Thursday 17 March 2016

Asuhan Kebidanan pada Ibu Hamil dengan Komplikasi HELLP Syndrome

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka kematian ibu dan perinatal merupakan ukuran penting dalam menilai keberhasilan pelayanan kesehatan suatu negara. Keadaan ibu maternal di Indonesia masih memprihatinkan. Kematian ibu makternal masih tinggi yaitu 228/100.000 kelahiran hidup. Penyebab terbanyak kematian maternal adalah perdarahan, preeklampsi, dan infeksi (www.datastatistik-indonesia.com, 2007).
Di Indonesia, preeklampsia terjadi pada 14% kehamilan. Kira-kira 85% preeklampsi terjadi pada kehamilan pertama. Pada preeklampsia dijumpai HELLP syndrome yang mempengaruhi sekitar 2% sampai 12% PEB, dengan angka mortalitas 2% sampai 24%. Insiden paling tinggi terdapat pada ibu multipara, berusia lanjut. Sedangkan di RSU Haji sendiri, dari seluruh kasus kegawatdaruratan obstetric, PEB menduduki peringkat ke-6 dari 10 kasus kegawatdaruratan. Tahun 2011 kejadian PEB di RSU Haji Surabaya sebanyak 61 kasus dari 2.368 persalinan.

Pengawasan pada wanita dengan kehamilan kembar juga perlu ditingkatkan untuk mengevaluasi persalinan preterm. Wanita dengan hamil kembar beresiko tinggi mengalami preeklampsi karena peningkatan massa plasenta dan produksi hormon. Komplikasi preeklampsi bisa mengarah ke HELLP syndrome yang membahayakan ibu dan janin.
Diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia, serta mengetahui penanganannya dengan segera akan membantu menurunkan kejadian eklampsia atau kematian yang disebabkan oleh preeklampsia. Penanganan preeklampsia bisa dilakukakan dengan terapi konservatif dan terminasi kehamilan sesuai dengan kasus.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan kebidanan pada ibu dengan kehamilan kembar dan PEB komplikasi HELLP syndrome.
1.2.2 Tujuan khusus
1. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada ibu dengan kehamilan kembar dan PEB komplikasi HELLP syndrome.
2. Mahasiswa mampu menentukan diagnosa aktual pada ibu dengan kehamilan kembar dan PEB komplikasi HELLP syndrome.
3. Mahasiswa mampu membuat rencana asuhan pada ibu dengan kehamilan kembar dan PEB komplikasi HELLP syndrome.
4. Mahasiswa mampu melaksanakan rencana asuhan yang dibuat pada ibu dengan kehamilan kembar dan PEB komplikasi HELLP syndrome.
5. Mahasiswa mampu mengevaluasi hasil asuhan yang diberikan pada ibu dengan kehamilan kembar dan PEB komplikasi HELLP syndrome.
6. Mahasiswa mampu mendokumentasikan asuhan kebidanan pada ibu dengan kehamilan kembar dan PEB komplikasi HELLP syndrome dengan SOAP.


BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Kehamilan Kembar
2.1.1 Pengertian
- Kehamilan ganda atau hamil kembar adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih (Rustam Mochtar, 2002)
- Kehamilan adalah masa dimulai dari kontrasepsi sampai janin lahir, lama hamil normal yaitu 280 hari atau 9 bulan 7 hari yang dihitung dari hari pertama haid terakhir (Saifuddin, 2008).
- Kehamilan kembar ialah satu kehamilan dengan 2 janin atau lebih (Hanifa Wiknjosastro, 2006 : 386).
2.1.2 Etiologi
Janin kembar umumnya terjadi akibat pembuahan 2 ovum yang berbeda yaitu kembar ovum-ganda, dizigotik, atau fraternal. Sekitar sepertiga janin kembar berasal dari satu ovum yang dibuahi, kemudian membelah menjadi dua struktur serupa, masing-masing berpotensi berkembang menjadi individu terpisah, yaitu kembar ovum-tunggal, monozigotik, atau identik. Salah satu atau kedua proses tersebut berperan dalam pembentukan kehamilan multi janin lainnya (Cunningham, 2005 : 853).
2.1.3 Jenis
1. Kehamilan kembar monozigotik
Disebut juga kehamilan kembar identik, homolog, uniovuler, atau 1 telur. Terjadi dari sebuah sel telur dan sebuah sel mani. Sel telur yang telah dibuahi membagi diri dalam 2 bagian yang masing-masing tumbuh menjadi janin. Biasanya mempunyai 2 amnion, 1 korion, dan 1 plasenta. Kadang terdapat 1 amnion, 1 korion, atau jarang sekali 2 amnion, dan 2 korion. Semua tergantung saat pemisahan. Jika terjadi sangat dini, yaitu dalam 72 jam pertama fertilisasi maka kemungkinan terjadi 2 amnion, 2 korion, dan 2 plasenta (kembar monozigotik, diamnion, atau dikorion). Jika pemisahan pada hari ke-4 sampai ke-8 fertilisasi, akan terjadi kembar monozigotik, monoamnion, atau monokorion. Jika pemisahan terjadi pada hari ke-8 sampai ke-13 setelah fertilisasi, akan terjadi kembar monozigotik, monoamnion, atau monokorion. Pemisahan sesudah hari ke-13 bila telah terbentuk diskus embrionik yang menghasilkan kembar siam. Kembar monozigot ada anastomosis antara kedua peredaran darah, jadi darah kedua janin bercampur. Anastomosis mungkin antara arteri dan artei, vena dan vena, atau arteri dan vena.
2. Kehamilan kembar dizigotik
Disebut juga kehamilan kembar fraternal, heterolog, binovuler, atau 2 telur. 2 sel telur dihamilkan oleh 2 sel mani. Kedua sel dapat berasal dari 1 ovarium atau masing-masing dari ovarium yang berlainan. Frekuensi kehamilan ini selain dipengaruhi oleh rekayasa kedoteran seperti pemberian obat untuk induksi ovulasi dan fertilisasi in vitro, dipengaruhi juga oleh perbedaan bangsa, keturunan, paritas, dan umur ibu. Bangsa Negro di Amerika Serikat mempunyai frekuensi kehamilan kembar yang lebih tinggi daripada bangsa kulit putih. Faktor umur, makin tua makin tinggi angka kejadian kehamilan kembar dan menurun lagi setelah umur 40 tahun. Paritas, pada primipara 9,8 per 1000 dan pada multipara (oktipara) naik jadi 18,9 per 1000 persalinan. Keturunan, keluarga tertentu akan cenderung melahirkan anak kembar yang biasanya diturunkan secara paternal, namun dapat pula secara maternal.
Perbedaan hamil kembar monozigotik dan dizigotik
Kehamilan monozigotik
Kehamilan dizigotik
· Jenis kelamin sama, wajah mirip seperti bayangan
· Golongan darah sama
· Cap tangan dan kaki sama
· Plasenta 1, korion 1, amnion 2 atau plasenta 1, korion 1, amnion 1
· Jenis kelamin tidak usah sama
· Persamaan seperti adik kakak
· Golongan darah tidak usah sama
· Cap tangan dan kaki tidak sama
· Plasenta 2, korion 2, amnion 2
(Sulaiman Sastrawinata, 2004 : 52-53)
Greulich (1930) melaporkan frekuensi kehamilan kembar pada 121 juta persalinan sebagai berikut :
a. Gemelli 1 : 85
b. Triplet 1 : 7.629
c. Kuadruplet 1 : 670.743
d. Quintiplet 1 : 41.600.000
2.1.4 Tanda dan gejala
· Ukuran uterus, tinggi fundus uteri, dan lingkar abdomen melebihi ukuran yang seharusnya untuk usia kehamilan akibat pertumbuhan uetrus yang pesat selama trimester kedua.
· Mual dan muntah berat akibat peningkatan kadar hCG.
· Penambahan berat badan ibu yang mencolok yang tidak disebabkan oleh edema atau obesitas.
