Friday, 1 April 2016

,

Bidan jadi Korban atau siap Bersaing dalam MEA (Masyarakat Ekonomi Asean)

KOMPETISI BIDAN PADA ERA MEA

Apa Yang Harus Anda Ketahui Tentang MEA

Persaingan di bursa tenaga kerja akan semakin meningkat menjelang pemberlakuan pasar bebas Asean pada akhir 2015 mendatang. Ini akan mempengaruhi banyak orang, terutama pekerja yang berkecimpung pada sektor keahlian khusus.

Berikut hal hal yang perlu Anda ketahui dan antisipasi dalam menghadapi pasar bebas Asia Tenggara yang dikenal dengan sebutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
MEA (Masyarakat Ekonomi Asean)
MEA (Masyarakat Ekonomi Asean)



Apa itu Masyarakat Ekonomi Asean?


Lebih dari satu dekade lalu, para pemimpin Asean sepakat membentuk sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara pada akhir 2015 mendatang. Ini dilakukan agar daya saing Asean meningkat serta bisa menyaingi Cina dan India untuk menarik investasi asing. Penanaman modal asing di wilayah ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan.
Pembentukan pasar tunggal yang diistilahkan dengan MEA ini nantinya memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat.
Masyarakat Ekonomi Asean tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengacara, akuntan, dan lainnya.
Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dita Indah Sari, menjelaskan bahwa MEA mensyaratkan adanya penghapusan aturan-aturan yang sebelumnya menghalangi perekrutan tenaga kerja asing. “Pembatasan, terutama dalam sektor tenaga kerja profesional, didorong untuk dihapuskan, sehingga pada intinya, MEA akan lebih membuka peluang tenaga kerja asing untuk mengisi berbagai jabatan serta profesi di Indonesia yang tertutup atau minim tenaga asingnya.”
Dita Indah Sari, menyatakan tidak ingin “kecolongan” dan mengaku telah menyiapkan strategi dalam menghadapi pasar bebas tenaga kerja. “Oke jabatan dibuka, sektor diperluas, tetapi syarat diperketat. Jadi buka tidak asal buka, bebas tidak asal bebas,” katanya.


Sejumlah syarat yang ditentukan antara lain kewajiban berbahasa Indonesia dan sertifikasi lembaga profesi terkait di dalam negeri. “Kita tidak mau tenaga kerja lokal yang sebetulnya berkualitas dan mampu, tetapi karena ada tenaga kerja asing jadi tergeser,” pungkasnya. (*)


Dikutip dari Kompasiana

Komitmen ini telah disepakati bersama oleh sepuluh negara asia, di Singapura pada 20 November 2007. MEA akan membuka pintu perdagangan barang, jasa, modal dan investasi yang akan bergerak bebas di ASEAN. Dengan harapan pertumbuhan ekonomi merata dikawasan asia, asia menjadi kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi,dan menjadi pasar tunggal, dimana nantinya akan terintegrasi secara penuh ke dalam ekonomi global. Implementasi MEA merupakan peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia, karena MEA juga membuka arus tenaga kerja terampil, tidak hanya pada sektor industri namun juga disektor kesehatan. ini artinya tenaga kesehatan Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk mengisi lapangan pekerjaan yang semakin terbuka luas. Sekaligus dihadapi persaingan ketat dalam merebut bursa kerja. Salah satu isu yang mengemuka menjelang diberlakukan MEA adalah kualitas SDM. Lantas, bagaimana dengan kualitas SDM kesehatan (baca: SDMK) indonesia? sejauh mana SDMK kita siap bersaing dengan para tenaga kesehatan asing dengan kompetensi tinggi? Masalah tenaga kesehatan Indonesia yang masih menjadi persoalan adalah rendahnya kualitas seperti tingkat pendidikan dan keahlian yang belum memadai.
Adanya kesenjangan kualitas dan kompetensi lulusan pendidikan tinggi kesehatan yang tidak sejalan dengan tuntutan kerja dimana tenaga kerja yang dihasilkan tidak siap pakai. Seperti contoh: pendistribusian bidan ke daerah-daerah sudah cukup merata, namun angka kematian ibu tidak juga turun, ternyata bidan yang berpraktek didaerah banyak yang hanya berkualifikasi D1, yang tentu saja keahlian dan keterampilannya kurang memadai dibandingkan dengan bidan dengan kualifikasi D3 dan D4. untuk meningkatkan kompetensi bidan didaerah, pemerintah melakukan kebijakan pelatihan jarak jauh (PJJ), namun baru sebagian kecil saja bidan yang tersentuh. Ini baru contoh kualitas rendah dari profesi bidan, bagaimana dengan profesi kesehatan lainnya?? Bagaimana nasib SDM kesehatan kita di era MEA, bila saat ini saja kita belum mampu meningkatkan kualitas tenaga kesehatan secara maksimal. Persaingan ketat di bursa kerja sektor kesehatan Indonesia merupakan salah satu negara di Asia dengan potensi pasar yang masih sangat besar, tentu ini menjadi daya tarik bagi para pencari kerja dari luar Indonesia.

