengan muntah dan diare.
4) Hipertermi berhubungan dengan dehidrasi
5) Resiko infeksi berhubungan dengan konstipasi
6) Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan rencana pembedahan

3. Perencanaan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Perencanaan Keperawatan
Tujuan dan Kriteria hasil
Intervensi
Konstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak adanya daya dorong. Tujuan :
Pasien bisa BAB dengan beberapa adaptasi dalam waktu 1x24 jam
Kriteria hasil :
- Dapat defekasi dengan lavement/ wash out atau kolostomi
- Tidak distensi abdomen
1. Observasi vital sign setiap 4 jam sekali
R/ deteksi dini komplikasi
2. Kaji warna, konsistensi, jumlah dan waktu buang air besar
R/ pengkajian dasar untuk mengetahui masalah bowel
3. Konsultasi untuk dilakukan pengeluaran manual jika fecal impaction
R/ membantu mengeluarkan feses
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual dan muntah Tujuan :
Kebutuhan nutrisi terpenuhi selama 2x24 jam
Kriteria hasil :
- Terjadi peningkatan berat badan (15-30gr/hr)
- Minum sesuai program dokter
- Tidak lemah
- Hb : 11-13 gr/dl
- Alb : 3,4-5 gr/dL
- Klinis tidak tampak anemis
1. Observai VS dan BU 4jam sekali
R/ deteksi dini komplikasi
2. Berikan nutrisi parenteral sesuai kebutuhan.
R/ memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan
3. Pantau pemasukan makanan selama perawatan
R/ mengetahui keseimbangan nutrisi sesuai kebutuhan
4. Pantau intake dan timbang berat badan setiap hari
R/ observasi kebutuhan nutrisi
5. Monitor hasil lab (elektrolit, albumin, hemoglobin)
R/ monitor status nutrisi
Kekurangan cairan tubuh berhubungan dengan muntah dan diare. Tujuan :
Kebutuhan cairan tubuh terpenuhi dalam waktu 1x24 jam
Kriteria hasil :
- Terjadi peningkatan berat badan (15-30gr/hr)
- Urine 1-2cc/Kg/jam
- Mata tidak cowong
- Turgor kulit normal
- Ubun-ubun datar
1. Observasi VS, BU, dan tanda-tanda dehidrasi 4jam sekali
R/ deteksi dini komplikasi
2. Kaji warna, konsistensi, jumlah dan waktu buang air besar
R/ pengkajian dasar untuk mengetahui masalah bowel
3. Monitor cairan yang masuk dan keluar.
R/ mengkaji status dehidrasi
4. Berikan caiaran sesuai kebutuhan dan yang diprogramkan
R/ Mencegah terjadinya dehidrasi
Hipertermi berhubungan dengan dehidrasi Tujuan :
Suhu tubuh dalam keadaan normal dalam waktu 3 jam
Kriteria hasil :
Suhu tubuh normal 36,5-37,5.
1. Observasi VS tiap 1 jam sekali
R/ mengetahui suhu bayi
2. Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahkan linen sesuai indikasi berikan kompres hangat, hindari penggunaan alcohol dan tambahkan lampu penghangat.
R/ deteksi dini agar dilakukan intervensi selanjutnya
Resiko infeksi berhubungan dengan konstipasi Tujuan :
Mengenali secara dini bayi yang mempunyai risiko menderita infeksi dalam waktu 1x24 jam
Kriteria hasil :
- Tidak ada tanda infeksi (panas, merah, bengkak, nanah dan perubahan fungsi tubuh)
- CRP : < 0,8 mg/dL
- Leukosit : 4,5-23x103/uL
- Kultur darah steril
1. Observasi vital sign 4 jam sekali
R/ deteksi dini komplikasi
2. Lakukan pemeriksaan lab, Catat dan pantau setiap hasil laboratorium
R/ mengidentifikasi adanya infeksi
3. Monitor pemberian antibiotic dan kaji efek sampingnya
R/ mencegah komplikasi
4. Lakukan teknik steril
R/ mencegah terjadinya infeksi
Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan rencana pembedahan Tujuan :
Setelah dilakukan KIE kecemasan orangtua berkurang selama 3 jam
Kriteria hasil :
- Orangtua tidak tampak cemas
- Paham prognosis penyakit
- Paham tindakan yang akan dilakukan
1. Berikan pengetahuan tentang rencana tindakan pembedahan kepada orangtua
R/ menambah pengetahuan
2. Evaluasi tingkat kecemasan orangtua
R/identifikasi kecemasan
3. Berikan saran istirahat cukup agar tidak stress
R/ meningkatkan koping

DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-3. Jakarta : EGC.
Carpenito , Lynda juall. 1997 . Buku saku Diagnosa Keperawatan.Edisi ke -6. Jakarta : EGC
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa : Brahm U Pendit. Jakarta : EGC.
Jannah dkk, 2011. Karakteristik Penderita dan Penatalaksanaan Megakolon Kongenital di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo tahun 2005-2010. Purwokerto : Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman
Kuzemko, Jan, 1995, Pemeriksaan Klinis Anak, alih bahasa Petrus Andrianto, cetakan III, EGC, Jakarta.
Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs Approach,J.B. Lippincott Company, London.
Mansjoer, dkk. 2000, Kapita Selekta Kedokteran, ed.3, Media Aesculapius, Jakarta.
Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak . 1991. Ilmu Kesehatan Anak . Edisi Ke-2 . Jakarta : FKUI .
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Sri Kurnianingsih (Fd), Monica Ester (Alih bahasa) edisi – 4 Jakarta : EGC.


DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-3. Jakarta : EGC.
Carpenito , Lynda juall. 1997 . Buku saku Diagnosa Keperawatan.Edisi ke -6. Jakarta : EGC
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa : Brahm U Pendit. Jakarta : EGC.
Jannah dkk, 2011. Karakteristik Penderita dan Penatalaksanaan Megakolon Kongenital di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo tahun 2005-2010. Purwokerto : Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman
Kuzemko, Jan, 1995, Pemeriksaan Klinis Anak, alih bahasa Petrus Andrianto, cetakan III, EGC, Jakarta.
Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs Approach,J.B. Lippincott Company, London.
Mansjoer, dkk. 2000, Kapita Selekta Kedokteran, ed.3, Media Aesculapius, Jakarta.
Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak . 1991. Ilmu Kesehatan Anak . Edisi Ke-2 . Jakarta : FKUI .
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Sri Kurnianingsih (Fd), Monica Ester (Alih bahasa) edisi – 4 Jakarta : EGC.
Share:  

0 comments:

Post a Comment