· Riwayat bayi kembar dalam keluarga.
· Riwayat penggunaan obat penyubur sel telur, seperti sitrat klomifen (Clomid) atau menotropins (Pergonal).
· Pada palapasi abdomen didapat tiga atau lebih bagian besar dan / atau banyak bagian kecil, yang akan semakin mudah diraba terutama pada trimester ketiga.
· Pada auskultasi ditemukan lebih dari satu bunyi denyut jantung janin yang jelas-jelas berbeda satu sama lain (berbeda lebih dari 10 denyut jantung permenit dan terpisah dari detak jantung ibu).
(Helen Varney, 2006: 631)
2.1.5 Diagnosis diferensial
1. Hidramnion
Hidramnion dapat menyertai kehamilan kembar, kadang kelainan hanya terdapat pada satu kantong amnion, dan yang lainnya oligohidramnion. Pemeriksaan USG dapat menentukan apakah pada hidramnion ada kehmilan kembar atau tidak.
2. Kehamilan dengan mioma uteri atau kistoma ovarii
Tidak terdengarnya 2 denyut jantung janin pada pemeriksaan berulang, bagian besar dan kecil yang sukar digerakkan, lokasinya yang tak berubah, dapat dibedakan dengan pemeriksaan USG.
2.1.6 Pertumbuhan janin kembar
1. Berat badan satu janin kehamilan kembar rata-rata 1000 gr lebih ringan dari janin tunggal.
2. Berat badan bayi baru lahir biasanya pada kembar dua di bawah 2500 gr, triplet di bawah 2000 gr, quadriplet di bawah 1500 gr, dan quintuplet dibawah 1000 gr.
3. Berat badan masing-masing janin dari kehamilan kembar tidak sama, umumnya berselisih antara 50 sampai 1000 gram, dan karena pembagian sirkulasi darah tidak sama, maka yang satu lebih kurang tumbuh dari yang lainnya.
4. Pada kehamilan ganda monozigotik
§ Pembuluh darah janin yang satu beranastomosis dengan janin yang lain, karena itu setelah bayi satu lahir tali pusat harus diikat untuk menghindari perdarahan.
§ Karena itu janin yang satu dapat terganggu pertumbuhannya dan menjadi monstrum, seperti akardiakus, dan kelainan lainnya.
§ Dapat terjadi sindroma transfusi fetal, pada janin yang mendapat darah lebih banyak terjadi hidramnion, polisitemia, edema dan pertumbuhan yang baik. Sedangkan janin kedua terlihat kecil, anemis, dehidrasi, oligohidrami dan mikrokardia, karena kurang mendapat darah.
5. Pada kehamilan kembar dizigotik
§ Dapat terjadi satu janin meninggal dan yang satu tumbuh sampai cukup bulan.
§ Janin yang mati bisa diresorbsi (kalau pada kehamilan muda), atau pada kehamilan yang agak tua, janin jadi pipih yang disebut fetus papyraseus atau kompresus.
2.1.7 Letak dan presentasi janin
Pada umumnya janin kembar tidak besar dan cairan amnion lebih banyak daripada biasa, sehingga sering terjadi perubahan presentasi dan posisi janin. Letak janin kedua dapat berubah setelah kelahiran bayi pertama. Berbagai kombinasi letak serta presentasi dapat terjadi. Yang paling sering ditemukan ialah kedua janin dalam letak memanjang dengan presentasi kepala, kemudian menyusul presentasi kepala dan bokong, keduanya presentasi bokong, presentasi kepala dan bahu, presentasi bokong dan bahu, dan yang paling jarang keduanya presentasi bahu.
2.1.8 Komplikasi
1. Pada ibu
§ Kebutuhan akan zat-zat bertambah, sehingga dapat menyebabkan ane­mia dan defisiensi zat-zat lainnya.
§ Kemungkinan terjadinya hidramnion bertambah 10 kali lebih besar.
§ Frekuensi pre-eklamsi dan eklamsi lebih sering.
§ Karena uterus yang besar, ibu mengeluh sesak napas, sering miksi, serta terdapat edema dan varises pada tungkai dan vulva.
§ Dapat terjadi inersia uteri, perdarahan postpartum, dan solusio plasenta sesudah anak pertama lahir.
2. Pada janin
Plasenta previa, solusio plasenta, insufisiensi plasenta, partus prematurus, bayi kecil, mal presentasi, prolapas tali pusat, kelainan kongenital. Kematian perinatal anak kembar lebih tinggi daripada anak kehamilan tunggal. Prematuritas merupakan sebab utama. Kematian anak kedua lebih tinggi daripada yang pertama karena lebih sering terjadi gangguan sirkulasi plasenta setelah anak pertama lahir, lebih ganyaknya terjadi prolapsus funikuli, solutio plasenta, serta kelainan letak pada janin kedua. Kematian anak pada kehamilan monozigotik lebih besar daripada kehamilan dizigotik karena pada yang pertama dapat terjadi lilitan tali pusat antara janin pertama dan kedua.
2.1.9 Klinik
Pada kehamilan kembar distensi uterus berlebihan sehinggga melewati batas toleransinya dan seringkali terjadi partus prematurus. Lama kehamilan rata-rata untuk kehamilan kembar 260 hari. Kebutuhan ibu akan zat-zat makanan pada kehamilan kembar bertambah sehingga dapat menyebabkan anemia dan penyakit defisiensi lain. frekuensi hidramnion meningkat sehingga dapat menyebabkan partus prematurus, inersia uteri, atau perdarahan postpartum. Frekuensi preeklampsi dan eklampsi lebih sering karena keregangan uterus yang berlebihan menyebabkan iskemia uteri. Solusio plasenta dapat terjadi setelah bayi pertama lahir sehingga menyebabkan salah satu faktor kemtian yang tinggi pada janin kedua. Keluhan sesak nafas, sering kencing, edema, varises pada tungkai bawah dan vulva dapat terjadi karena tekanan uterus yang besar.
(Hanifa Wiknjosastro, 2006 : 392-393).
2.1.10 Penanganan
1. Selama kehamilan
· Penilaian pertumbuhan janindan penanganan bila ada masalah
- Kemajuan pertumbuhan janin
- Deteksi kelainan kongenital
· Penilaian retardasi pertumbuhan secara USG
· Pematangan paru janin bila ada tanda-tanda partrus prematurus yang mengancam dengan pemberian dexamethasone 24 mg/hr
· Rawat inap bila:
ü Ada kelainan obstetri
ü Ada his/ pembukaan serviks
ü Adanya hipertensi
ü Pertumbuhan salah satu janin terganggu
ü Profilaksis/ mencegah partus prematurus dengan obat tokolitik
2. Pada persalinan
· Prinsip-prinsip penanganan
Sebaiknya persalinan ditangani oleh penolong persalinan yang terampil agar mampu mengenali dan mengangani berbagai komplikasi, antara lain:
ü Persalinan preterm
ü Disfungsi uterus
ü Persentasi abnormal
ü Prolapsus tali pusat
ü Solusio plasenta
ü Perdarahan post partum
· Tenaga penolong persalinan tersebut di atas harus selalu mendampingi dan menangani proses persalinan
· Siapkan instrument dan bahan untuk kondisi gawat darurat, termasuk persediaan darah yang sesuai
· Pasang infus profilaksis
· Siapkan tenaga terlatih dan berpengalaman untuk resusitasi atau mengatasi kondisi gawat darurat
· Tersedianya fasilitas dan dan sarana persalinan ganda
· Persalinan sebaiknya dilaksanakan di RS
2.1.11 Pimpinan persalinan
Sebaiknya bersalin di rumah sakit mengingat penyulit yang mungkin timbul. Pimpinan persalinan kembar memakan waktu yang lebih lama. Pada tali pusat harus dijepit dengan teliti karena mungkin peredaran darah bersekutu hingga anak kedua dapat mengalami perdarahan melalui tali pusat anak yang pertama. Segera setelah anak pertama lahir ditentuksn letak anak kedua. Jika memanjang, ketuban dipecahkan setelah his timbul kembali dan ditunggu partus spontan. Jika teraba tali pusat terkemuka dilakukan ekstrkasi atau versi ekstraksi. Jika his lama tidak muncul diberi infus oksitosin. Jika anak kedua lintang, dilakukan versi luar menjadi letak memanjang dan ketuban dipecah jika his kembali. Setelah anak pertama lahir denyut jantung anak kedua diperiksa dengan teliti mengingat kemungkinan solusio plasenta dan tali pusat menumbung. Jika anak kedua belum lahir ½ jam setelah anak pertama lahir, anak kedua dilahirkan dengan persalinan buatan. Pada persalinan ini darah harus selalu tersedia untuk mengatasi perdarahan pascapersalinan (Sulaiman Sastrawinata, 2004: 58-59).