Di sektor kesehatan, berdasarkan proyeksi tahun 2010 hingga tahun 2030, jumlah fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes ) akan terus meningkat baik fasyankes pemerintah maupun swasta. Pada era MEA, tenaga kerja asing dapat bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia. Permenkes 317/2010 tentang pendayagunaan tenaga kerja asing menyatakan tenaga kerja asing yang telah memiliki izin tinggal terbatas, yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan dibidang kesehatan diperkenankan bekerja/berpraktik dan memberikan pelayanan difasilitas kesehatan di Indonesia. UU 44/2009 tentang rumah sakit juga menyebutkan RS dapat mempekerjakan tenaga kerja asing sesuai dengan kebutuhan pelayanan, dan pendayagunaannya dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan alih iptek serta ketersediaan nakes setempat. ini artinya tenaga kesehatan kita tidak bisa lagi berdiam diri, kita harus berjuang meningkatkan kompetensi diri agar mampu bersaing dengan tenaga kerja asing, tidak hanya hard skill tapi juga soft skill seperti bahasa international (inggris) untuk berkomunikasi dan juga tekhnologi informasi untuk mengimbangi era digital saat ini. Sehingga tenaga kesehatan kita juga mampu mengisi peluang kerja internasional. Peningkatan Kualitas SDM Kesehatan Tenaga kesehatan asing yang berhasil mengisi peluang kerja di Indonesia nantinya, pastilah yang memiliki kompetensi yang mumpuni. Lantas bagaimana dengan tenaga kesehatan kita? sudah dapat dibayangkan ketatnya persaingan. Mau tidak mau tenaga kesehatan kita harus meningkatkan kompetensi agar tidak kalah performanya dengan tenaga kesehatan asing . Disebutkan dalam Permenkes 317/2010 tentang Pendayagunaan tenaga kerja asing di Indonesia bahwa tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia harus memiliki sertifikat kompetensi dan STR. ini artinya nakes kita juga harus memiliki kualitas yang sepadan. Peningkatan kualitas SDM tidak hanya tanggung jawab pemerintah namun juga masyarakat secara sinergi bersama-sama berjuang meningkatkan kualitas, memperkaya keterampilan, tidak hanya hard skill tapi juga soft skill agar memiliki nilai saing tinggi. Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan dengan pelatihan, kursus, praktek kerja langsung dan sebagainya. Lalu, adakah standar kompetensi yang dimiliki SDMK Indonesia yang diakui oleh global? Belum lama ini pemerintah membuat kebijakan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang tertuang dalam PP no.8 tahun 2012, kebijakan ini adalah turunan dari . UU no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang mengamanatkan adanya pengakuan kompetensi kerja melalui sertifikasi kompetensi kerja dan sebagai perwujudan sistem perencanaan dan informasi tenaga kerja baik secara makro dan mikro. KKNI adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyetarakan dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan diberbagai sektor.

Dalam Kebijakan KKNI terdapat 9 jenjang kualifikasi, yaitu : jenjang 1 sebagai jenjang terendah sampai dengan jenjang 9 sebagai jenjang tertinggi. Jenjang 1 sampai dengan 3 dikelompokkan dalam jabatan operator, jenjang 4 sampai dengan jenjang 6 dikelompokkan dalam jabatan ahli. Untuk mencapai jenjang kualifikasi, melalui 4 jalur yaitu otodidak, industri (pengalaman kerja), pendidikan dan sertifikasi profesi. Dengan KKNI, kompetensi seseorang tidak lagi dilihat dari ijazah tapi berdasarkan capaian pembelajaran yang kemudian dikualifikasikan sebagai pengakuan terhadap hasil pembelajaran tenaga kerja. KKNI berusaha menjembatani gap antara pendidikan tinggi kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja kesehatan. Kebijakan ini juga ibarat angin segar bagi tenaga kesehatan Indonesia, untuk menjawab tantangan dan persaingan global yang kompetitif di era MEA 2015. Karena KKNI akan menjadi acuan bagi SDM kesehatan untuk bisa bersaing dengan tenaga kesehatan asing dalam merebut pasar kerja baik regional maupun global. Karena selama ini tenaga kesehatan Indonesia cukup sulit bersaing ditingkat global akibat tidak adanya standar kualifikasi yang jelas. Dengan adanya KKNI, standar kualifikasi tenaga kesehatan Indonesia dapat disetarakan dengan standar kualifikasi di negara lain, sehingga tenaga kesehatan kita memiliki daya saing tinggi dan memiliki peluang lebih besar untuk bisa bekerja di tingkat global. Siap atau tidak siap, suka atau tidak suka, kita harus menyambut pelaksanaan MEA 2015. Semoga MEA membawa dampak positif bagi pertumbuhan dan kemajuan Indonesia, semoga tantangan persaingan global yang ketat menjadi pemacu untuk lebih meningkatkan kualitas dan kompetensi diri, sehingga SDM kita memiliki daya saing yang tinggi dan diakui pasar internasional.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/margaretkhotib/tantangan-sdm-kesehatan-di-era-mea-2015_54f91949a3331176038b46b6

Bidan Tak Perlu Takut Menghadapi MEA

MEA (Masyarakat Ekonomi Asean)
MEA (Masyarakat Ekonomi Asean)


Tenaga kerja bidan yang berkualitas dapat terwujud dengan meningkatkan kualitas pendidikan bidan yang terdapat pada sekitar 270 institusi pendidikan kebidanan. “Bagaimana mendidik para bidan dengan kurikulum yang baik. Apabila bidan menerima pendidikan sesuai standar internasional dan berkualitas maka dapat mengurangi resiko kematian ibu dan anak,” kata Emi.
Ia mengatakan dengan kualitas yang memadai bidan Indonesia justru dapat mengisi pasar luar negeri. “Tidak perlu takut menghadapi MEA, kalau kita berkualitas maka dapat menyerap pasar luar,” kata Emi.
Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNFPA) bekerja sama dengan Konfederasi Bidan Internasional (ICM) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis “Situasi Kebidanan Dunia Tahun 2014”.
Laporan tersebut memaparkan tantangan yang dihadapi tenaga kerja kebidanan di 73 negara di benua Afrika, Asia, dan Amerika Latin, di mana layanan kebidanan sangat dibutuhkan. Negara-negara tersebut menyumbang 96 persen kematian ibu melahirkan secara global, 91 persen bayi lahir mati, dan 93 persen kematian bayi baru lahir.
“Tantangannya adalah negara-negara tersebut hanya memiliki 42 persen dari keseluruhan jumlah dokter, bidan, dan perawat di dunia,” kata Jose Ferraris selaku perwakilan UNFPA untuk Indonesia di Jakarta, Senin (8/9).


Saat ini, hanya 22 persen negara yang secara potensial memiliki cukup bidan yang kompeten untuk memenuhi kebutuhan dasar perempuan dan bayi yang baru lahir. Sementara itu, 78 persen negara juga menghadapi kekurangan dalam bidang kebidanan yang akan mengakibatkan kematian ibu dan bayi, yang sebenarnya dapat dicegah.

Kemenkes Susun Regulasi


Kementerian Kesehatan mengantisipasi derasnya arus tenaga kerja asing (TKA) yang masuk ke Indonesia saat diberlakukannya MEA 2015 dengan menyusun regulasi domestik. Regulasi domestik terkait tenaga kerja asing tersebut akan berisi tentang syarat kemampuan bahasa Indonesia yang baik, harus lolos kualifikasi dan uji kompetensi, serta diprioritaskan pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Saat ini persyaratan umum terkait pemanfaatan TKA medis telah diatur dalam Permenkes 67/2013 yang mengacu pada UU 39/2004 tentang Ketenagakerjaan. “Rumah sakit dapat mempekerjakan WNA, tapi alih Iptek. Tidak boleh dokter umum, harus dokter spesialis. Kriterianya harus tepat, yang tidak bisa disediakan oleh Indonesia,” kata Kepala Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kementerian Kesehatan Tritarayati.
Tenaga medis asing itu bisa masuk ke dalam empat sektor, yakni pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan, panti sosial di bidang kesehatan dan penelitian di bidang kesehatan. Tenaga medis asing tersebut harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran untuk dokter atau perawat yang dikeluarkan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia.
Sementara pihak rumah sakit, harus mendapatkan izin dari kolegium kedokteran jika hendak menggunakan TKA. Apabila tenaga medis yang dibutuhkan oleh sebuah rumah sakit masih bisa ditangani oleh tenaga lokal maka permintaan itu tidak akan dipenuhi.
Tenaga kerja asing yang masuk harus diseleksi dulu oleh kolegium untuk mendapatkan STR. Kolegiumlah yang menentukan apakah sebuah rumah sakit bisa menggunakan jasa tenaga medis asing itu. (*)



Share:  

0 comments:

Post a Comment