Indikasi seksio saesarea hanya pada :
a. Janin pertama letak lintang
b. Bila terjadi prolaps tali pusat
c. Plasenta previa
d. Terjadi interlocking pada letak janin 69, anak pertama letak sungsang dan anak kedua letak kepala.
(Rustam Mochtar, 1998)
2.2 Konsep Dasar Preeklampsi Berat
2.2.1 Definisi
Preeklampsi dan eklampsi adalah penyakit hipertensi yang khas dalam kehamilan, dengan gejala utama hipertensi yang akut pada wanita hamil dan wanita dalam nifas. Pada tingkat tanpa kejang disebut preeklampsi dan pada tingkat kejang disebut eklampsi. Preeklampsi memperlihatkan gejala hipertensi, edema, dan proteinuri. Pada umumnya baru timbul setelah minggu ke-20 dan makin tua kehamilan makin besar kemungkinan timbulnya penyakit tersebut (Sulaiman Sastrawinata, 2004 : 68).
Preeklampsi adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi akibat vasospasme dan aktivasi endotel (Cunningham, 2005 : 627).
Preeklampsia berat adalah preeklampsi dengan tekanan darah ≥ 160/110 mmHg disertai proteinuria lebih dari 5 gr/24 jam (Wiknjosastro, 2010).
2.2.2 Etiologi dan patofisiologi
Penyebab hipertensi dalam kehamilan termasuk preeklampsia hingga kini belum diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satupun teori tersebut yang dianggap mutlak benar (Angsar, 2008). Berikut teori yang dikemukakan:
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-cabang arteri uterina dan ovarika. Kedua pembulih darah tersebut menembus miometrium berupa arteri arcuarta dan arteri arcuarta memberi cabang ateria radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis, dan arteri basalis memberi cabang arteri spiralis. Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal : 500 mikron, sedang pada preeklampsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke utero plasenta
Pada hamil normal dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblast (sel-sel dari janin) ke dalam lapisan otot arteri srteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut, sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblast juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini, memberi dampak penurunan desakan darah, penurunan resistensi vaskuler, dan peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik.Proses ini dinamakan “remodelling arteri spiralis” (Margaret A. 2009, dkk).
b. Teori iskemia plasenta, radikal bebas dan pembentukan oksidan
Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan proses aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik, akibatnya plasenta mengalami iskemia.
c. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Janin sebenarnya merupakan benda asing bagi ibunya karena janin adalah hasil dari pertemuan 2 gamet yg berlainan. Dari segi imunologi, benda asing harus ditolak dan dikeluarkan dari dalam tubuh karena sistem Imunitas Seluler akan bangkit terhadap janin. Namun ternyata janin dapat diterima sistem imunitas tubuh kita. Hal ini merupakan keajaiban alam dan belum ada gambaran yang jelas tentang mekanisme sebenarnya yang berlangsung pada tubuh ibu hamil tersebut. Sistem imunitas seluler terhadap antigen plasenta mulai bangkit pada TM II yang makin lama makin meningkat sesuai usia kehamilan. Pada bumil timbul “Mekanisme imun depression” yaitu suatu mekanisme tubuh yg menekan sistem imun atau menahan respon yang telah bangkit seperti pada HCG dapat menekan proses transformasi sel limfosit T. Imunologi dalam janin merupakan IgG dr ibu ke janin mulai sekitar 16 minggu kehamilan dan terus meningkat ketika kehamilan bertambah, tetapi sebagian besar lgG diterima janin selama 4 minggu terakhir kehamilan.
Etiologi PIH tidak diketahui tetapi semakin banyak bukti bahwa gangguan ini disebabkan oleh gangguan imunologik dimana produksi antibodi penghambat berkurang. Hal ini dapat menghambat invasi arteri spiralis ibu oleh trofoblas sampai batas tertentu hingga mengganggu fungsi plasenta. Ketika kehamilan berlanjut, hipoksia plasenta menginduksi proliferasi sitotrofoblas dan penebalan membran basalis trofoblas yang mungkin mengganggu fungsi metabolik plasenta. Sekresi vasodilator prostasiklin oleh sel-sel endotelial plasenta berkurang dan sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah, sehingga timbul vasokonstriksi generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini terjadilah pengurangan perfusi placenta sebanyak 50%, hipertensi ibu dan penurunan volume plasma ibu. Jika spasmenya menetap, mungkin akan terjadi cidera sel epitel trofoblas dan fragmen-fragmen trofoblas di bawa ke paru-paru dan mengalami destruksi sehingga melepaskan tromboplastin. Selanjutnya tromboplastin menyebabkan koagulasi intravaskular dan deposisi fibrin di dalam glomeruli ginjal (endoteliosis glomerular) yang menurunkan laju filtrasi glomerulus dan secara tidak langsung meningkatkan vasokonstriksi. Pada kasus berat dan lanjut, deposit fibrin ini terdapat di pembuluh darah, sistem saraf pusat sehingga menyebabkan konvulsi (Hadyanto, 2002).
d. Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta, bahwa lepasnya debris trofoblast di dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, plasenta juga melepaskan debris trofoblast, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblast, akibat reaksi stress oksidative. Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblast masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, dimana pada preeklampsia terjadi peningkatan stress oksidative, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblast yang meningkat. Makin banyak sel trofoblast plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stress oksidative akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblast juga akan sangat meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar, dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respon inflamasi ini akan mengaktivasi sel endothel dan sel-sel makrofag / sel granulosit yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu.
e. Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian penting yang pernah dilakukan di Inggris ialah penelitian tentang pengaruh diet pada preeklampsia beberapa waktu sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit mendapatkan gizi yang cukup menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam kehamilan (Angsar, 2008). Pada penelitiannya Aditiawarman (2009) menyebutkan adanya kenaikan insiden preeklamsia di RSU Dr. Soetomo saat krisis ekonomi di Indonesia. Dilaporkan bahwa insiden preeklamsia meningkat pada daerah dengan insiden tinggi kasus beri-beri, pelagra dan gangguan nutrisi. Beberapa zat yang diduga berhubungan dengan angka kejadian pre eklampsia, antara lain antioksidan, vitamin D, kalsium, dan kalium.
f. Teori genetik
Genotipe ibu lebih menetiukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia 26% anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, segdangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsia.
2.2.3 Perubahan Sistem dan Organ
a. Volume plasma
Pada hamil normal volume plasma meningkat dengan bermakna (hipervolemia) guna memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin. Peningkatan tertinggi volume plasma pada hamil normal terjadi pada umur kehamilan 32-34 minggu sebaliknya oleh sebab yang tidak jelas pada preeklampsia terjadi penurunan volume plasma antara 30%-40% dibandingkan hamil normal. Hipovolemia diimbangi dengan vasokonstriksi sehingga terjadi hipertensi.
b. Hipertensi
Tekanan diastolik menggambarkan resistensi perifer, sedangkan tekanan sistolik manggambarkan besaran curah jantung. Peningkatan reaktivitas vaskuler dimulai umur kehamilan 20 minggu, tetapi hipertensi dideteksi umumnya pada TM II. Tekanan darah yang tinggi pada preeklampsi bersifat labil dan mengikuti irama sirkadia normal
c. Fungsi ginjal
a) Proteinuria
Bila proteinuria timbul:
· Sebelum hipertensi, umumnya merupakan gejala penyakit ginjal
· Tanpa hipertensi, maka dapat dipertimbangkan sebagai penyulit kehamilan
· Tanpa kenaikan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg umumnya ditemukan pada infeksi saluran kencing atau anemia. Jarang ditemukan proteinuria pada diastolik ≤ 90mmHg
Pengukuran proteinuria dapat dialakukan dengan urin dipstik 100mg/L atau +1, sekurang-kurangnya diperiksa 2 kali urin acak selang 6 jam dan pengumpulan proteinuria ≥300 mg/24 jam.
b) Asam urat serum
Umumnya meningkat ≥ 5 mg/cc. Hal ini disebabkan oleh hipervolemia yang menimbulkan menurunnya aliran darah ginjal
c) Kreatinin
Kadar kreatinin meningkat. Hal ini disebabkan hipovolemia, aliran darah ginjal menurun, filtrasi glomerulus menurun dan sekresi kreatinin menurun disertai sekresi kreatinin plasma
d) Oliguria dan anuria
Terjadi karena hipovolemia sehingga aliran darah ke ginjal menurun yang mengakibatkan produksi urin menurun (oliguria), bahkan terjadi anuria.
d. Koagulasi
Gangguan koagulasi pada preeklampsi misalnya trombositopenia.
e. Viskositas darah
Viskositas darah meningkat mengakibatkan meningkatnya resistensi perifer dan menurunnya aliran darah ke organ.
f. Hematokrit
Hematokrit meningkat karena hipovolemia yang menggambarkan beratnya preeklampsi.
g. Edema
Edema pada kehamilan mempunyai banyak interpretasi 40% pada kehamilan, 60% pada kehamilan dan hipertensi, 80% edema, dengan hipertensi dan proteinuria. Edema terjadi karena hipoalbuminemia atau kerusakan sel endotel kapiler, edema yang patologik adalah edema yang nondependen pada muka dan tangan atau edema generalisata dan biasanya disertai kenaikan berat badan.
h. Neurologik
Perubahan neurologik dapat berupa :
- Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi otak
- Akibat spasme arteri retina dan edema retina dapat terjadi gangguan visus
- Hiperrefleksi sering dijumpai pada PEB
- Dapat timbul kejang eklamptik
- Perdarahan intrakranial meskipun jarang, dapat terjadi pada PEB dan eklampsia
i. Kardiovaskuler
Disebabkan oleh peningkatan cardiac afterload akibat hipertensi dan penurunan cardiac preload hipovolemia
j. Paru
Penderita PEB mempunyai resiko besar terjadinya edema paru
k. Janin
preeklampsi dan eklampsia memberi pengaruh buruk pada kesehatan janin disebabkan menurunnya perfusi uteroplasenta. Dampak pada janin adalah:
- IUGR dan oligohidramnion
- Kenaikan morbiditas dan mortalitas janin, secara tidak langsung akibat intrauterin growth restriction, prematuritas, oligohidramnion dan solusio plasenta.
2.2.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria:
· Tekanan darah sistolik 160 mmHg dan diastolik 110 mmHg
· Proteinuria 5 gr/ 24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif
· Oliguria yaitu urin < 500cc/24 jam
· Kenaikan kadar kreatinin plasma
· Gejala subyektif impending eklampsia : gangguan visus dan serebral, penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan pandangan kabur, nyeri epigastrium.
  • Komplikasi
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia dan eklampsia. Komplikasi yang tersebut di bawah ini biasanya terjadi pada pre-eklampsia berat dan eklampsia.
1. Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada pre-eklampsia. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo 15,5% solusio plasenta disertai pre-eklampsia.
2. Hipofibrinogenemia. Pada pre-eklampsia berat Zuspan (1978) menemukan 23% hipofibrinogenemia, maka dari itu penulis menganjurkan pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala.
3. Hemolisis. Penderita dengan pre-eklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkan ikterus tersebut.
4. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita eklampsia.
5. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina; hal ini merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.
6. Edema paru-paru. Zuspan (1978) menemukan hanya satu penderita dari 69 kasus eklampsia, hal ini disebabkan karena payah jantung.
7. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pre-eklampsia-eklampsia merupa­kan akibat vasopasmus arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi ternyata juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
8. Sindroma HELLP. yaitu haemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet.
9. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembeng-kakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
10. Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan fraktura karena jatuh akibat kejang-kejang pneumonia aspirasi, dan DIC (disseminated intravascular coogulation).
11. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.
2.2.5 Pencegahan
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau frekuensinya dikurangi. Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas:
1. meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil-muda;
2. mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda pre-eklampsia dan mengobatinya segera apabila ditemukan;
3. mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila setelah dirawat tanda-tanda pre-eklampsia tidak juga dapat dihilangkan.
2.2.6 Penatalaksanaan
Perawatan dan pengobatan preeklampsia mencakup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan.
· Pemberian obat anti kejang
MgSO4 (Magnesium Sulfat), cara pemberiannya :
ü Dosis awal sekitar 4 g MgS04 (20% dalam 20cc). Selama 1 g/menit kemasan 20% dalam 20 cc larutan MgSO4 (dalam 3-5 menit). Diikuti segera 4 gr di bokong kiri dan 4 gr bokong kanan (40% dalam 10 cc). Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan 1 cc xylocain 2% yang tidak mengandung adrenalin pada suntikan IM.
ü Dosis ulangan: diberikan 4 gr Im 40 % setelah 6 jam pemberian dosis awal, lalu dosis ulangan diberikan 4 gr IM setiap 6 jam dimana pemberian MgSO4 tidak melebihi >2-3 hari.
ü Syarat-syarat pemberian: harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas 10 % 1 g (10% dalam 10cc) diberiakn i.v. 3 menit. Reflek patella (+), respirasi > 16x/mnt, urine sekurag-kurangnya 150 cc/6 jam.
ü Magnesium sulfat dihentikan bila:
1. Ada tanda-tanda keracunan yaitu kelemahan otot, hipotensi, reflek fisiologis menurun, fungsi jantung terganggu, depresi SSP, kelumpuhan dan selanjutnya dapat menyebabkan kematian karena kelumpuhan otot-otot pernafasan.
2. Bila timbul tanda-tanda keracunan magnesium sulfat
§ Hentikan pemberian magnesium sulfat
§ Berikan kalsium glukonase 10 % 1 gram (10% dalam 10 cc) secara IV dalam waktu 3 menit.
§ Berikan oksigen.
§ Lakukan pernafasan buatan.
3. Magnesium sulfat dihentikan juga setelah 4 jam pasaca persalinan sudah terjadi perbaikan (normotensif).
· Diasepam atau dapat juga digunakan Fenitoin. Fenitoin sodium mempunyai khasiat stabilisasi membran neuron, cepat masuk jaringan otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian intravena 50 mg/menit.
· Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah Furosemida
· Pemberian antihepertensi
(1) Nifedipin, dosis 5-10 mg peroral, tiap 8 jam
(2) Metildopa, dosis awal 1 gram dan dosis rumatan 1-2 gram (Katzung, 2007) atau maintenance 250 mg, tiap 8 jam.
· Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindroma HELLP.
Menurut Rustam Muchtar (1998) dilakukan:
1. Penanganan konservatif bila kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eklampsia dan keadaan janin baik. Prinsip terapi serupa dengan yang aktif hanya tidak dilakukan terminasi kehamilan. Pemberian MgSO4 2mg intravena dilanjutkan 2 gram/jam dalam drip infus dextrose 5% 500 ml/6 jam dapat dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeclampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila tidak ada perbaikan atau bila dalam 6 jam selama pengobatan terdapat peningkatan tekanan darah, terapi dianggap gagal dan lakukan terminasi.
2. Penanganan aktif bila kehamilan > 37 minggu, ada tanda-tanda impending eklampsia, kegagalan terapi konservatif, ada tanda gawat janin atau pertumbuhan janin terhambat dan HELLP syndrome.
1) Penderita dirawat inap
- Istirahat
- Berikan diet rendah garam dan tinggi protein.
- Berikan suntikan sulfat magnesikus 8 gram intra muscular 4 gram di bokong kanan dan 4 gram di bokong kiri.
- Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gram setiap 4 jam.
- Syarat pemberian MgSO4 adalah: reflek patella positif, diuresis 100 cc dalam 4 jam terakhir; respirasi 16 kali per menit, dan harus tersedia antidotumnya uaitu kalsium glukonas 10% dalam ampul 10 cc
- Infus dekstrosa 5% dan RL
2) Berikan obat antihipertensi: injeksi katapres 1 ampul IM dan selanjutnya dapat diberikan tablet katapres 3 kali ½ tablet atau 2 kali ½ tablet sehari.
3) Diuretika tidak diberikan, keculai bila ada edeme umum, edema paru, dan kegagalan jantung kongestif. Untuk itu dapat diinjeksikan 1 ampul IV Lasix.
4) Segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua, dilakukan induksi persalinan dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai oksitosin (pitosin atau sintosinon) 10 satuan dalam infus tetes.
5) Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi vakum, jadi ibu dilarang mengedan.
6) Jangan berikan methergin postpartum, kecuali bila terjadi perdarahan yang disebabkan atonia uteri.
7) Pemberian sulfas magnesikus, kalau tidak ada kontraindikasi, kemudian diteruskan dengan dosis 4 gram setiap 4 jam dalam 24 jam postpartum.
8) Bila ada penyulit lakukan SC

2.3 Konsep HELLP Syndrom

2.3.1 Pengertian
Hemolisis, kelainan tes fungsi hati dan jumlah trombosit yang rendah sudah sejak lama dikenal sebagai komplikasi dari preeklampsi-eklampsi. Godlin menamakan sindrom ini EPH Gestosis tipe II.
Singkatan HELLP pertama kali diperkenalkan oleh Weinsteint (1982) yang menjelaskan, bahwa Sindroma HELLP, berarti preeclampsia - eclampsia yang mengalami :
H : hemolisis,
EL : elevated liver enzyme : tanda adanya disfungsi hepar
LP : low patelet count : thrombositopenia
Permasalahan yang sering timbul pada sindroma ini baik pada diagnosis maupun dalam hal penatalaksanaan. Karena gejala dan tanda sindroma HELLP sangat bervariasi sehingga seringkali diagnosis ditegakkan saat penyakit sudah berada dalam stadium lanjut. Akibatnya morbiditas ibu lebih tinggi lagi. Morbiditas yang paling sering terjadi adalah penggunaan transfusi darah atau produk-produk darah. Disamping itu resiko terjadinya edema paru, “consumptive coagulopathy“, gagal ginjal, infark dan ruptur hepar serta gagal jantung paru sangat tinggi.
2.3.2 Epidemiologi dan faktor resiko
HELLP syndrome terjadi pada ± 2-12% kehamilan. Sebagai perbandingan, preeklampsi terjadi pada 5-7% kehamilan. Superimposed HELLP syndrome berkembang dari 4-12% wanita preeklampsi atau eklampsi. Tanpa preeklampsi, diagnosis sindrom ini sering terlambat. Faktor risiko HELLP syndrome berbeda dengan preeklampsi.
Dalam laporan Sibai dkk (1986), pasien HELLP syndrome secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi tanpa HELLP syndrome (rata-rata umur 19 tahun). lnsiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit putih dan multipara. Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ketiga, walaupun pada 11% pasien muncul pada umur kehamilan < 27 minggu; di masa antepartum pada sekitar 69% pasien dan di masa postpartum pada sekitar 31%. Pada masa post partum, saat terjadinya khas, dalam waktu 48 jam pertama post partum.
2.3.3 Etiologi dan patogenesis
Penyebab dari Hellp syndrome masih belum jelas. Normalnya pada kehamilan terutama pada trimester III akan terjadi penurunan tekanan darah, sedang renin, angiotensin II, prostasiklin dan volume darah meningkat. Pada PEB terjadi tekanan darah yang meningkat, sedang renin, angiotensin II, prostasiklin menurun. Prostasiklin menyebabkan penurunan vasokonstriksi, platelet agregation, uterine activity dan peningkatan utero-plasental blood flow. Sedang Tromboksan bekerja sebaliknya. Perubahan material-material diatas dianggap berperan untuk terjadinya Hellp sindrome.
Hemolisis mikroangiopati pertama kali dikemukakan tahun 1962 dan didefinisikan sebagai kelompok gangguan klinik dengan fragmentasi sel-sel darah merah dalam sirkulasi. Oleh Weinstein (1982) mengemukakan bahwa pada preeklampsia hemolisis terjadi akibat vasospasme pembuluh darah dan interaksi sel darah merah dengan sel endotel pembuluh darah yang abnormal atau mungkin juga oleh karena proses imun. Terjadinya reaksi peroksidase pada membran sel darah merah menyebabkan ketidakstabilan membran eritrosit dan perubahan ini menyebabkan eritrosit rentan untuk mengalami hemolisis. Kelainan membran ini terutama didapatkan pada penderita yang disertai kelainan hepar. Ada beberapa parameter laboratorium yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya hemolisis mikroangiopati antara lain haptoglobin, LDH, bilirubin (semen dan urine), hemoglobin bebas, apusan darah tepi. Meskipun demikian pemeriksaan yang di anggap “Gold standar“ belum ada. Diantara beberapa parameter ini, haptoglobin merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk mengetahui secara dini adanya hemolisis mikroangiopati.
Peningkatan enzim hati (alanin aminotrasferase, aspartat aminotransferase dan laktat dehidrogenase) terjadi karena adanya nekrosis parenkim dan perdarahan dalam sinusoid hepar. Terjadinya nekrosis dan perdarahan ini akibat tumpukan bahan yang menyerupai fibrin dalam sinusoid hepar sehingga terjadi obstruksi aliran darah. Jika perdarahan dan nekrosis dan nekrosis cukup berat akan terjadi infark atau pembentukan hematoma subkapsuler. Berapa nilai yang dianggap abnormal juga berbeda-beda. Weinstein yang pertama kali mempopulerkan istilah ini tidak menyebutkan kadar berapa yang dianggap abnormal. MenurutGoodlin dan Thiagarah, kadar SGOT yang dianggap abnormal bila nilai > 50 IU/L. Vandam dkk menggunakan nilai > 16 IU/L, Brazy dkk menggunakan nilai 50 IU/L dan sibai dan Aarnnoudse menggunakan nilai ≥ 72 IU/L sedangkan Martin dkk menggunakan kadar SGOT ≥ 40 IU/L dan SGPT ≥ 40 IU/L. Kadar LDH yang dianggap abnormal bervariasi antara 195 – 600 IU/L.
Trombositopenia. Meskipun jarang berat, merupakan kelainan hematologis yang paling sering ditemukan pada penderita preeklampsia. Disebut trombositopenia bila jumlah trombosit ≤ 150.000. Dan jika didapatkan trombositopenia ≤ 100.000 maka lambat atau cepat dapat masuk kedalam “fulminant HELLP“. Angka kejadian trombositopenia pada PEB sebesar 20%. Pathofisiologi terjadinya penurunan jumlah trombosit pada penderita preeklampsia:
1. Meningkatnya pemakaian dan agregasi/aglutinasi diperifer
2. Aktivasi trombosit meningkat
3. Waktu hidup trombosit lebih pendek
4. Dan penurunan kadar prostasiklin (prostasiklin merupakan penghambat agregasi trombosit yang kuat).
Oleh sebab itu beratnya trombositopenia menggambarkan derajat kerusakan sel endotel, agregasi trombosit, pemecahan/destruksi trombosit dan penumpukan mikrotrombus. Jumlah trombosit pada penderita preeklampsia merupakan indikator yang paling baik untuk melihat adanya komplikasi pada ibu, janin maupun neonatus. Jumlah trombosit yang < 150.000/ul merupakan periode transisi dan jumlah trombosit < 100.000/uL merupakan tanda bahwa penyakit cukup berat sehingga bila persalinan ditunda trombosit akan menurun menilai lebih rendah lagi. Penderita dengan jumlah trombosit ≤ 50.000/ul mempunyai risiko tinggi untuk mengalami perdarahan post partum, komplikasi perdarahan dari luka operasi atau luka episiotomi juga ada hubungannya dengan jumlah trombosit. Pemberian trannsfusi trombosit untuk tindakan profilaksis tidak menjamin bahwa komplikasi perdarahan post partum atau dari luka operasi akan menurun. Oleh karena itu adalah penting untuk untuk melakukan pengamatan jumlah trombosit pada penderita preeklampsia khususnya preeklampsia berat khususnya yang mendapatkan perawatan konservatif.
2.3.4 Diagnosa
Tiga kelainan utama pada sindrorn HELLP berupa hemolisis, peningkatan kadar enzim hati dan jumlah trombosit yang rendah.
Kriteria diagnosis HELLP syndrome:
Hemolisis
- Kelainan apusan darah tepi
- Total bilirubin > 1,2 mg/dl
- Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
Peningkatan fungsi hati
- Serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L
- Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
Jumlah trombosit yang rendah
- Hitung trombosit < 100.000/mm
1. Laboratorium : Pemeriksaan darah lengkap, faal homeostasis dan fungsi hati.
2. Pencitraan : Thorax foto jika dicurigai edema paru, USG jika dicurigai ruptura hepar.
3. Test khusus
a. Dopler USG dapat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hellp sindrome dengan cara mengukur pulsatil indeks (PI) dari a.hepatika komunis. PI kehamilan normal (24–36 mgg) adalah 1,17; pada preeklamsia PI : 1,63; sedang pada PE yang disertai hellp syndrome terjadi peningkatan berarti PI : 1,83.
b. Haptoglobin. Merupakan protein plasma (famili alfa 2 glikoprotein) yang dibuat di hepar. Molekulnya berbentuk tetramareik terdiri dari 2 alfa ringan dan 2 rantai beta berat dimana kedua rantai ini diikat oleh ikatan disulfida. Berfungsi untuk mencegah kehilangan hemoglobin melalui ginjal dan mempertahankan kadar besi dalam tubuh. Pada saat pemecahan eritrosit haptoglobin dalam plasma akan berikatan dengan hemoglobin bebas ( pada rantai alfa dan beta) sebagai suatu ikatan non kovalen yang irreversibel. Kemudian makrofag akan membawa ikatan hemoglobin-heptaglobin ke hepar untuk selanjutnya diuraikan dan besi (Fe) akan didaur ulang. Pemeriksaan secara serial haptoglobin dapat digunakan untuk mendeteksi dan memantau keadaan hemolisis. Bila didapatkan hasil yang menurun biasanya menunjukkan adanya anemia hemolitik. Konsentrasi yang rendah ditemukan pada keadaan-keadaan yang menyebabkan destruksi sel eritrosit seperti reaksi transfusi, penggunaan katup jantung, talasemia dan anemia sikle sel, penyakit hati yang berat dan kelainan kongenital (haptoglobinemia) kehamilan yang disertai hemolisis. Konsentrasi yang meningkat dapat terjadi pada fase akut suatu infeksi dan keganasan. Konsentrasi haptoglobin yang tinggi dapat menyingkirkan adanya hemolisis.
4. Temuan patologis
· Erythrocyte: terjadi kerusakan erythrocyte, mengalami fragmentasi dapat dilihat pada darah tepi.
  • Thrombosit
1) Umur thrombosit normal : 8 – 10 hari. Pada preeclmpasia umur thrombosit menjadi : 5 – 8 hari.
2) Pada HELLP Syndrome, umur thrombosit makin memendek, disertai peningkatan kerusakan thrombosit dan agregasi thrombosit pada lapisan sel endothel.
3) Kerusakan thrombosit akan, menghasilkan thromboxane, vasokonstriktor kuat.
· Gangguan ginjal :
1) HELLP Syndrome dapat menimbulkan gangguan ginjal. Kerusakan ginjal bervariasi dari sekedar kenaikan kreatinin serum sampai terjadi gagal ginjal akut yang reversible (acute tubular necrosis) maupun yang ireversibel (cortical necrosis).
2) Perubahan ginjal pada HELLP Syndrome adalah pembesaran glomerulus, adanya butir fibrin pada lapisan epithel, dan pembengkakan sel endothel, sehingga terjadi penyempitan kapiler glomerulus.
2.3.5 Penatalaksanaan
Pasien HELLP syndrome pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsi. Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan pembekuan darah.
Terapi dari HELLP syndrome bertujuan untuk:
1. Meningkatkan kondisi umum penderita minimal stabil.
2. Menghindari lebih jauh gangguan koagulasi darah.
3. Meningkatkan kesejahteraan janin dalam uterus.
4. Persalinan sebaiknya segera dilaksanakan:
· Bergantung pada umur kehamilan.
· Lakukan induksi persalinan.
· Bila serviks tidak matang atau terdapat pertimbangan lainnya dapat dilakukan seksio sesarea.
Penatalaksanaan HELLP syndrome pada umur kehamilan < 35 minggu (stabilisasi kondisi ibu) (Akhiri persalinan pada pasien HELLP syndrome dengan umur kehamilan 35 minggu)
1. Menilai dan menstabilkan kondisi ibu
§ Jika ada DIC, atasi koagulopati
§ Profilaksis anti kejang dengan MgSO4
§ Terapi hipertensi berat
§ Rujuk ke pusat kesehatan tersier
§ Computerised tomography (CT scan) atau Ultrasonografi (USG) abdomen bila diduga hematoma subkapsular hati
2. Evaluasi kesejahteraan janin
§ Non stress test/tes tanpa kontraksi (NST)
§ Profil biofisik
§ USG
3. Evaluasi kematangan paru janin jika umur kehamilan < 35 minggu
§ Jika matur, segera akhiri kehamilan
§ Jika prematur, beri kortikosteroid, lalu akhiri kehamilan
Pasien HELLP syndrome harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO4 20% sebagai dosis awal, diikuti dengan infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus dititrasi sesuai produksi urin dan diobservasi terhadap tanda dan gejala keracunan MgSO4. Jika terjadi keracunan, berikan 10-20 ml kalsium glukonat 10% iv.
Terapi anti hipertensi harus dimulai jika tekanan darah menetap > 160/110 mmHg di samping penggunaan MgSO4. Hal ini berguna menurunkan risiko perdarahan otak, solusio plasenta dan kejang pada ibu. Tujuannya mempertahankan tekanan darah diastolik 90 - 100 mmHg. Anti hipertensi yang sering digunakan adalah hydralazine iv dalam dosis kecil 2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Labetalol dan nifedipin juga digunakan dan memberikan hasil baik. Karena efek potensiasi, harus hati-hati bila nifedipin dan MgSO4 diberikan bersamaan. Diuretik dapat mengganggu perfusi plasenta sehingga tidak dapat digunakan.
Langkah selanjutnya mengevaluasi kesejahteraan bayi menggunakan tes tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk menilai pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera mengakhiri kehamilan. Amniosentesis dapat dilakukan pada pasien tanpa risiko perdarahan. Beberapa menganggap sindrom ini merupakan indikasi untuk segera mengakhiri kehamilan dengan seksio sesarea, namun yang lain merekomendasikan pendekatan lebih konservatif untuk memperpanjang kehamilan pada kasus janin masih immatur. Perpanjangan kehamilan akan memperpendek masa perawatan bayi di NICU (Neonatal Intensive Care Unit), menurunkan insiden nekrosis enterokolitis, sindrom gangguan pernafasan. Beberapa bentuk terapi HELLP syndrome yang diuraikan dalam literatur sebagian besar mirip dengan penanganan preeklampsi berat.
Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 35 minggu, atau jika ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau janin dan ibu dalam kondisi berbahaya, maka terapi definitif ialah mengakhiri kehamilan. Jika tanpa bukti laboratorium adanya DIC dan paru janin belum matur, dapat diberikan 2 dosis steroid untuk akselerasi pematangan paru janin, dan kehamilan diakhiri 48 jam kemudian. Namun kondisi ibu dan janin harus dipantau secara kontinu selama periode ini. Goodlin meneliti bahwa terapi konservatif dengan istirahat dapat meningkatkan volume plasma. Pasien tersebut juga menerima infus albumin 5 atau 25%; usaha ekspansi volume plasma ini akan menguntungkan karena meningkatkan jumlah trombosit. Thiagarajah meneliti bahwa peningkatan jumlah trombosit dan enzim hati juga bisa dicapai dengan pemberian prednison atau betametason.
Deksametason l0 mg/12 jam iv lebih baik dibandingkan dengan betametason 12 mg/24 jam im, karena deksametason tidak hanya mempercepat pematangan paru janin tapi juga menstabilkan HELLP syndrome. Pasien yang diterapi dengan deksametason mengalami penurunan aktifitas AST yang lebih cepat, penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) dan peningkatan produksi urin yang cepat, sehingga pengobatan anti hipertensi dan terapi cairan dapat dikurangi. Tanda vital dan produksi urine harus dipantau tiap 6-8 jam. Terapi kortikosteroid dihentikan jika gejala nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri epigastrium hilang dengan tekanan darah stabil <160/110 mmHg tanpa terapi anti hipertensi akut serta produksi urine sudah stabil yaitu >50 ml/jam.
Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika ada hal-hal yang mengganngu kesehatan ibu dan janin. Pasien tanpa kontraindikasi obstetri harus diizinkan partus pervaginam. Sebaliknya, pada semua pasien dengan umur kehamilan > 32 minggu persalinan dapat dimulai dengan infus oksitosin seperti induksi, sedangkan untuk pasien < 32 minggu serviks harus memenuhi syarat untuk induksi. Pada pasien dengan serviks belum matang dan umur kehamilan < 32 minggu, seksio sesarea elektif merupakan cara terbaik.
Transfusi trombosit diindikasikan baik sebelum maupun sesudah persalinan, jika hitung trombosit < 20.000/mm3. Namun tidak perlu diulang karena pemakaiannya terjadi dengan cepat dan efeknya sementara. Setelah persalinan, pasien harus diawasi ketat di ICU paling sedikit 48 jam. Sebagian pasien akan membaik selama 48 jam postpartum; beberapa, khususnya yang DIC, dapat terlambat membaik atau bahkan memburuk. Pasien demikian memerlukan pemantauan lebih intensif untuk beberapa hari.
HELLP syndrome dapat timbul pada masa postpartum.. Penanganannya sama dengan pasien HELLP syndrome anteparturn, termasuk profilaksis antikejang. Kontrol hipertensi harus lebih ketat.
1. Kemungkinan komplikasi: 1-25% sindroma HELLP mengalami komplikasi serius seperti : DIC, solusio plasenta, GGA, infeksi/sepsis, ruptur hematoma hepar, efusi pleura, edema paru, ablasio retina dan kematian ibu. Terhadap janin komplikasi yang dapat terjadi yaitu kematian janin dalam rahim, kematian neonatus, lahir prematur dan nilai apgar yang rendah. Resiko untuk terjadinya sindroam HELLP pada kehamilan berikutnya ± 14-27% sedangkan risiko untuk penderita PEB pada kehamilan berikutnya ± 43%.
Angka kejadian DIC pada sindroma HELLP sekitar 15%. Hellegren dkk menggunakan sistem skoring untuk mendiagnosis DIC sbb :
1) jumlah trombosit < 100 000
2) pemanjangan waktu protrombin (³ 14 det) dan tromboplastin parsial (³ 40 det)
3) kadar fibrinogen £ 300 mg/dl
4) fibrin split product + (> 40 mg/L) atau D-Dimer (³ 40 mg/L)
5) aktivitas anti-trombin III < 80 %
2. Outcome yang dapat terjadi :
1. Kematian ibu bersalin cukup tinggi yaitu 24%. Penyebab kematian dapat berupa kegagalan kardiopulmuner, gangguan pembuluh darah, perdarahan otak, rupture hepar, kegagalan organ multiple.
2. Kematian perinatal cukup tinggi terutama disebabkan oleh persalinan preterm.
Penanganan suatu hellp syndrome meliputi:
1. Persalinan pervaginam diusahakan bila penderita berada dalam keadaan inpartu, usia kehamilan > 32 minggu dan bila nilai pelvik baik dapat dilakukan induksi dengan drip oksitosin.
2. Persalinan dengan operasi sesar dilakukan pada umum kehamilan ≤ 32 minggu dan nilai pelvik belum matang, ada gawat janin, malpresentasi, riwayat operasi sesar sebelumnya, induksi dengan drips oksitosin gagal, nilai pelvik yang jelek atau pada keadaan dimana kondisi ibu cenderung memburuk.


2.4 Konsep Dasar Manajemen Kebidanan pada Komplikasi HELLP Syndrome

2.3.1 Langkah I : Pengkajian
A. Data Subyektif
1. Biodata
a. Nama klien dan suami: untuk mengetahui identitas klien.
b. Usia klien dan suami: Usia ≤ 20 tahun dan ≥ 35 tahun tergolong resiko tinggi yang harus diwaspadai resiko persalinannya.
c. Agama: mengetahui keyakinan klien.
d. Pendidikan: dasar dalam memberikan KIE.
e. Pekerjaan: untuk mengetahui pengaruh aktifitas terhadap kesehatan klien.
f. Alamat : mengetahui suku, adat, daerah, budaya dan memudahkan komunikasi.
2. Keluhan Utama
Keluhan ibu hamil gemelli : Ibu hamil ke ... mengeluh perut terasa berat, berat badan meningkat pesat, kadang sesak karena perut yang besar.
Keluhan ibu PEB : bengkak pada kaki dan/ tangan, dan/ muka, tekanan darah tinggi. Jika sudah impending eklampsi mengeluh sakit kepala hebat, nyeri ulu hati, pandangan mata kabur.
Hellp syndrom?
3. Riwayat Pernikahan
a. Berapa kali menikah.
b. Lama pernikahan.
4. Riwayat Obstetri
a. Riwayat menstruasi
HPHT: menentukan tafsiran persalinan dan usia kehamilan. PEB pada kehamilan > 20 minggu.
b. Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas yang lalu
Gemelli : Adanya riwayat hamil kembar sebelumnya.
PEB : adanya penyulit preeklampsi atau eklampsia pada kehamilan, persalinan atau nifas yang lalu.
c. Riwayat kehamilan saat ini
Gemelli : Ibu hamil kembar biasanya mual dan muntah berat akibat peningkatan kadar hCG, penambahan berat badan yang pesat.
PEB : Bengkak pada kaki dan / tangan dan / muka sejak usia kehamilan > 20 minggu.
d. Riwayat KB
Penggunaan kontrasepsi hormonal dalam jangka waktu yang lama beresiko meningkatkan tekanan darah.
5. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan ibu
Riwayat penyakit menurun seperti asma, jantung, darah tinggi, kencing manis maupun penyakit menular seperti batuk darah, hepatitis, atau penyakit lain yang dapat mengganggu kehamilan ibu.
b. Riwayat kesehatan keluarga
Gemelli : Ada riwayat kehamilan kembar.
PEB : Keluarga menderita tekanan darah tinggi. Ibu, saudara kandung, mertua, saudara ipar yang pernah preeklampsi / eklampsia pada kehamilan, persalinan atau nifas. Suami dan keluarga yang pernah atau sedang menderita Hipertensi.
6. Keadaan Psikologi
§ Respon pasien dan keluarga terhadap kodisi kehamilan klien saat ini.
§ Keadaan psikis ibu, kehamilan ini diharapkan atau tidak.
7. Pola Kebiasaan
a. Pola istirahat
Istirahat yang kurang dapat mengganggu kondisi kesehatan ibu.
b. Pola aktifitas
Aktifitas ibu bekerja dengan beban kerja tinggi.
c. Pola eliminasi
BAK: sedikit. Jumlah urine < 500 cc/24 jam
BAB: 1x/hari, konsistensi lembek, warna kuning.
d. Pola nutrisi
Makan dengan porsi banyak, cepat saji, dan suka asin.
B. Data Obyektif
a. Pemeriksaan umum
Keadaan umum : lemah – baik
Kesadaran : composmentis, apatis, somnolent, sopor, koma.
TD : ≥ 160/110 mmHg.
Suhu : normalnya 36,5 – 37,50C untuk mengetahui adanya tanda -tanda infeksi. 380C dianggap tidak normal dan ada tanda infeksi.
Nadi : normalnya 60 – 100 kali/menit.
RR : normalnya 16 – 24 kali/menit.
BB : kenaikan BB selama hamil > 15 kg.
TB : normalnya > 145 cm
Lila : normalnya > 23,5 cm
TP : Mengetahui tafsiran persalinan
b. Pemeriksaan khusus
Ø Inspeksi dan palpasi
Muka : pucat/tidak, oedem palpebra dan / pipi.
Mata : konjungtiva bisa merah muda bisa pucat, sklera putih atau tidak, jika impending eklampsi terjadi gangguan penglihatan.
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan bendungan vena jugularis.
Abdomen : adakah luka bekas operasi, perut membesar tidak sesuai usia kehamilan, striae alba sebagai tanda pernah hamil yang lalu, jika sudah impending eklampsi terdapat nyeri epigastrium/ulu hati.
Leopold I : TFU lebih besar dari usia kehamilan. Bagian yang terdapat di fundus bisa kepala, bokong atau kosong.
Leopold II : bisa teraba bagian kepala, bokong atau punggung ataupun bagian kecil janin.
Leopold III : bisa teraba bokong, kepala atau kosong. Bisa digoyangkan ataupun tidak.
Leopold IV : Bisa konvergen / divergen.
Pada palapasi abdomen didapat 2 bagian besar dan / banyak bagian kecil, yang akan semakin mudah diraba terutama pada trimester ketiga.
Genetalia : vulva vagina tidak oedem, bila dilakukan VT bisa terdapat pembukaan bisa tidak ada.
Ekstremitas : ekstremitas atas bisa oedema atau tidak, ekstremitas bawah oedema.
Ø Auskultasi
DJJ ditemukan lebih dari satu bunyi denyut jantung janin yang jelas berbeda satu sama lain.
Normal DJJ 120 – 160x/ menit, jika 120 atau 160 merupakan tanda fetal distress.
Ø Perkusi
Pemeriksaan refleks patella bisa (+)/(-).
c. Pemeriksaan Penunjang
Ø VT : bisa ada pembukaan ataupun belum.
Ø Pemeriksaan ultrasonografi: terlihat 2 bayangan janin dengan 1 kantong atau 2 kantong amnion.
Ø Pemeriksaan laboratorium:
PEB : Proteinuria 5 gr/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
HELLP syndrome : SGOT ≥ 40 IU/L dan SGPT ≥ 40 IU/L, trombosit < 100.000/mm3, Total bilirubin > 1,2 mg/dl, Laktat dehidrogenase LDH > 600 U/L, Serum aspartate amino transferase (AST) > 70 U/L.
2.4.2 Langkah II : Identifikasi Masalah / Diagnosa Kebidanan
Identifikasi terhadap masalah atau diagnosa berdasarkan interpretasi yang benar atas data yang dikumpulkan. Diagnosa kebidanan ini dibuat sesuai standard nomenklatur kebidanan.
Dx: G... UK (> 20 minggu), ganda, hidup atau mati, intrauterin/ ekstrauterin, letak kepala/ bokong/ kaki, kesan jalan lahir normal/ tidak, keadaan umum ibu baik/ tidak dengan PEB komplikasi HELLP syndrome.
2.4.3 Langkah III : Mengidentifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial
Identifikasi diagnosa atau masalah potensial dibuat setelah mengidentifikasi diagnosa atau masalah kebidanan. Langkah ini membutuhkan antisipasi dan bila mungkin dilakukan pencegahan.
Masalah potensial :
1. Eklampsia
2. Distress pada janin
3. IUFD
4. DIC
2.4.4 Langkah IV : Identifikasi Kebutuhan Segera
Pada tahap ini bidan mengidentifikasi perlunya tindakan segera, baik tindakan konsultasi, kolaborasi dengan dokter atau rujukan berdasarkan kondisi klien. Tindakan bisa terapi konservatif atau terminasi kehamilan.
2.4.5 Langkah V : Menyusun Rencana Asuhan
Pada langkah ini ditentukan oleh hasil kajian pada langkah sebelumnya. Informasi atau data yang kurang dapat dilengkapi. Setiap rencana asuhan harus disetujui oleh kedua belah pihak sehingga asuhan yang diberikan dapat efektif karena sebagian dari asuhan akan dilaksanakan oleh klien.
2.4.6 Langkah VI : Implementasi
1. Mengamankan ibu dari trauma
R/ ibu dapat tehindar dari luka akibat trauma jika kejang tejadi.
2. Menganjurkan ibu untuk bedrest
R/ mencegah tekanan darah yang semakin tinggi.
3. Menjelaskan hasil pemeriksaan pada ibu dan keluarga.
R/ ibu dan keluarga mengetahui keadaan ibu dan janin.
4. Memberikan informed concent
R/ informed concent untuk perlindungan hukum sebagai bukti persetujuan tindakan pada pasien.
5. Melakukan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat anti hipertensi, anti kejang, rencana terminasi kehamilan apabila keadaan pasien dan janin mengalami kegawatdaruratan, transfusi trombosit jika trombosit < 100.000/mm3, transfusi darah jika Hb < 8 gr%.
R/ memberikan keamanan dan penatalaksanaan pada ibu.
6. Memantau keadaan ibu, keluhan, TTV, his, dan kesejahteraan janin dan kemajuan persalinan.
R/ Monitoring kondisi ibu dan janin.
7. Memenuhi kebutuhan nutrisi dengan TKTPRG
R/ Diit TKTPRG agar ibu kuat.
8. Memberikan support pada ibu
R/ Ibu merasa dirinya diperhatikan dan mendapat dukungan.
2.4.7 Langkah VII : Evaluasi
Langkah ini sebagai pengecekan apakah rencana asuhan tersebut efektif dalam pelaksanaannya. Untuk pencatatan asuhan dapat diterapkan dalam bentuk SOAP.
S : Data Subyektif
Data ini diperoleh melalui anamnesa.
O : Data Obyektif
Hasil pemeriksaan klien dan pemeriksaan pendukung lainnya.
A : Assesment
Interpretasi berdasarkan data yang terkumpul dibuat kesimpulan.
P : Penatalaksanaan
Merupakan tindakan dari diagnosa yang telah dibuat.
(Salmah, 2002 : 157 – 164)

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, F. Gary, dkk. 2005. Obstetri Williams volume 1. Jakarta: EGC.
Hellp syndrome, http://www.scribd.com/doc/88427680/Hellp-syndrome-Best. diakses tanggal 1 Agustus 2012.
Preeklampsi berat, http://www.scribd.com/doc/49147983/PEB. diakses tanggal 1 Agustus 2012.
Rustam, Mochtar. 2002. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC.
Saifudin, abdul Bari, dkk. 2005. Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: EGC.
Sastrawinata, Sulaiman. 2004. Obstetri Patologi. Jakarta: EGC.
Varney, Helen, dkk. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC.
Wiknjosastro, Hanifa. 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Share:  

0 comments:

Post a Comment